Review A Spot of Bother (Bintik Gatal)

Rabu, 18 April 2012





A Spot of Bother (Bintik Gatal)

by Mark Haddon, Ferry Halim (Translator)

George Hall tak mengerti obsesi orang-orang modern untuk membicarakan segala hal. Rahasia kepuasan hati, menurutnya, terletak pada pengabaian terhadap banyak hal secara menyeluruh. Namun, ternyata beberapa hal dalam hidup ini tak bisa diabaikan, meskipun itu hanya sebuah “bintik gatal”.

Pada usia 57, George mempersiapkan diri menikmati masa pensiun yang nyaman. Ia membangun sebuah pondok di kebunnya, membaca novel-novel sejarah, dan menyimak musik jazz ringan. Namun, Katie, anak perempuannya yang pemberang, menyatakan akan menikah dengan Ray.

Keluarganya tak senang karena adik Katie, Jamie, melihat Ray memiliki sepasang tangan “tukang cekik”. Katie sebenarnya tak tahu pasti apakah ia sungguh mencintai Ray atau hanya menyukai perlakuan luar biasa pria itu terhadap anak Katie dari perkawinan sebelumnya, Jacob. Sementara, Jean ibunya merasa kesal dengan segala perdebatan tentang pernikahan itu yang mengganggu perselingkuhan usia senjanya dengan bekas kolega suaminya. Di sisi lain, kehidupan menyenangkan yang diciptakan Jamie hancur berkeping-keping saat ia gagal mengundang kekasih homoseksnya, Tony, ke acara pernikahan mengerikan tersebut.

Saat terabaikan di tengah suasana hiruk-pikuk itu, George menemukan luka ringan di pinggulnya dan diam-diam ia mulai kehilangan akal sehatnya ...

Kepiawaian Mark Haddon membuat A Spot of Bother ini mampu menghanyutkan pembaca dengan kisah unik tentang kehidupan masa kini dan suka duka cinta, dibumbui humor segar dan ketegangan.

Serambi 2008

Dessy: Ini kisah sebuah keluaga modern masa kini. Cerita tentang problema keluarga yang jika dicermati dengan bijak adalah cerminan rumit dan kompleknya kehidupan. Hubungan antara suami, istri, orang tua, anak, serta masuknya “orang lain” kedalam sebuah keluarga.

George
Suami dan ayah yang menghadapi masa sulit saat memasuki masa pensiun. Seorang lelaki yang biasa bekerja dan kemudian harus berdian diri dirumah, berdaptasi dengan cara mengurus kebun, membaca novel, mendengar music jazz dan hal-hal remeh lainnya, masalah klasik lelaki saat mereka kehilangan power-nya sebagai penguasa keluarga. Suatu hari ia menemukan sebuah benjolan berupa segumpal daging berbentuk bulat telur di pinggulnya. George berpikir ia menderita kanker. Ia mulai depresi dan mulai berlaku aneh. George adalah tipe lelaki yang tidak begitu suka berbicara, baginya hal itu tidak mengubah apapun. Menurutnya “Rahasia kepuasan hati terletak pada pengabaian terhadap banyak hal secara menyeluruh.” (hal.14)

Jeann
Seorang Istri dan ibu yang kecewa terhadap diri, anak-anak dan apa yang ia peroleh dari kehidupan berumah tangga. Perlakuan dingin suami yang kurang menaruh perhatian terhadap apapun yang ia lakukan, membuatnya merasa benar-benar diabaikan. Saat Jean memasuki puber kedua ia berselingkuh dengan mantan teman sekantor suaminya. Ia menjalin hubungan terlarang dengan David. Lelaki itu membuatnya merasa paling tahu tentang banyak hal, ia mau mendengarkan dan menaruh perhatian. Bagi Jean perselingkuhan tidak tampak terlalu mirip sebuah penghianatan. Saat George mulai pensiun tak sedikit pun terbersit dalam pikirannya bahwa suatu saat rahasianya akan terbongkar.

Katie
Putri sulung George dan Jean, Katie gagal mempertahankan perkawinannya yang telah menghasilkan seorang putri, ia becerai dan sedang menjalin hubungan dengan Lelaki yang tidak disukai oleh kedua orang tuanya. Katie sendiri tidak yakin dengan perasaan cintanya terhadapa Ray, walaupun demikian ia membutuhkan penopang hidup demi anak dan status sosial. Ia hanya tahu bahwa putrinya membutuhkan figure seorang ayah dan ia merasa nyaman tinggal bersama Ray, di rumahnya yang besar dan nyaman. Menjelang hari pernikahan saat semua mulai sibuk mengurus segala keperluan pesta calon pengantin wanita ini mulai stress, Ia berpikir untuk membatalkan pernikahan mereka.

