Review Untuk Indonesia yang Kuat: 100 Langkah Untuk Tidak Miskin

Minggu, 06 Mei 2012

Untuk Indonesia yang Kuat: 100 Langkah Untuk Tidak Miskin

by Ligwina Hananto

Literati 2010

Ronny: 2011#06

Saya bisa menangkap niat dan semangat buku ini untuk menyebarkan kebaikan, tapi maaf, dalam konteks penanganan kemiskinan yang lebih luas, cara berpikir penulisnya salah. Ligwina bukan ekonom, tapi financial planner. Ini yang harus digarisbawahi, dan ini pula yang membuat buku ini apolitis dan harus dibaca dengan hati-hati. Kemiskinan masyarakat Indonesia jadi tampil sebagai permasalahan orang per orang yang harus ditangani dengan perencanaan keuangan yang lebih baik, dan bukan tanggung jawab negara atas warganya yang harus ditangani lewat kebijakan ekonomi-politik!

Saya soroti satu hal khusus saja: pendapat Ligwina soal menabung. Bertentangan dengan konvensi umum, Ligwina menyatakan menabung itu tidak baik bagi orang Indonesia. Bila mau kaya dan menjamin masa depan, orang Indonesia harus berhenti menabung dan mulai berinvestasi. Karena dengan tingkat inflasi sekarang, menabung jadi mubazir krn nilai riil uang kita justru akan berkurang.

Di sini bisa kita lihat apolitisnya Ligwina dan "bahayanya" jika pendapat ini lantas dijadikan dasar kebijakan (misalnya lalu digerakkan kampanye investasi dan bukan menabung). Penanganan inflasi justru adalah salah satu tugas pemerintah (atau bank sentral), dan kita bisa menilai raport ekonomi pemerintah salah satunya dari sini. Tekanan perlu diberikan agar inflasi dijaga.

Saat menyampaikan usulnya soal investasi, Ligwina menafikan sama sekali:
1) tingkat pendidikan/pengetahuan masyarakat

2) gelembung ekonomi yang akan tercipta bila dana masyarakat dicurahkan untuk investasi finansial

3) kesenjangan informasi dan moral hazard, dua bidang yang menjadi kajian utama Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi.

Padahal, krisis AS justru tercipta akibat minimnya tabungan masyarakat dan gila2annya masyarakat berinvestasi (dengan ketiga cacat yang saya sebut di atas). Bila negara seperti AS saja masih belum bisa mengatasi problem pengetahuan/kesenjangan informasi serta moral hazard, apalagi Indonesia.
Selain itu, dana tabungan masyarakat dijamin pemerintah lewat bank-bank LPS (lembaga penjamin simpanan). Apakah investasi swasta yang dianjurkan Ligwina punya jaminan serupa? Dengan asimetri informasi yang ada di tengah masyarakat, menganjurkan masyarakat berinvestasi sama dengan menganjurkan menjudikan dananya yang cukup sulit didapat itu di tangan bandar yang serakus singa. Ini yang terjadi di AS: gabungan antara asimetri informasi, moral hazard para financial planner sendiri (!), serta absurdnya skema-skema seperti derivatif dlsb membuahkan kebangkrutan rumah tangga AS (bisa dibaca di banyak buku yang mengupas krisis AS). Ketika semuanya amblas seperti di AS, akan digantikah dana ini? Tidak. Semua menjadi tanggung jawab sendiri-sendiri ("salah sendiri ceroboh atau ga awas dalam memilih investasi"). Penanggulangan kemiskinan yang menjadi tugas pemerintah menjadi seperti berbalik menjadi tanggung jawab orang perorangan. Saya percaya menabung tetap lebih aman buat masyarakat. Bila Ligwina mengangkat permasalahan inflasi, ya inflasi itulah yang harus diatasi, bukan modus menabung itu sendiri lantas diubah jadi investasi.

"Negara bukan perusahaan," kata ekonom peraih Nobel lainnya, Paul Krugman. Bahaya bila negara diperlakukan seperti perusahaan, dan bahaya pula bila skema-skema swasta macam ini dijadikan dasar kebijakan negara. Maaf, Indonesia tidak akan lebih kuat dengan 100 cara ini. Kelas menengah yang membaca buku ini mungkin akan jadi lebih kaya dengan mempraktikkan usulan Ligwina, tapi Indonesia secara keseluruhan, tidak.

