Naskah Novel "Buku Warisan"

Minggu, 27 Oktober 2013
Sebelum Anda membaca, perlua Anda ketahui bahwa ini naskah novel berjudul BUKU WARISAN yang pernah dikirimkan ke Penerbit Gramedia tapi sepertinya tidak cocok dengan pasar yang sedang berkembang. Silakan membaca kalau Anda suka. Silakan tinggalkan jika tidak. Khusus saya berikan Bab I dari novel tersebut. Karena lumayan panjang, saya akan potong di beberapa bagian sesuai dengan pemotongan pada naskah aslinya.

Selamat membaca!




BUKU WARISAN
Oleh Ramon Ella

Ganjil

Ingin sekali tidak kuceritakan kisah kecil ini hanya karena aku anak lelaki. Sebagaimana remaja lelaki umumnya, aku malu jika kelihatan berada dekat ketiak ibu kami. Sebagian besar, mungkin semua ibu di dunia ini tidak menyadari itu. Pikir mereka, lelaki tetaplah bayi yang mereka susui. Bayi lelaki tidak pernah dewasa, dia selalu membutuhkan susu. Sampai kapanpun, bayi lelaki membutuhkan kelonan perempuan. Mereka berbeda dengan bayi perempuan yang kelak menghasilkan susu dan kelonan sendiri. Entah sampai kapan bayi lelaki akan tetap disusui dan dikelon.
                “Mungkin sampai dia mati,” gerutu Alexander Remedial Pringgodigdoyo, kembaranku, ketika bemo langganan keluarga melaju cepat dari mulut jalan.
                Bocah-bocah lelaki berebutan bergelantungan pada bemper belakang, mulut bemo, ada yang nekat menjangkau kaca jendela yang terbuka. Sang supir, masih lelaki kurus yang sama, tertawa, sesekali memaki bebocah, tampak menikmati menjadi pusat perhatian dalam kegembiraan ini.
                Kalau tidak mendebat, bukan Alex namanya.
                “Kenapa Bapak tidak mau antar kita?”
                Bapak adalah lelaki yang mengkhususkan diri mengurusi negara sejak dia diangkat menjadi staf Kantor Lurah. Dulu dia mengabdi di Kantor Kecamatan. Bapak menggeleng halus, itu bisa diterjemahkan sebagai berikut: Bapak ingin tapi negara memanggil. Tidakkah kalian ingat betapa pengorbanan pahlawan untuk Kemerdekaan kita sekarang? Kalau bisa membalas jasa mereka, balaslah dengan tidak menggerutu. Dan lagi pula bapak lebih suka menjadi orang di belakang layar daripada menjadi aktor. Bapak bukannya malu atau malu-maluin tapi dia bukan tipe orang yang sombong. Dia lebih suka mengurusi pembayaran uang sekolah daripada memamerkan diri dan kekayaan yang dapat kami angkut ke Asrama Saint Dominici selama Seleksi 3 hari nanti. Bisa jadi prinsip ini yang membuat dia tetap setia pada partai Golongan Karya (Golkar) bahkan setelah Soeharto lengser dan para Pegawai Negeri Sipil boleh memilih partai mana yang mereka suka. Bahkan ketika bertahun-tahun kemudian, euforia Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri memenuhi nyaris seluruh kehidupan di Iliman (kecuali gereja), bapak tetap mencoblos Golkar, dalam pemilihan apapun. Semua orang tentu tahu, bapak adalah salah satu kader Golkar yang tidak pernah mendapat apapun dari partai bahkan pada masa pemerintahan Soeharto. Bapak adalah lelaki yang setia pada pilihannya, bukan pada pemimpin, ketakutan, atau euforia.
                Di kemudian hari, bertahun-tahun setelah ini, ketika aku bekerja sebagai guru les privat murid SD kelas V, baru aku temukan lelaki yang mirip bapak. Lelaki itu berdarah Belanda seperti bapak. Membela negeri ini. Mendirikan Indische Partij bersama dua orang kawannya dan menyebut dirinya orang Indonesia, orang Jawa. Dialah Ernest Francois Eugine Douwes Dekker atau Danu Dirdjo Setya Budhi.