Jamie
Si bungsu yang menyukai sesame jenis. Jamie mencintai seorang lelaki bernama Tony, namun ia tidak siap mengundangnya ke rencana pernikahan Katie, Ia tidak siap jika keluarganya harus menghadapi kenyataan bahwa putra mereka satu-satunya ternyata seorang homoseksual. Jamie berusaha berkompromi, hingga ia memutuskan harus mengahiri hubungannya dengan Toni. Jamie merasa terkurung dengan pendapat dan norma –norma masyarakat yang menolak hubungan antar sesama yang menurut kebanyakan orang masih merupakan hal yang ganjil. Namun ia tidak bisa menipu diri sendiri.

Penuh detail dengan pikiran –pikiran setiap tokoh, cerita mengalir dari satu karakter ke karakter yang lain, bergelut dengan problema yang mereka hadapi . Membawa pembaca masuk ke dalam pikiran masing-masing tokoh. Mark berusaha menggambarkan suatu masalah dilihat dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Mark juga menampilkan humor-humor segar tentang kehidupan, ia juga menyelipkan berbagai referensi buku, musik, perlengkapan kehidupan modern yang menjadi gaya hidup manusia masa kini. Yang mungkin dipilih berdasarkan selera penulis.

Mark Haddon mencoba menyampaikan bahwa dalam membina sebuah keluarga ada banyak kepala yang mempunyai beraneka problema yang harus dilihat dari sudut pandang masing-masing. Tiap individu mempunyai masalah yang hanya bisa dipecahkan dari kacamata mereka sebagai pribadi yang komplek.

Seperti karya mark Haddon sebelumnya “The Curious incident of the Dog in the Night-Time”.buku ini kembali menyita perhatianku, dan memasukkan Mark Haddon kejajaran penulis yang buku-bukunya wajib untuk dimiliki. Selain menulis novel Ia juga telah menerbitkan beberapa kumpulan puisi.

Penulis: Mark Haddon

Penerbit: PT Serambi Ilmu Semesta

Penerjemah: Ferry Halim

Penyerasi: Sidik Nugraha

Cetakan I, April 2008

Risyiana: I bought this book because I was really fascinated with The Curious Incident of the Dog in the Night Time, Haddon's previous book, definitely one of my favorite ever in my book shelf.

I was so impressed with Haddon's way of delving and slipping into somebody else's head describing every single detail of thing that passes his brain, like what he did in The Curious Incident of the Dog in the Night Time. It's like being inside a fast moving train that stopped every once in a while on several stations, scrutinizing every single detail, people after people, scenery after scenery only you know that all along is not your eyes you use to examine all those things. Fun and adventurous.

That was actually what I expected from this piece. It was described as the book about an old man trying to go insane politely. So I thought, okay, this might be interesting. Having really aware of Haddon's aptitude for such brain voyage thing. It might be really interesting to dive deep and see things from the turning insane old man's point of view. A rather inviting call for journey I must say.

I learned several things about the journey as the pages passed on, indeed. First, it was rather unwise to compare the trip of The Curious Incident with this one. Haddon‘s flair of describing one's state of mind beautifully is of course unquestionably still there, but one was seen from an asperger child's point of view, who saw things in a rather chaotic way, making the story's so gripping and fast-moving, superbly amusing. And the other was seen from the point of view of an old man... which made the slow-paced, rather lacklustre narrative was understandable... and forgivable.

As the pages moved on I can see that the slow-paced tell tale with the too real (in a sense of almost cliche) characters were intentional. Maybe that's how the old man sees the world around him, a bit too usual, nothing's larger than life itself. I suppose it's as one of Haddon's exploit to keep the story palpably flowing. And so it was, deliberately flowing in a slow stream. It’s really not ugly, Haddon’s just keeping his promise really well. Telling a story about an old man who’s trying to go insane politely. Though I would say, it’s rather too polite it almost shooed out the fun.

Patrick: I pretty much hated this book. It was the type of book that you read because you liked the author's other work, but it's so aggressively bad that it makes you reconsider whether or not you actually liked the author's previous work upon closer consideration.