Agoes: Buku yang memang ditujukan ke golongan masyarakat ekonomi kelas menengah ini memberikan penjelasan mengapa berinvestasi itu penting untuk menjamin masa depan. Konsep-konsep keuangan disampaikan dengan cukup sederhana, sehingga pembaca yang tidak berasal dari latar belakang pendidikan Ekonomi pun akan tetap mampu mengikuti pembahasan dengan mudah. Buku terbitan Literati ini ukuran hurufnya cukup besar dan juga banyak dilengkapi ilustrasi yang menarik, namun membuat buku ini terkesan 'tebal tapi tipis'. Pembaca tidak membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan buku ini.

Meskipun buku ini dikesankan sebagai buku yang dapat digunakan sebagai tips panduan finansial, tapi buku ini lebih banyak membahas tentang manfaat berinvestasi. Tentu saja hal ini wajar karena penulis merupakan seorang perencana keuangan, sehingga dia akan lebih banyak membahas hal-hal yang digelutinya setiap hari. Sebenarnya hal itu membuat pembahasan lebih cocok dibaca oleh orang-orang yang memang posisinya sebagai karyawan dan akan seterusnya menjadi karyawan.

Sayangnya, tidak banyak pembahasan mengenai entrerepenurship di buku ini. Padahal dalam salah satu langkah 'tidak miskin' dituliskan bahwa seseorang sebaiknya memiliki bisnis sendiri. Pembahasan yang kurang dalam aspek ini menimbulkan kesan bahwa pembahasannya tidak berimbang dan buku ini seolah lebih seperti iklan agar masyarakat lebih banyak menggunakan jasa financial planner. Saya sendiri tidak terlalu banyak memahami konsep ekonomi karena latar belakang pendidikan saya bukan jurusan Ekonomi, tapi saya merasa bahwa menggantungkan masa depan melalui investasi reksadana saja juga masih kurang. Mungkin ini dipengaruhi oleh pengamatan saya terhadap keluarga saya yang semuanya berwirausaha, sehingga mereka lebih banyak memiliki 'uang betulan'.

Ime: Buku ini gue beli di salah satu toko buku di Jakarta, karena waktu itu lagi killing time aja. Tertarik dengan judulnya, dan beberapa kalimat di salah satu bab, akhirnya gue memutuskan membeli buku ini (harus memilih dari dua buku yang menurut gue sama-sama menarik). Dan, gue harus bilang, gue nggak kecewa sih belinya.

Buku ini cerita tentang bagaimana golongan ekonomi menengah di Indonesia itu sebenarnya rentan untuk menjadi miskin. Dilengkapi dengan definisi golongan ekonomi menengah, gue semakin seneng dengan buku ini. Karena, gue sempet dapet pertanyaan dari bos gue, "Golongan ekonomi menengah itu, kira-kira ada batasannya nggak yah?" So, in some sense, buku ini juga menolong gue untuk men-scope salah satu studi gue (hahaha).

Tapi, yang paling gue suka dari buku ini adalah buku ini bisa menggerakkan gue, untuk mulai berpikir mengatur keuangan gue. Iya, gue spare some of my money untuk tabungan gue, tapi gue nggak pernah berpikir lebih jauh tentang investasi. Ini adalah salah satu alasan kenapa gue ngasih 4 bintang juga, karena gue merasa tergerak untuk melakukan apa yang ada di buku itu.

Another thing yang membuat gue memberikan 4 bintang pada buku ini adalah bahasanya yang cukup mudah untuk dimengerti. Jadi, menurut gue, orang nggak akan bosen ngebacanya. Apalagi, menurut gue, buku Ligwina Hananto ini adalah non-fiksi. Umumnya, buku non-fiksi ngebuat gue ngantuk. Tapi, ternyata buku ini nggak juga. Properly written lah.

Gue juga cukup suka dengan layoutnya, nggak terlalu ngeburem'in mata. Makanya, gue ngasih 4 bintang sama buku ini, karena basically, this book is good. Terutama untuk orang yang rada cuek sama masalah keuangan kayak gue.

"Golongan menengah adalah:- orang-orang yang memiliki penghasilan tetapi sebelum akhir bulan sudah merasa kehabisan uang- memiliki utang berkepanjangan yang tidak ada habisnya- memiliki barang-barang bagus tetapi kuatir karena tidak punya tabungan- memiliki hidup yang berkecukupan tetapi kuatir tidak mampu menyekolahkan anak-anak dengan baik- memiliki rumah tinggal tetapi berkemungkinan besar harus menjual rumah bagus ini karena tidak punya dana pensiun" (page 39, rephrased)ime'...

