Review Alice The Brave #7

Kamis, 26 Juli 2012



Alice the Brave (Alice #7)

by Phyllis Reynolds Naylor

WILL ALICE'S SECRET RUIN HER PERFECT SUMMER?

It's August, and the whole gang is having a terrific time, hanging out at Mark Stedmeister's swimming pool -- except Alice, who has a secret even from her best friends Pamela and Elizabeth. Alice is deathly afraid of deep water, and just as afraid of what will happen if her secret gets out.

When disaster strikes, it's even worse than Alice imagined. How can she face her friends? And how can she face her boyfriend, Patrick, who's coming home from summer vacation and looking forward to joining the eighth grade swim team with Alice?

Aladdin 1996

Crys: Oh Alice, the insecurities of being a new teen seem to not phase her in the same way it does her friends. The main reason is because of her innocent nature. I've read reviews that claimed she was unrealistic, but I can promise you that I teach high school juniors that display the same level of innocence (I know, surprising, right?)

In the latest Alice adventure readers experience her ultimate fear - she is afraid of the deep end of the pool. Who knew that Alice could not swim? I think I missed that tidbit in the past novels, but at this point in her life, it is an issue. Why? Teen boys - they like to throw girls into the pool.

What is a girl to do? Turn to her older brother. In this novel, I really enjoyed the interaction between Alice and Lester. While he seems like a cad in the other novels, in this one readers are treated to his tender side, the one that reminds us that he does love his sister. He "breaks" into Crystal's pool in order to teach Alice a thing or two about fear, and conquering them, and before we know it, readers will feel like they too have conquered something amazing, even if it is just the deep end with Alice.

I love the honesty in the Alice books. While some may say they are not appropriate, I 100% disagree. Naylor takes care when discussing what it is like growing up, and Alice represents it in a wholesome way. When I feel down, I reach for an Alice book because I am sure of a couple of things: (1) I will laugh, (2) I will shake my head, and (3) I will finish the novel with a smile on my face.Long live Alice!

Sarah: Yet another example of why this series should have been put to pasture several books ago. Lacking the charm of the Alice that appeared in the original this Alice comes across as scripted and flat. The story is uninspired, trying to hard to reel in the young adult crowd with its sexual references.

Emma: Another great adventure with Alice! In this installment Alice learns to overcome her fear of swimming and has to come to terms with growing up. I love reading these books because I think there is really something in each one that everyone can relate to.

Lynne: The "Alice" series was probably what I checked out of the library most often when I was in elementary and junior high school. Out of all the books in the series, this is one that stands out most in my mind, besides the silly cartoonish covers that were printed on the Library bound 1980's editions of these books. Naylor was to finish the series when Alice turned 18, but unfortunately, I turned 18 before she did and I do not read them anymore...

Lindsey: Alice is in the summer before 8th grade in this book, and not a whole lot happens. Highlights include Alice overcoming her fear of deep water (hence Alice the Brave) and Elizabeth reading racy portions of "Arabian Nights" and then feeling guilty about it.



Review Bintang Bunting





BINTANG BUNTING

Sepintas lalu, buku ini menarik mata. Covernya tidak biasa, ada kesan “retro” ada kesan modern disini. Tidak seperti kebanyakan cover yang “berarturan”, BINTANG BUNTING bercover “kacaubalau” dengan nilai seni oke (menurut penilaian saya)

Novel ini pemberian seorang pacar dari kawan saya. Ketika melihat simbol G disudut kanan, entah kenapa saya merasa buku ini pasti tidak oke. Sebab bagi saya pribadi, Gagas itu identik dengan “Gokil, Hantu, dan semua hal yang bersifat main-main” sebab (sangat sedikit buku Gagas yang saya baca) saya jarang menemukan “informasi sejarah” di dalamnya.

Yang mencengangkan saya, penulis novel ini (asing ditelinga saya, makhlum saya hanya membaca yang popular di telinga saya) Viliant Budi adalah Nominator Penulis Muda Berbakat khatulistiwa Literary Award 2007, berarti Budi patut diperhitungkan sejajar dengan Andrea Hirata dan Djenar atau penulis novel lainnya.

Sebagai orang yang tidak suka bertele-tele dalam membaca novel (yang penting segera masuk ke isi kisahnya yang oke), saya merasa jengah melihat 6 lembar pertama novel ini dihabiskan untuk ucapan terima kasih, dan “pengantar jayus” dan sebuah kotak berisi laporan tentang tindak kriminal (kotak laporan kriminal ini akan terus berulang sebagai pengantar? untuk bab berikutnya)

Lalu masuklah saya pada bab-bab kisah yang sesungguhnya. Penulisan judul pada setiap bab mengingatkan saya pada gaya menulis Andrea Hirata (meski saya yakin juga sejak lama, sudah ada yang menulis dengan cara ini). Seperti biasa, saya langsung bisa menebak bahwa kisah ini tidak akan terjadi di kampung atau di luar negeri, tapi lagi-lagi di Metropolitan. Bagi saya, Metropolitan adalah pilihan yang mudah untuk menempatkan tokoh-tokoh, mengingat harus riset ke kampung lagi jika ingin menempatkan tokoh-tokohnya di kampung atau di daerah (bdk. Saman dan Ronggeng Dukuh Paruk).