So what was so bad about it? Well, for the one the characters simply didn't ring true. They all felt poorly sketched out, just a bunch of people having what Haddon would have you believe are constant epiphanies about their sad little lives. He writes in such a way that you can tell he wants the reader to think it's a stunning revelation that this character is having, when it's just another dull moment in a rather dull story. If I had a dollar for every time Haddon made a one sentence paragraph meant to reveal some larger truth about the character's personalities, I'd be a rich man. He also has a nasty habit of ending each "chapter" (there are well over 100 of them, most 2 pages or less) with some half-assed "cliff-hanger", something better suited to the James Pattersons and R.L. Stines of the world.

Haddon doesn't seem to understand his characters, and he doesn't seem to care to, either. He simply throws a jumble of people into awkward situations and has them (over)react like a bunch of unlikeable, selfish jerks and then comment to themselves that, perhaps, they are acting like unlikeable, selfish jerks who are overreacting to what are, in reality, fairly mundane situations. They're sad, selfish little people, yet Haddon seems to think they are endearing.

Finally, he ends the book fairly abruptly and with a neat little bow on top that doesn't suit it. Everything works out for everyone involved, yet no one seemed to learn anything or grow as people. They all ended exactly where they began with no growth whatsoever. I've heard people who are familiar with autism claim that Haddon's sketch of the child in 'A Curious Incident of the Dog in the NightTime' was actually woefully inaccurate and quite offensive, and seeing the way he handles his characters' problems in this story, I'm much more inclined to believe that. Just an awful, awful book. Haddon seems to think he's writing a British version of 'The Corrections', but he's painfully mistaken. I'll probably not read anything by Haddon again.

Uci: It's like rain in your wedding day

It's a free ride when you've already paid

It's a good advice that you just didn't take

and who would've thought...it figures

Ironic by Alanis Morisette

George Hall menjalani hidupnya tanpa neko-neko. Menikah, punya anak, punya rumah dan pekerjaan yang bagus, pokoknya segala hal yang sepatutnya dimiliki lelaki baik-baik. Namun memasuki masa pensiun, tiba-tiba berbagai masalah menjungkirbalikkan hidupnya yang sempurna. Putrinya Katie akan melangsungkan pernikahan kedua dengan lelaki yang menurut George dan Jean, istrinya, tidak selevel dengan Katie. Putra mereka Jamie akan membawa pacarnya Tony ke pernikahan tersebut, yang membuat George terpaksa harus mulai menerima kenyataan bahwa Jamie adalah seorang gay. Sebentuk daging tiba-tiba muncul di pinggul George, membuatnya depresi karena takut mati terserang kanker. Dan puncaknya, Jean berselingkuh dengan mantan rekan sekantor George. George pun mulai bertanya-tanya, apakah selama ini dia telah menyia-nyiakan waktunya, dengan tidak melakukan hal-hal yang disukainya, demi mengejar hidup yang aman. Sementara pernikahan putrinya sudah semakin dekat...

Rusuhnya persiapan pernikahan memang menarik dijadikan bahan cerita. Sejumlah film yang pernah saya tonton juga mengangkat tema serupa, seperti Father of the Bride, My Bestfriend's Wedding, Rachel Getting Married, dll. Walaupun tidak persis sama, tapi benang merahnya adalah berbagai masalah yang timbul menjelang hari pernikahan. Mungkin karena acara pernikahan sering kali menguras tenaga dan emosi, sehingga rawan mengundang pertengkaran, tangisan, pertemuan, pelarian, atau malah perpisahan.

Itu sebabnya meskipun dalam novel ini Mark Haddon masih punya 'daya magis' untuk menyihir pembaca seperti saya tetap terpaku menyimak halaman demi halaman sampai tuntas, namun tema yang diangkat tidak seunik The Curious Incident of the Dog in the Night-Time.

Di buku ini, Haddon sangat sabar memaparkan detail hari demi hari yang dilewati masing-masing tokoh. Ritual mandi atau makan sepulang dari kantor bisa dia jabarkan satu per satu tanpa kehilangan stamina. Bagi pembaca yang menunggu-nunggu aksi seru mungkin bisa mati bosan di tengah jalan :D Tapi untungnya Haddon masih menyisipkan lelucon-lelucon sarkastik di antara cerita, jadi cukup menghibur.

Yang jelas novel ini kembali membuat saya berpikir, apakah saya sebaiknya tetap hidup lurus-lurus saja seperti selama ini, atau mulai nekat mengejar semua yang ingin saya lakukan tapi tidak pernah berani saya lakukan? Hidup toh cuma sekali....