Rifa: Pernah pesimis dengan Indonesia? Kalau Anda pernah berkata, “Gila kali…” “Kapan yaaaa…?” atau sekedar “Hahaha...” ketika seseorang bertanya apakah Indonesia bisa membuat hal yang lebih spektakuler dari yang pernah dilakukan Negara maju, artinya Anda pernah pesimis dengan negara ini. Bukan Cuma Anda kok. Saya dan (mungkin) ratusan juta orang Indonesia lainnya juga setidaknya pernah merasa Indonesia jauh dari bayangan akan menjadi negara kaya raya tanpa hutang, yang para pemimpinnya menjadi tuntunan, yang jauh dari permasalahan lingkungan, yang teknologinya bisa menguasai pasar dunia, yang para atlet serta musisinya menjadi yang terbaik diseluruh dunia, dan tentunya rakyatnya hidup makmur dan selalu bahagia.

Belajar ilmu politik di kampus pernah membuat saya semakin bingung dengan permasalahan negara ini. Semakin dipikirkan, semakin tahu berbagai macam permasalahannya, dan semakin bingung apa yang sebenarnya perlu dibenahi terlebih dahulu, semakin yakin negeri ini tidak bisa diperbaiki lagi dan semakin tidak mau memikirkan negeri ini. Kesimpulannya, semakin saya suka memikirkan masalah negara, maka saya semakin tidak mau memikirkannya.

Hal tersebut menjadi salah satu hal yang membuat saya setelah lulus kuliah tidak ada niatan untuk berkecimpung di dunia politik, selain memang karena nilai saya jelek dan tak layak sepertinya untuk berada di dunia politik. Politik memang berkaitan erat dengan kenegaraan, berbagai macam permasalahan di negara ini toh bersumber dari politik. Ujung-ujungnya politik, begitu kata orang (orang mana?). Ya setidaknya, itulah yang ada dalam pikiran saya dulu. Sampai pada waktunya, saya menyadari bahwa ternyata tidak melulu harus berkecimpung di poltik (atau lingkarannya) untuk mengubah negeri ini.

Ligwina Hananto, seorang perencana keuangan independen yang turut menyadarkan saya dan dengan jelas serta berani dalam bukunya -yang berjudul Untuk Indonesia yang Kuat: 100 Langkah untuk Tidak Miskin- mengungkapkan bahwa negeri ini bisa kuat kalau golongan menengahnya itu kuat. Memangnya siapa itu golongan menengah? Dan sehebat apa mereka sehingga bisa-bisanya dikatakan bisa menjadikan negara ini kuat? Itu pertanyaan yang terlintas di benak saya saat membaca pernyatan Ligwina gersebut.

Sederhananya, Ligwina mengutarakan bahwa golongan menengah adalah golongan yang berdaya, yang memiliki mata pencaharian dan mampu makan tiga kali sehari. Namun golongan ini belum tentu punya uang, yang jelas mereka tidak melarat. Intinya, dibilang kaya raya yang punya uang puluhan miliar bukan, dibilang tidak mampu juga tidak pas, ya ditengah-tengah lah pokoknya. Merasa seperti itu? Kalau ya, selamat! Kita berada di golongan yang sama, golongan yang menurut Ligwina memiliki peran penting untuk memperkuat bangsa ini. Mengapa golongan menengah? Ada banyak alasan yang diungkapkan Ligwina mengapa golongan menengah yang perlu dikembangkan dan kelak bisa menjadi salah satu faktor majunya negara ini, antara lain karena jumlah yang signifikan dan jumlah yang signifikan tersebut bisa digerakkan untuk berinvestasi.

Lantas, bagaimana caranya? Untuk memperkuat negara, tentunya kita perlu memperkuat diri kita terlebih dahulu. Mengatur keuangan adalah hal yang harus kita lakukan untuk memperkuat diri kita. Golongan menengah berada di tengah-tengah, suatu hari ia bisa ke atas (kaya raya), bisa juga ke bawah (jatuh miskin). Untuk menjadi kaya atau miskin, itu berada di tangan kita, kitalah yang menentukan. Mau kaya atau miskin? Kalau mau kaya, kita harus mengatur keuangan kita.

Hal pertama yang perlu kita lakukan dalam mengatur keuangan kita adalah memeriksa kondisi keuangan kita saat ini. Kita harus mengetahui apa saja yang kita punya serta mengetahui berapa penghasilan dan pengeluaran bulanan kita. Setelah itu, kita harus menentukan tujuan finansial kita, apakah itu untuk dana pensiun, dana pendidikan, dana pembelian aset, dan lain sebagainya. Barulah kita kemudian melakukan berbagai cara demi meraih tujuan finansial kita tersebut.