Saya sudah tahu tentang Metropolitan,” kata saya congkak, sebab saya ingin kisah yang dari daerah. Saya merasa tidak ada hal baru/informasi baru yang diberikan kepada saya kecuali permainan kata-kata yang memberikan kesan “jayus” dan “lebay”. Penggunaan bahasa “gaul” Jakarta dan potongan-potongan Inggris, agak memuakan saya. Entah kenapa saya tidak “enjoy” membaca begitu banyak percakapan dalam “Jakarta” atau potongan “Inggris” sementara sehari-hari saya suka bicara kedua bahasa yang sudah jadi bahasa Ibu itu. Ini sebuah misteri. Seperti Oedipus yang membenci bapaknya sekaligus menyanjungnya.

Apakah ini kebiasaan para penulis muda, para penulis yang “besar” di Metropolitan atau sebutlah pulau Jawa? Saya belum mengkajinya. Namun pada novel ini, banyak sekali analogi yang lagi-lagi “jayus” atau “lebay”. Hingga sampai halaman terakhir, kesan “infantil” terekam jelas (ini kesan pribadi) sebab 3 halaman terakhir Budi ingin memberikan “kejutan” dengan membuat lelucon penarik perhatian gaya ABG (bdk 6 halaman pertama) untuk mengakhiri sebuah kisahnya—yang gantung dan kabur sebab tidak ada penyelesaiannya (mungkin memang “gantung” yang dimaksudkan Budi, siapa tahu?)

Kalau Anda merasa tanggapan ini sifatnya “menjatuhkan” saya harap Anda memaafkan atas kecerobohan saya dalam menulis. Perbedaan jenis bacaan membuat orang tidak selalu bisa menerima bacaan yang baginya “hanya untuk senang-senang” sebab manusia selalu menginginkan lebih. Seperti bayi yang bertumbuh, jika 10 tahun kemudian bayi itu masih merangkak, masyarakat mencap dia cacat. Bagi saya, seperti itu pula minat baca atas perbukuan. Selalu maju.

Saya suka mencatat detail, maka saya lampirkan saja disini sebagai semacam “penuntun” dan saya yakin, bagi Anda para pecinta novel jenis ini, Anda akan mencaci saya, tapi itu tidak masalah, setiap pembaca harus kritis, tidak membabi buta bukan?

1

Beberapa (6) lembar awal “kosong” hanya buat tulisan yang sifatnya beriklan, menarik perhatian, membuat penasaran, atau tujuan apapun, yang nyatanya menjadi mirip gaya mencari perhatian model ABG, dengan cara membuat yang aneh-aneh. Apakah Budi merasa tidak bisa menjual “kisah”nya?

2

Sampai disini, Bintang Bunting seperti Sinetron Indonesia (bukan Serial luar negeri semacam Smallville atau Heroes) (hal.12) Bermunculan tokoh muda sebagai peramal, Mada namanya. Saya teringat Madu (wanita India) dan Maria Magdalena (wanita Yahudi). Mada tiba-tiba meramal Audine, salah satu tokoh yang “plop” tiba-tiba muncul. Audine mengira sedang dalam RealityShow dengan judul: peramal tanpa akal (hal.13). Jayus judul RealityShow-nya, bukankah peramal memang mengejutkan dan terlihat tak berakal, kalau pakai akal, dia harusnya jadi Saintis. Di apartemen, saat Audine sedang tidur dan yakin sendirian, ternyata tiba-tiba suaminya, Adam ada di belakangnya. Sempat dia mengira Adam adalah garong pemerkosa (hal.15). Penggunaan bahasa yang aneh. Sejak hari bertemu Mada, Audine selalu membutuhkannya, untuk curhat dan lain sebagainya, kali ini dia ke rumah Mada untuk curhat namun yng terjadi malah ini: Mada yang gemar berbicara menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan (hal.16) memintanya memperbaiki hubungan dengan suaminya, Adam, sebab selama ini ada jarak diantara mereka. Sungguh ironik, Mada yang EYD malah lebih “doyan” bicara “Jakarta” daripada Indonesia sesuai Goryf Keraf.

