Review Dear John

Sabtu, 11 Agustus 2012




Dear John

by Nicholas Sparks (Goodreads Author), Barokah Ruziati (Translator), Marcel A.W. (Illustrator)

"Dear John" demikian surat itu dimulai. Dan dari dua kata itu, ada hati yang patah dan dua anak manusia yang hidupnya berubah selamanya.

John Tyree, pemuda pemberontak yang memilih menjadi tentara karena tidak punya tujuan hidup... sampai dia bertemu Savannah Lynn Curtis. Hubungan yang awalnya hanya percintaan musim panas berubah menjadi cinta abadi, membuat Savannah rela menunggu John menyelesaikan penugasannya yang berjanji akan pulang dan menikahinya. Tapi tak satu pun menyangka akan terjadi peristiwa 9/11 di New York yang mengubah dunia dan cinta mereka. Pada saat itu, sebagai tentara, John harus memilih antara cintanya pada kekasih atau negaranya. ketika akhirnya pulang ke kampung halaman, John harus menghadapi kenyataan pahit dan menyadari bahwa cinta ternyata bisa mengubah manusia dengan cara yang tak pernah bisa dia bayangkan sebelumnya.

Gramedia Pustaka Utama 2010

Weni: "Dear John" demikian surat itu dimulai.
Dan dari dua kata itu, ada hati yang patah dan dua anak manusia yang hidupnya berubah selamanya.

Begitulah 2 baris kalimat yang tertulis di cover belakang buku ini

Dua anak manusia yang dimaksud tulisan tsb adalah John Tyree dan Savannah Lynn Curtis, sepasang kekasih.
Dan orang yang mudah terharu (cengeng) seperti saya nekat tetap membaca buku sejenis ini. Hasilnya seperti yang sudah diduga, berurai air mata.

Bukan..., bukan kisah John dan Savannah yang membuat saya menangis.

Memang, ada surat Savannah membuat saya terharu dan berkaca2, tapi kisah John dan ayahnya lah yang membuat saya menangis.

Ayahnya yang sangat biasa. Ayahnya yang tidak bisa bersosialisasi.

Ayahnya yang tidak pernah mengobrol. Ayahnya yang tidak punya emosi.

Ayahnya yang hanya punya gairah ketika berbicara tentang koin.

Ayahnya yang (diduga kuat) mengidap sindrom asperger.

Komunikasi tanpa kata antara mereka membuat saya terenyuh.

Adegan sang ayah yang meletakkan tangannya di punggung John ketika John akan kembali bertugas ke Jerman sudah cukup untuk membuat airmata saya mengalir.

Arlene: Dear John by Nicholas Sparks is one of those books I've developed a love/hate relationship with. I love, love, love the first part of the book, and I immediately fell for the main character, John Tyree. But when he gets his Dear John letter, it was all down hill from there, and I have to say I was left in angst. The ending is to some extent depressing, but I do have to give it to Sparks because he paints a realistic picture. However, someone needs to let the man know that he's writing fiction and sometimes, it's okay to have a happily ever after. His readers would surely appreciate it.

About the book… John Tyree's life is spiraling down hill when he decides to join the army. During a leave, he comes home and meets Savannah, and that's when his life takes a turn. They fall in love, and because of her, he learns how to forge a relationship with his father. He returns to his base in Germany with the hopes of coming home to Savannah when his tour is over. Then 9/11 hits, and he makes a choice that will change his life forever.

Great story, with a realistic yet off-of-the-charts sad ending. Let's just say, I'll proceed with caution when choosing another Sparks book in the future.

Katia: OK, so...I finally finished. Like a lot of other people, I read this simply because I saw the preview for the movie and I HAVE to read a book before I see the film adaptation. In this case, I really wish I wasn't so anal retentive.

Anyhoo, the book. Typical Sparks fare - star-crossed lovers, torn apart by fate, life, what have you. I really enjoyed the interaction between John and his father a lot more than I did his relationship with Savannah, maybe because it seemed far more real. I never warmed up to Savannah, even though she was supposed to be the perfect, lovely Southern young lady. And, like SO many other reviews on here, I too thought the ending was horrid. As I was nearing the end of my audiobook, I knew exactly how it would end, but I still had another disc to go. It was seriously painful...I can get behind tragic/unrequited love stories, but this one just seemed so pointless. John literally gives up everything he has in his entire life for someone who treats him badly for 90% of their relationship. I always know what I'm getting myself into with a Sparks book, but in this case I left feeling totally dissatisfied; its like when you go to a buffet, and you know what you're about to eat is terrible for you, but you binge anyways and have massive regrets immediately afterward. I'll still go see the movie, mostly because my sister-in-law is super excited to see it, but part of me hopes this is one of those instances where Hollywood romanticizes things and changes the ending. This book could really use it.