Salah satu cara penting dalam meraih tujuan finasial kita adalah beinvestasi. Ya, berinvestasi, bukan sekedar menabung. Beda? Ligwina menjelaskan secara gamblang pebedaan menabung dan berinvestasi. Pada intinya, dengan menabung, uang kita akan mengalami penyusutan nilai karena terhadang inflasi. Namun, dengan berinvestasi, uang kita akan bekerja untuk kita dan di masa depan akan melampaui nilai inflasi. Ada banyak cara yang dapat kita lakukan, yang termudah, kita bisa memulai dari reksadana.

Kita juga perlu merubah pola pikir kita yang selama ini menggunakan penghasilan untuk konsumsi terlebih dahulu dan kemudian sisanya ditabung. Seharusnya, setelah mendapat penghasilan, kita harus menyisihkan untuk investasi terlebih dahulu (beserta asuransi dan dan dana darurat), baru sisanya untuk pengeluaran konsumtif.

Itu saja? Tentu tidak, masih banyak kiat lain yang dibagikan oleh Ligwina dalam bukunya ini untuk kita terapkan dalam kehidupan kita demi menjadi golongan menengah yang kuat, yang kemudian bisa memperkuat negara ini. Beberapa kiat tersebut tidak hanya terfokus pada bagaimana menjadikan kita menjadi lebih kaya, namun juga terdapat ajakan untuk berbagai kepada orang lain, dengan beramal ataupun memberikan ‘kail’ pada mereka yang kurang mampu.

Di akhir bagian buku Untuk Indonesia yang Kuat: 100 Langkah untuk Tidak Miskin ini, terdapat 100 langkah rencana aksi keuangan yang bisa kita ikuti dan targetkan kapan kita bisa mencapai langkah demi langkah tersebut. Apa saja 100 langkah untuk tidak miskin itu? Berikut saya salinkan sebagian untuk Anda:

1. Memiliki penghasilan

2. Memisahkan pengeluaran bulanan dengan pengeluaran mingguan

3. Pergi ke ATM seminggu sekali

4. Mengerti cara kerja kartu kredit

5. Utang kartu kredit lunas setiap bulan

6. Membayar pajak dan melaporkan SPT

7. Punya rencana keuangan buatan sendiri

8. Mamu membayar semua tagihan/biaya hidup sendiri

9. Punya dana darurat minimal sekali biaya hidup sebulan

10. Punya fasilitas kesehatan yang cukup (dari kantor atau beli asuransi kesehatan sendiri)

11. Mampu beramal minimal 2,5% dari penghasilan bulanan

12. Memiliki rekening belanja

13. Mampu menyisihkan 10% dari penghasilan bulanan untuk ditabung

14. Mengatur penghasilan tahunan dan pengeluaran tahunan

15. Mampu berlibur tanpa berhutang

16. Mengerti tentang apa reksadana dan fungsinya dalam rencana keuangan

17. Mengerti fungsi asuransi dalam rencana keuangan

18. Punya rencana keuangan komprehensif buatan sendiri atau dibantu perencana keuangan independen.

Loh kok hanya 18?Kebetulan, dari 100 langkah rencana aksi keuangan ini, saya baru sampai ‘mengamalkan’ hingga tahap ke-18. Untuk sisanya, Anda bisa membacanya sendiri di buku ini ya ^_^.Tidak menyesal kok kalau Anda membeli buku ini. Pesan yang ingin disampaikan disajikan secara menarik. Tidak sekedar buku merencanakan keuangan, tulisan di dalamnya berasal dari misi ingin Indonesia yang lebih kuat. Ligwina telah memberikan kontribusinya pada negeri melalui buku ini. Nah, kita juga bisa berkontribusi pada negara kita dengan melakukan apa yang ditulisnya di bukunya ini. Memang sih (bagi saya) harga buku setebal 240 halaman ini agak mahal, Rp 72,000.00. Namun sangat besar kemungkinan dari Rp 72,000.00 ini kita kelak bisa mendapatkan uang berlimpah-limpah yang jauh lebih besar. Oh ya? Saya sih percaya.

Review A.M.S.A.T - Apa Maksud Setuang Air Teh (4 Wartawan Lifestyle #4)

A.M.S.A.T - Apa Maksud Setuang Air Teh (4 Wartawan Lifestyle #4)

by Syahmedi Dean (Goodreads Author)

Siapa yang menggerakkan skenario perjalanan hidup? Sebuah kota? Profesi? Alam pikiran? Atau cinta? Empat orang sahabat mencari-cari keriaan hari ini dengan mengejar cinta dan mempertanyakan masa lalu. Mereka berprofesi sebagai wartawan, berkesempatan mendirikan sebuah majalah, satu kesibukan urban yang membawa mereka ke ujian persahabatan, penemuan jati diri, dan dilema tepi-tepi hidup,

Alif: Mata saya tajam terbuka, merasakan dengan nyata kosmik energi, merasakan kuatnya medan magnetik yang terjadi. Pelan-pelan ada cairan lain yang naik ke saraf-saraf otak, rasa gusar, kesal, marah. Apakah kosmik energi penyebab rusaknya kehidupan cinta saya? Setiap pekan purnama tiba orang-orang akan bergairah, serbaimpulsif. Mudah marah, mudah sedih, mudah jatuh cinta, mudah berbelanja, mudah dramatis, mudah cemburu. Orang-orang kehilangan keseimbangan, orang-orang cenderung lunatic, kebulan-bulanan. Saya mengerti keadaan ini.