3

Kita tak pernah tahu spesifikasi tiap tokohnya berprofesi sebagai apa (kecuali dua orang, Raeli dan Mada, Raeli menjadi Pemilik Salon dan Mada menjadi Peramal. Tokoh yang lainnya kabur). Sekarang, Audine ada di kantornya, kira-kira waktu sebelum pertemuan, si CEO bule Jerman gembrot itu menepuk pantat Audine ketika ia melintas di depannya (hal.17). Bule itu menghilang, punya alibi, dan Audine mendampratnya, Audine memilih mengundurkan diri. Bisa ditangkap bahwa sekarang Audine pengangguran (tapi itu tidak dikatakan disini). Menarik bahwa bule (Jerman pula) menampar (pantat pula) Audine. Seumur hidup belum pernah saya membaca novel karya penulis Indonesia yang menyinggung soal tindakan asusila ini. Dan kenapa harus bule Jerman? Dan seperti biasa, Audine butuh diramal Mada. Apa kata Mada? Hindari daerah Selatan (hal.19). Peramal gadungan pun bisa melakukan ini. Tapi menarik, menarik orang yang tertarik pada dunia “peramalan” untuk terus membaca.

4

Salah satu tokoh, Raeli sedang mengurusi salon kecantikannya, ada spa dan segala macam kehebohan para wanita bahkan pria disana. Namanya Really Raeli, namanya terkesan “dipas-paskan” dengan nama pemiliknya, itu sudah menjadi tradisi modern di Indonesia dalam menjual dagangan. Raeli sedang inspeksi sambil menurunkan bagian bawah kaos ketatnya yang sering tertarik ke atas (hal.22-23). Apakah betul, ini gaya berpakaian di salon-salon? Ataukah apa maksudnya ini membuat pusarnya jelas terlihat (hal.23). Bacalah dengan tenang, jangan mengeluh, hingga sampai ke sebuah ide cemerlang dari Audine yang mempunyai kebiasaan “buruk” tidak bisa membedakan nyata dan mimpi, dengan menandai setiap kejadian dengan gambar Bintang pada buku hariannya? Disini kita ketemukan hubungan judul novel tapi hanya sebatas Bintang (tidak dengan Bunting) Audine mulai membuat satu garis miring (hal.39).

5

Masih banyak hal yang terkesan “jayus” dan “lebay”. Pada beberapa bagian seperti dipaksakan agar menarik, dan menjadi bahan horor atau tertawaan. Bagi saya secara keseluruhan Bintang Bunting adalah judul yang orisinal, sangat bagus, ketika terjadi pencocokan antara bintang yang ditandai Audine dan bintang palsu yang dibuat Mada dalam rangka memanipulasi kesadaran sahabatnya, Audine, demi mendapatkan “selingkuh” dengan Adam, suami Audine yang sudah tidak cinta pada Audine. Bintang buatan Mada adalah bintang gendut, seperti sedang bunting. Jadilah Bintang Bunting. Bintang Bunting itulah yang membangunkan Audine dari mimpi yang dimanipulasi Mada, Raeli, dan Adam, dan membuat Audine menghajar Mada, memakinya habis-habisan, dan meninggalkan Adam yang kurang ajar. Audine dibantu oleh seorang lelaki, Joseph (saudaranya?).

Mengenai profesi, banyak tokoh dalam Bintang Bunting adalah semacam pelarian dan kamuflase. Audine mengundurkan diri entah dari perusahaan mana dan kini membuat kue sebagai kegiatan terbarunya (seperti semua tokoh lain, mereka muncul tiba-tiba tanpa latar belakang jelas dan terkesan disembunyikan masa lalu mereka, entah untuk maksud apa), Mis Bling-Bling yang sok, tidak teridentifikasi dengan baik siapa “dirinya”, Raeli sebatas pemilik salon yang doyan bicara tentang kematian, Mada, tiba-tiba muncul sebagai peramal, kegiatan sampingannya adalah membuat kerajinan, Adam, kerja di periklanan, dan sejumlah tokoh lainnya.

Bintang Bunting itu terpotong-potong, melompat-lompat, sehingga jika tidak awas, kita akan tersesat, kabur, dan harus membolak-balik halaman agar tahu kita sedang dimana ini. Waktu dan tempat sepertinya tidak diperdulikan Budi, pokoknya cerita tentang pembuatan Bintang. Pagi, siang, sore, malam menjadi kabur ketika setiap tokoh bisa muncul kapan saja, dimana saja, dan pergi kemana saja untuk sebuah tujuan yang kadang kala tidak penting. Karena terpotong-potong (novel terakhir Sidney Sheldon juga berisi potongan-potongan namun begitu detail sehingga kita bisa mengikutinya tanpa membolak-balik halaman depan) Bintang Bunting menjadi tidak menarik. Tokoh-tokohnya menjadi kabur. Kejadian-kejadian menjadi kurang bermakna dan berarti.

6

Di akhir kata, saya masih tidak habis pikir, ada penulis yang dinominasikan Khatulistiwa Literary Award, kok bisa menggunakan analogi semacam ini? Kadang kebencian datang seperti kamu membenci Angelina Jolie hanya karena kamu menyukai Jennifer Aniston (hal.121). Ini salah satu dari banyak analogi Budi dalam Bintang Bunting yang bagi saya pribadi, kekanak-kanakan.

>Benjamin Azerah<