Review The Grey Labyrinth






The Grey Labyrinth (The Search for Merlin #2)

by Tyas Palar (Goodreads Author)

“Zaman ... kalian ... Penyihir Lama ... akan berakhir. Akan tiba ... waktu ... Para Penyihir Fana ... seperti kami…”

Sebuah ledakan besar yang misterius terjadi di Pennines, Inggris. Anak-anak berbakat alkemi menghilang dari Semenanjung Arab dan Asia Kecil. Gaspar Deuxcroix mengatakan ingin bertemu musuh bebuyutannya, Arderydd ab Don alias Edward Twickenham. Ivar Eidfjord, sahabat Edward, tak lagi bisa melihat Masa Depan.

Berbagai misteri baru yang saling berjalin menanti untuk diuraikan; semua berakar pada sebuah dendam yang bangkit setelah terkubur lama dan menuntut balas, meskipun akan menyeret seluruh dunia ke dalam Arah Sejarah yang baru.

Edward pun dihadapkan kepada pilihan berat: bersedia membantu Dewan Penyihir yang ia benci, atau membiarkan orang yang ia sayangi terancam bahaya.

Maaia: The best part of this book is the magnificent historical background that requires decent researches. If such historical romance can get avid readers, I believe historical fantasy should share the same virtue.

Other favourite parts from this series: strong characters. Since Tyas posted her interview with two of the main characters (Edward and Ivar), I personally embraced them as living characters. Maybe they are.

And oh I kind of have a crush with William Grey lol

Jalinan ceritanya masih seru. Konfliknya lebih jelas dibanding buku pertama, dan rasanya luar biasa senang dan bangga membaca karya penulis fantasi lokal sekeren ini.

Jelas Tyas melakukan riset sejarah dunia dengan tekun, jadi selain berfantasi aku juga belajar lebih dalam tentang sejarah abad pertengahan. Aku rasa Tyas semakin menemukan jalur yang pas untuk karya-karyanya, Historical Fantasy. Dan menurutku itu luar biasa.

Sebuah kebanggaan bisa membaca karya ini, dan bertemu kembali dengan Edward, Ivar dan William. Sayang sekali Ivar harus melepaskan rambut palsunya, sepertinya menjadi pengikut mode agak sulit bagi penyihir sepertinya hehe

*selesai dibaca di atas pesawat Medan-Jakarta dan sukses menarik perhatian orang gara-gara cekikikan melihat kelakuan Ivar*

Truly: “…Betapa beruntungnya kau tak mewarisi kemampuan melihat kilasan masa depan. Betapa beruntungnya kau tak perlu melihat segala peristiwa buruk yang yang masih berlangsung di dunia yang durjana ini. Betapa beruntungnya kau tak perlu tersiksa seperti aku….”

Akhirnya………!

Penantian panjang untuk sebuah buku. Butuh waktu 2 tahun untuk mendapatkan buku kedua dari beloved Tyas. Padahal gosip yang beredar menyebutkan kisah ini sudah diselesaikan jauh hari, tak lama sejak buku pertama beredar. Biarlah gosip berlalu bersama angin, yang penting buku ini sudah berada di tangan saya berkat toko buku favorit TM Bookstore.

lengkapnya di sini

http://trulyrudiono.blogspot.com/

Villam: lebih berupa potongan2 kejadian yang melibatkan terlalu banyak tokoh dalam rentang waktu antar peristiwa yang teramat panjang. tapi ini sungguh enak dibaca; kelebihan tyas. :-)

Review Jodoh Monica




Jodoh Monica

by Alberthiene Endah

"Aku butuh jodoh. Aku tak mau jadi perawan tua... "

"Monic, kota besar tak pernah menertawakan wanita yang hidup melajang. Jakarta tak mengenal kata perawan tua!"

"Tapi ini masalah keinginan. Aku tak mau masih menikmati sarapan sendirian pada usia empat puluh..."

"Kariermu kan hebat!"

"Jodoh lebih penting..."

Pada usia 34 sekarang ini, Monica Susanti wanita karier sukses dari perusahaan periklanan, menyadari kekurangannya: sulit mendapat jodoh. Dia menyesali masa muda yang dia habiskan untuk ambisinya mengejar karier. Di saat depresi menanti jodoh datang, dia banyak mengalami peristiwa menggelikan, sekaligus berpotensi memberinya calon pasangan hidup! Apa yang dirasakannya ketika seorang pria flamboyan, sukses, dan keren seperti Mike tiba-tiba menyatakan cinta padanya?