Raisa: Ia tak pernah tahu bahwa seharusnya, jika berada dalam rapat apa pun di dunia ini, sangat berlaku hukum ”You are what you said.” Nah, kalau tak pandai berkelit, pakailah aliran ”Silence is golden”. Sehingga jati diri tidak perlu terasa seperti akan lumer ke lantai, merosot ke kaki-kaki meja, dan secara politis habis diinjak-injak forum. Ia ingat ekspresi semua peserta rapat waktu itu, mereka tersenyum bahagia penuh kepuasan. Pelajaran yang ia dapat dari kejadian memalukan itu adalah: when everybody is happy, you know you have done something wrong.

Didi: Kota Jakarta ini apa masih layak huni? Ngeri banget Jakarta sekarang. Kalau nanti gue terkenal karena jadi creative director sukses, apakah gue aman? Gue harus berjuang dari kemungkinan penembakan seperti ini. Kemungkinan pembunuhan, penggarongan, kemacetan, kebanjiran, penipuan, penggusuran, rombongan kampanye, massa sepakbola, fashion criminals, Chanel limited edition, Louis Vuitton New Arrival, Gucci Piracy, dress code betrayal…

Nisa: Itu suara Alif. Azan. Komat. Ah, anakku, Mama belum sempat lihat kamu. Bagaimana rupamu? Bagaimana hidungmu? Bagaimana senyummu? Kamu pasti aman di situ, ada Oom Alif, teman Mama yang paling peduli dengan Mama. Kamu pasti senang dengar suara azan Oom Alif. Mama jadi rindu, tapi Mama belum bisa lihat kamu. Mama seperti terbang. Mama hanya bisa merasakan getaran jiwamu yang bening dan bersih. Oh, inikah mati? Tubuh terasa ringan sekali. Tanpa beban fisik. Merdeka dari keterbatasan. Fisik adalah penjara seumur hidup, penjara yang lemah, yang tak mampu menghadapi cuaca, yang tak bisa pergi tinggi-tinggi karena akan ditarik kencang oleh gravitasi bumi.

Gramedia Pustaka Utama 2009

Sam: people can never be clean, clean from his/her wishes about the world, about what he/she wants with the world and about regretting what has been done to the world... we can never be clean -- it's somewhat confusing! AMSAT mengakhiri perjalanan LSDLF, JPVFK, PGDPC
kendati tidak seperti kebanyakan novel metropop -- buat yang ngaku pecinta novel bergenre ini siap2 tertohok -- tapi cukup apik... mengulas kembali jalinan kusut benang sejarah, seperti dokter yang menanyakan riwayat si sakit demi dapat memberikan diagnosa tepat penyakit si sakit dan akhirnya memberikan pengobatan yang tepat untuk kesembuhan.
dalam cerita ini, dalam edisi ini, u guys will then wonder, siapa yang disembuhkan? siapa yg terabaikan dan siapa yang malah (jadi) tambah sakit? aq blg mereka semua sembuh.. dari himpitan keraguan, pertanyaan, dan siksaan mencari jawaban. Bukankah itu yg paling mengasikkan ditemukan pd sebuah akhir kisah yaaa, hehehe.. diakui memang, plot yang dibuat kali ini terlalu sederhana, pengarang seperti mencoba mengakhiri-nya dengan simple, as simple as life and death -- tho in reality they dont, com'on it's a metropop book.. scene-nya berjalan jauh ke belakang kemudian terlempar lg ke depan, unlike 2 buku pertamanya, AMSAT justru makin minim gejolak, jujur aq lbh suka PGDPC.. klimaks-nya banyak, bikin bingung yg mana yang akan 'dimanfaatkan' berikutnya.. but it has to come to an end, doesnt it? value-nya agak kontras, kerudung, KPK, politik -- all the politics in life, xixixi.. to ALIF, welcome back to life.. to NISA, welcome to the real home to DIDI, welcome aboard, mate.. to RISA, welcome to where life is

Alisyah: Bagian awalnya kurang menarik, karena yang diomongin percintaan. Gak tau kenapa, urusan percintaan kurang menarik bagi saya. Apalagi di bab awal, banyak menyebutkan produk-produk internasional dengan brand yang sama sekali saya gak kenal. Pernah sih lihat produknya di mal, tapi gak tertarik. Harga satu produk mereka bisa beli puluhan buku untuk nambah koleksi :D

Nah, setelah halaman 70-an ceritanya mulai menarik. Karena ada SAIDAH. Ya, Saidah yang menawan hati Alif. Kenapa menarik? Karena saya sama dengan Alif. Suka dengan wanita yang berjilbab hehe. Bukan masalah suci atau gimana ya, itu urusan lain. Urusan personal :D

Saya melihat mereka lebih rapi aja. Tak ada rambut indah ala bintang iklan Pantene, atau hidung macam kerbau, atau telinga kayak jemuran yang di sana-sini penuh kain jemuran, apalagi kalung emas yang melingkar di leher nan jenjang. Wanita berjilbab tampak sederhana. Mungkin itu yang bikin adem. Mungkin.

Mengenai alur selanjutnya, saya no comment. Tuntas sih bacanya, tapi saya lebih bersemangat dengan alur yang ada Saidah-nya, wanita yang cara menuang tehnya mendamaikan hati :-)

Anyway, ini pertanyaan buat yang udah baca bukunya, sebegitu gemerlapkah dunia kalangan atas di Indonesia ini?

Yunita: Buku ini memberikan banyak gambaran yang kadang sangat mengerikan sekali ya... kenapa? karena seperti gak mungkin ada orang kaya yang dengan gampangnya mengeluarkan uang ampe ratusan juta dalam hal membeli barang2 model terbaru yang pastinya bermerk gitu deh. Buku ini memberikan kita banyak sekali gambaran, bagaimana kehidupan orang-orang yang hidup dikota Jakarta ini terkhusus orang-orang kalangan atas. Kadang buku ini terlalu sulit untuk aq bisa mengerti dikarenakan dicampur dengan dunia politik, jadi rada bingung sendiri deh.
Tetapi kesimpulanQ mengenai buku ini, buku ini secara keseluruhan buku ini bagus banget, apalagi inti dan klimaks buku ini ada diakhir cerita sehingga membuat kita para pembaca yang mungkin sempat bosan menjadi tidak rela untuk berhenti membacanya. Tapi sorry kalau nantinya teman-teman yang membacanya akan mengalami kecewa dikarenakan ending ceritanya tidak seperti yang kita harapkan, ada kejutan yang gak akan disangka2....sayang bangeeeetttt nih cerita,,,bisa diganti gak sih endingnya....hehehe...

Ais: baru tahu kalau buku ini sudah ada akhir tahun 2011 kemaren, dan akhirnya memutuskan beli dengan kondisi gak bersampul dan cuman tinggal satu di toko buku. ngebet banget baca, karena ngefans sejak baca cerita yang pertama. alurnya gak gampang ketebak, dan as usual ada beberapa hal yang berlebihan. karakter didi kuat banget. tapi kadang memang membingungkan membaca ini yang ngomong siapa, pilihan katanya adang masih kurang personal.overall, suka dan gak nyangka endingnya begitu!

Review Zero to Hero

Zero to Hero

by Solikhin Abu Izzudin

Sejarah mencatat, banyak orang besar justru lahir di tengah himpitan kesulitan bukan buaian kemanjaan. Mereka besar dengan mengurangi jam tidurnya, waktu bekerja dan kesibukan mengurusi duniawi untuk memenuhi kebutuhan ukhrawi. Menyedikitkan tidur malam untuk bisa bangun malam. Sedikit canda untuk rasakan nikmatnya ibadah. Tak berlebihan dalam bergaul ‘tuk rasakan lezatnya iman. Menahan diri dari maksiat biar tubuhnya tetap sehat. Banyak keterbatasan, kekurangan, kelemahan, kegagalan, kemalasan. Itu bukan masalah. Bagaimana di tengah keterbatasan itu kita dahsyatkan diri agar lahir prestasi tinggi. Itulah kepahlawanan sejati, salah satu pesan penulis Solikhin Abu Izzudin yang tertuang dalam buku Zero to Hero.

Pro-U Media 2006

Kerlip: pencarian jalan ke surga ku, diinspirasi dari buku ini.
menurut buku ini, amalan kecil bisa membawa kita ke rahmatnya Allah jika dilakukan dengan niat untuk mencari ridha-Nya. Dan jangan berkecil hati jika kita tak punya kelebihan seperti orang lain, karena dalam kekurangan dan kelemahan kita sebetulnya tersimpan sesuatu yang besar jika kita bisa mengolahnya dengan benar. Buku ini banyak inspirasi dalam setiap lembarnya. Wajib dibaca berulang-ulang.