Gramedia Pustaka Utama 2004

Yun: selama baca buku ini timbul satu pertanyaan...SEPENTING ITU KAH MENIKAH????

karena ngebet menikah..tokoh utama, monica menghalalkan segala cara...mulai dari salon,baju berlebel,dll...bhkn menurunkan 'harga diri"...ini menurut arya looo...cuma buat mengaet cow tipe mike yg ternyt beneran gak bgt...ato pun cow gay ky chiko...omggg....

dari awal sikap monica sok jaim bgt pdhal asli murahan..*mnrt q*...demi jodoh seorg creative director rela jd penerima tamu n tk boong...ampun deh..

oops..q lupa ada 1 kalimat Arya yg ngena bgt : mo' nika kek...mo' gak kek...yg penting hepi

Efendi: seperti lagu milik oppie, I'm single I'm happy, belajar untuk bisa menerima diri sendiri apapun keadaannya, event saat belum menemukan someone as a right man
santai aja, jika memang sudah waktunya untuk bertemu, pasti akan ketemu juga, jadi gak usah terlalau pusing dengan orang di sekitar yang selalu bertanya kapan menikah ketika usia sudah diambang 30

menikah adalah suatu keputusan besar, dimana hanya individu yang bersangkutan yang bisa memetuskan kapan dia siap dan kapan belum :)so gak perlu khawatir dengan semua itu, saat waktu itu tiba, kita pasti akan menyadari dengan sendirinya

Sally: Ini buku ke 2 Alberthiene Endah yang gue baca setelah buku cewek matre. Cara penceritaan dan bahasa yang dipakai masih sama, modern dan cerdas. Masih mengumbar satu aspek kehidupan jakarta yang sempurna. Cowok dan cewek pemeran utama keren-keren dan kaya-kaya.

Kalau di 'Cewek Matre', inti ceritanya jelas dan gue mendapatkan inspirasi dari tokoh utamanya, tapi kalau di 'Jodoh Monica', gue masih bingung sama inti cerita dan gue ga mendapatkan apa-apa dari tokohnya. Cuma seperti membaca novel percintaan biasa.

Sayang sekali... padahal gue suka dengan ide cerita tentang perawan tua dan masalah yang dihadapi sehari-hari. Gue juga suka bumbu-bumbu percintaan di buku ini. Tapi gue mengharapkan endingnya ada bantahan cerdas dari kaum perawan tua dengan memperkenalkan konsep kebahagiaan tanpa harus menikah dan mungkin happy ending dengan kekuatan Monica sendiri, bukan karena keberuntungan mendapatkan jodoh. Gue mengharapkan inspirasi dari keterbukaan pikiran wanita modern yang bisa bahagia bukan dengan jodoh atau kesuksesan di karir tapi karena kebahagiaan lainnya, misalnya dengan mengadopsi anak atau kepuasan atas hidup di segala kondisi.

Ada beberapa hal yang gue ga suka dengan karakter Monica yang angkuh dan munafik:

1. Gue ga suka cara Monica memperlakukan cowok teman kuliahnya yang mungkin jelek, tapi kenapa harus dihindari? Apakah berteman dengan cowok jelek itu memalukan? Tinggal bilang aja dia ga tertarik untuk jadi pacar. Seharusnya umur 34, telah membuat seseorang lebih dewasa untuk tidak cuma melihat penampilan fisik

2. Kenapa dia ga minta tolong sama temen-temennya untuk dikenalin sama pria-pria potensial? Semua orang juga bisa ngeliat Monica bukannya ga laku tapi karena dia terlalu sukses yang menakutkan pria. Makanya apa salahnya untuk terbuka dengan teman sendiri? Malu? kenapa mesti malu kalau untuk kebahagiaan jangka panjang.

Anyway, mungkin ini aspek karakter orang Jakarta yang bukan bagian dari pergaulan gue.

Pada dasarnya buku ini lumayan menghibur, cuma ga sebanding dengan 'Cewek Matre' yang bikin gue kagum. Buku ini hanya cukup 2 bintang.

Pertanyaannya: Memangnya hari gini di Jakarta masih ada perawan tua? TUA? pasti! PERAWAN? belum tentu!

Review Jodoh Monica




Jodoh Monica

by Alberthiene Endah

"Aku butuh jodoh. Aku tak mau jadi perawan tua... "

"Monic, kota besar tak pernah menertawakan wanita yang hidup melajang. Jakarta tak mengenal kata perawan tua!"

"Tapi ini masalah keinginan. Aku tak mau masih menikmati sarapan sendirian pada usia empat puluh..."

"Kariermu kan hebat!"

"Jodoh lebih penting..."