Basmin: Excerpt dari penghantar buku: Suatu hari, di Masjidil Haram seorang guru tengah menyampaikan ilmu kepada murid-muridnya. Dengan lugas, jelas dan kmunikatif, guru tersebut mengajarkan materi fiqh, muamalah, jinayah dan hukum-hukum kriminal. Namun ada yang ganjil dalam majelis itu, ternyata Pak guru jauh tampak lebih muda daripada murid-muridnya. Bahkan di tengah prisesi mengajar, ia sempar minta izin untuk minum, padahal siang itu adalah bulan Ramadhan. Kontan saja "ulah" PAk Guru menuai protes, " Kenapa Anda minum, padahal ini'kan bulan Ramadhan?", tanya para murid. Ia menjawab, "Aku belum wajib berpuasa." Siapakah Pak Guru yang terlihat nyeleneh tersebut? Ia adalah Muhammad Idris Asy Syafi'i, yang lebih kita kenal dengan Imam Syafi'i.

Kita tak usah heran dengan fragmen inim kerena pada usia belum baligh Imma Syafi'i sudah menjadi ulama yang disegani. Usia 9 tahun sudah hafal Al-Qur'an. Usia 10 tahun isi kitab Al Muwatha' karya Imam Malik yang beritis 1, 720 hadith pilihan juga mampu dihafalnya dengan sempurna.

Mariyatul: KEKUATAN DAHSYAT UNTUK MENDAHSYATKAN PRIBADI
Oleh: Mariyatul Kibtiyah

Judul buku : Zero to Hero; Mendahsyatkan Pribadi Biasa Menjadi Luar Biasa

Penulis : Solihin Abu Izzuddin

Penerbit : Pro-U Media

Cetakan : Februari, 2006

Tebal : 300 halaman

“Kegagalan merupakan suatu kesuksesan yang tertunda”. Pepatah ini memang benar adanya. Bila orang berani gagal maka dia pun akan berani untuk sukses. Biasanya kita tidak menyadari ketika kita mengusahakan sesuatu dan memutuskan untuk berhenti karena menganggap diri kita tidak mampu untuk meneruskannya, maka ketika itulah sesungguhnya kesuksesan itu ada selangkah lagi di depan kita.

Seperti Thomas Alfa Edison, saat ditanya bagaimana ia bisa bertahan setelah ribuan kali gagal? Penemu bola lampu dan pendiri perusahaan kelas dunia, General electric ini menjawab, “Saya tidak gagal, tetapi menemukan 9994 cara yang salah dan hanya satu cara yang berhasil. Saya pasti akan sukses karena telah kehabisan percobaan yang gagal.” Dan memang kesuksesan tergantung pada kekuatan untuk bertahan.

Kemampuan kita terbatas? Itu bukan masalah! Sebab bila di tengah keterbatasan itu kita mampu mendahsyatkan diri untuk meraih prestasi tinggi itulah kepahlawanan sejati. Inilah sebuah buku dengan judul Zero to Hero yang mengajak pembacanya untuk berpikir, menggugah dan mengubah diri untuk melejitkan segala potensi yang dimilikinya sehingga menjadi pribadi yang dahsyat.

Sesungguhnya bila kita hitung-hitung waktu yang kita miliki dengan waktu yang dimiliki orang yang berprestasi --- misalnya Thomas Alfa Edison --- adalah sama, sehari 24 jam, 1440 menit dan 86400 detik dalam satu hari, 7 hari dalam seminggu, dan seterusnya. Kata Imam Al-Ghazali, kalau orang umurnya rata-rata 60 tahun dan menjadikan 8 jam sehari untuk tidur, maka dalam 60 tahun ia telah tidur selama 20 tahun. Luar biasa sangat banyak sekali. Bagaimana dengan diri kita? Bila ditimbang apakah umur yang kita miliki seimbang dengan prestasi kita?

Sejarah mencatat, banyak orang besar justru lahir di tengah himpitan kesulitan bukan buaian kemanjaan. Mereka besar dengan mengurangi jam tidurnya, waktu bekerja dan kesibukan mengurusi duniawi untuk memenuhi kebutuhan ukhrawi. Menyedikitkan tidur malam untuk bisa bangun malam. Sedikit canda untuk rasakan nikmatnya ibadah. Tak berlebihan dalam bergaul untuk merasakan lezatnya iman. Menahan dari maksiat supaya tubuhnya tetap sehat.

Menjadi orang besar tak harus keturunan darah biru, atau pun berawal dari keturunan ningrat. Banyak orang biasa menjadi luar biasa justru karena berangkat betul-betul dari nol, from zero. Adapun bagi yang telah memiliki posisi, jabatan, kedudukan, gelar, atau apapun atribut duniawi yang dimiliki, mari kembali men-zero-kan diri untuk mampu melesatkan dan melejitkan jiwa menuju prestasi mulia: taqwa dan derivasi fadhilahnya, hidup mulia dan berakhir bahagia.

Kita bisa menikmati kiat-kiat sukses dalam buku terbitan Pro-U Media ini, hikmah-hikmah, cara-cara cerdasnya yang sangat tak biasa. Mereka orang biasa dan bisa. Kita pun bisa. Salah satu kiat yang ada dalam buku ini terdapat dalam halaman 240, yang membahas bagaimana agar kita bisa meraih keshalihan pribadi, yaitu “Jadilah pemberi kebaikan pada orang lain, berorientasi untuk memberikan kontribusi, dan meimiliki kelapangan dada yang cukup untuk menampung semua perbedaan dengan orang lain.”

Dalam buku yang memiliki tebal 300 halaman ini pun dikupas tentang kisah-kisah orang-orang biasa yang sukses meledakkan dirinya dengan prestasi yang luar biasa Walaupun begitu penulis mengatakan bahwa buku ini bukanlah buku cerita, namun agar kita bisa menjadikan kisah-kisah itu sebagai cermin dalam kehidupan kita, agar kita bisa mengambil ketauladanan dari pribadi tokoh-tokoh Islam yang sukses.

Buku karya Solihin Abu Izzuddin ini sangat penting dibaca oleh berbagai generasi dan tak cukup bila hanya dibaca Perlu digali kata-katanya. Diserap hikmahnya. Digali kekuatan tersembunyinya. Dan saat membacanya, hubungkan dengan wawasan kita agar tercipta gagasan baru dan cemerlang sehingga kita bisa mendahsyatkan pribadi biasa menjadi pribadi yang luar biasa.

Dion: Akhirnya nemu buku ini di Goodreads, mengingatkan saya pada zaman2 kuliah dl ktk masih getol baca buku nonfiksi dan blm terlalu maniak sama novel. Buku2 model how to Islami gini dulu pernah menjamur di pasaran. Kemasan yg unik dan fresh, yang kelihatan banget jiwa mudanya, mungkin menjadi daya tarik utama bagi pembacanya--yang rata2 anak-anak muda.

Isinya adalah kajian2 motivasi diri yg dikaitkan dengan jargon keagamaan. Ringan dan bernas, tp tidak mengurui. Bahkan, setelah membacanya, ghirah kita untuk menjadi lebih baik lagi semakin berkembang.

Untuk remaja muslim yang ingin mengembangkan diri tanpa harus berpisah jauh dr nilai2 Islami, buku ini sangat cocok untuk dibaca. Nice read

Nia: ya, betul. sebagai manusia biasa kita banyak kekurangan. Dalam buku ini digambarkan kita yang kekurangan sebagai zero. Tapi itu bukanlah penghalang untuk kita maju dan mencapai kejayaan... digambarkan dalam buku ini sebagai hero. Penulis mengajak kita mengubah cara berfikir yang terlalu menyalahkan keadaan tanpa mahu memikirkan bagaimana cara untuk mengatasinya. Ia juga banyak menceritakan kisah orang-orang yang berjaya, baik di dunia mahupun di akhirat. Tidak ada yang tidak mungkin didunia ini, itu kita mesti percaya. Sebabnya telah begitu banyak orang yang sudah membuktikannya.. contoh yang paling dekat... "permata berkilauan" kita.. adik Nik Nur Madihah.. yang serba kepayahan mengharungi hidup serba kekurangan, berbekalkan usaha, tekad dan kesabaran serta tak pernah lupa utk bertawakkal kepada Allah senantiasa beliau berjaya meraih 20A di dalam SPM baru-baru ini.

Bagi saya buku ini bukan untuk dibaca sekali atau dua kali saja lepas tu letak tepi. Ianya perlu dibaca berkali-kali supaya diri kita sentiasa mendapat inspirasi ke arah kejayaan.

Cinantya: this book was ACTUALLY amazing.at least that's what i thought at first..but page by page..sorry to say, but there was many errors on grammatical and punctuation marks..and it was quite annoying, for me. furthermore, the message that was transferred by the authors wasn't arranged in a good order. but despite of that, this book was quite motivating..
:)