Pada usia 34 sekarang ini, Monica Susanti wanita karier sukses dari perusahaan periklanan, menyadari kekurangannya: sulit mendapat jodoh. Dia menyesali masa muda yang dia habiskan untuk ambisinya mengejar karier. Di saat depresi menanti jodoh datang, dia banyak mengalami peristiwa menggelikan, sekaligus berpotensi memberinya calon pasangan hidup! Apa yang dirasakannya ketika seorang pria flamboyan, sukses, dan keren seperti Mike tiba-tiba menyatakan cinta padanya?

Gramedia Pustaka Utama 2004

Yun: selama baca buku ini timbul satu pertanyaan...SEPENTING ITU KAH MENIKAH????

karena ngebet menikah..tokoh utama, monica menghalalkan segala cara...mulai dari salon,baju berlebel,dll...bhkn menurunkan 'harga diri"...ini menurut arya looo...cuma buat mengaet cow tipe mike yg ternyt beneran gak bgt...ato pun cow gay ky chiko...omggg....

dari awal sikap monica sok jaim bgt pdhal asli murahan..*mnrt q*...demi jodoh seorg creative director rela jd penerima tamu n tk boong...ampun deh..

oops..q lupa ada 1 kalimat Arya yg ngena bgt : mo' nika kek...mo' gak kek...yg penting hepi

Efendi: seperti lagu milik oppie, I'm single I'm happy, belajar untuk bisa menerima diri sendiri apapun keadaannya, event saat belum menemukan someone as a right man
santai aja, jika memang sudah waktunya untuk bertemu, pasti akan ketemu juga, jadi gak usah terlalau pusing dengan orang di sekitar yang selalu bertanya kapan menikah ketika usia sudah diambang 30

menikah adalah suatu keputusan besar, dimana hanya individu yang bersangkutan yang bisa memetuskan kapan dia siap dan kapan belum :)so gak perlu khawatir dengan semua itu, saat waktu itu tiba, kita pasti akan menyadari dengan sendirinya

Sally: Ini buku ke 2 Alberthiene Endah yang gue baca setelah buku cewek matre. Cara penceritaan dan bahasa yang dipakai masih sama, modern dan cerdas. Masih mengumbar satu aspek kehidupan jakarta yang sempurna. Cowok dan cewek pemeran utama keren-keren dan kaya-kaya.

Kalau di 'Cewek Matre', inti ceritanya jelas dan gue mendapatkan inspirasi dari tokoh utamanya, tapi kalau di 'Jodoh Monica', gue masih bingung sama inti cerita dan gue ga mendapatkan apa-apa dari tokohnya. Cuma seperti membaca novel percintaan biasa.

Sayang sekali... padahal gue suka dengan ide cerita tentang perawan tua dan masalah yang dihadapi sehari-hari. Gue juga suka bumbu-bumbu percintaan di buku ini. Tapi gue mengharapkan endingnya ada bantahan cerdas dari kaum perawan tua dengan memperkenalkan konsep kebahagiaan tanpa harus menikah dan mungkin happy ending dengan kekuatan Monica sendiri, bukan karena keberuntungan mendapatkan jodoh. Gue mengharapkan inspirasi dari keterbukaan pikiran wanita modern yang bisa bahagia bukan dengan jodoh atau kesuksesan di karir tapi karena kebahagiaan lainnya, misalnya dengan mengadopsi anak atau kepuasan atas hidup di segala kondisi.

Ada beberapa hal yang gue ga suka dengan karakter Monica yang angkuh dan munafik:

1. Gue ga suka cara Monica memperlakukan cowok teman kuliahnya yang mungkin jelek, tapi kenapa harus dihindari? Apakah berteman dengan cowok jelek itu memalukan? Tinggal bilang aja dia ga tertarik untuk jadi pacar. Seharusnya umur 34, telah membuat seseorang lebih dewasa untuk tidak cuma melihat penampilan fisik

2. Kenapa dia ga minta tolong sama temen-temennya untuk dikenalin sama pria-pria potensial? Semua orang juga bisa ngeliat Monica bukannya ga laku tapi karena dia terlalu sukses yang menakutkan pria. Makanya apa salahnya untuk terbuka dengan teman sendiri? Malu? kenapa mesti malu kalau untuk kebahagiaan jangka panjang.

Anyway, mungkin ini aspek karakter orang Jakarta yang bukan bagian dari pergaulan gue.

Pada dasarnya buku ini lumayan menghibur, cuma ga sebanding dengan 'Cewek Matre' yang bikin gue kagum. Buku ini hanya cukup 2 bintang.

Pertanyaannya: Memangnya hari gini di Jakarta masih ada perawan tua? TUA? pasti! PERAWAN? belum tentu!