Hehehehehe

Review Perjalanan ke Atap Dunia





Perjalanan ke Atap Dunia

by Daniel Mahendra

Bacalah tentang Cina dengan segenap kedigdayaan ekonomi dan budayanya. Tetapi tak baik melupakan Tibet dan Nepal karena keduanya merupakan sumber pengetahuan terpenting tentang alam, manusia, spritiualitas, politik, seni dan budaya.

Bagi yang merasa mustahil ke sana, nikmatilah buku liputan perjalanan ini karena memang menyediakan eksotisme kelas tinggi. Bagi yang ingin segera ke sana, baca dan bawalah buku ini sebagai karib perjalanan.

Royalti buku ini oleh sang penulisnya didedikasikan untuk amal kegiatan Rumah Dunia, sebuah komunitas belajar sastra, jurnalistik, teater, seni rupa, seni suara, juga film, yang dibidani oleh Gol A Gong dan Tias Tatanka di kota Serang, Banten

Medium 2012

Indri: Perjalanan adalah Keberanian Bermimpi

"Kang, kita mau jalan-jalan ke Curug Malela tanggal 23 April, ikutan yuk!"

"Wah... Kok tanggal segitu. Tanggal segitu aku masih di Tibet/Nepal. "

"Sampai Nepal? Sekarang masih di Bangkok? Napak tilas jejak si Roy?? *iri* "

"Belum. Sekarang udah di Chengdu (China).

Nanti malam baru mau naik kereta ke Lhasa (Tibet)."

"Wah, jalan-jalan melulu nih... Seru banget...

Nanti dinapaktilasin ah perjalanannya.. "

Waw! Tibet? Nepal? Yang di kaki Everest?

***
Itu percakapan terakhirku dengan Daniel, ketika ia dalam perjalanan. Beberapa bulan kemudian aku tak mendengar kabarnya lagi. Di mana berada dan kapan ia pulang, aku tak tahu. Hanya status twitter-nya yang terbaca Om Mani Padme Hum tak berubah dari waktu ke waktu.

Sampai pada suatu hari tak sengaja aku membuka situs blog miliknya, yang menampilkan Journey to the Rooftop of the World, berupa catatan-catatan perjalanannya ke Tibet, yang sudah sampai episode belasan kalau nggak salah. Deuh, kemana aja aku? Kok nggak baca dari awal?

Lalu kujejaki tulisannya dari awal. Sejak ia menceritakan mimpinya untuk mengunjungi Tibet. Sebuah catatan perjalanan yang dilakukan sendiri, tentang perjalanan mengenali diri sendiri. Menggapai mimpi masa kecilnya, yang memanggil-manggil. Yang ia coba abaikan sebagai salah satu pemaafan akan impian yang dikiranya tak akan terwujud. Namun ternyata semesta mengamini. Mimpi itu dipanggil dari angannya. Perjalanan menggapai mimpi yang kemudian dirawi menjadi sebuah catatan panjang yang ada di tanganku untuk dibaca.

***
Pada suatu hari, muncul pertanyaan seperti ini :

Kamu tahu bedanya mimpi dan khayalan? Mimpi didapat saat tidur, dan khayalan dipikirkan saat bangun, pikirku. Ketika kita bermimpi, kita tidak sadar apa yang kita mimpikan, ketika berkhayal kita tahu apa yang kita inginkan, kita khayalkan, walau kadang tak tahu bagaimana cara memenuhi khayalan itu.
Lalu perjalanan macam apa yang dilakukan petualang ini? Ketika ia membaca Tintin in Tibet, ia berkhayal untuk dapat mengunjungi tempat itu. Kuil, salju, dan petualangan menyusuri pegunungan di dataran tertinggi dunia, menghantui pikirannya. Dijadikannya khayalan itu sebagai bagian dari mimpinya, yang terkadang muncul lewat alam bawah sadarnya. Sampai lewat masa remajanya yang dihabiskan di antara gunung dan api unggun, mungkin harapan itu masih tertanam baik-baik dalam kepalanya.

Kamu tahu? Mimpi adalah harapan yang tertunda. Akan terus bersemayam dalam kepala, andaikata kau tidak berani melangkah mewujudkannya. Siapa sangka, membutuhkan waktu dua puluh lima tahun untuk memantapkan sebuah khayalan yang berubah menjadi mimpi, ketika sebuah tangan yang tiba-tiba menarik mimpi ke masa kecil, untuk kemudian dilontarkan sampai tujuan. Dan ia bangun untuk menyongsongnya.

When you want something all the universe conspires in helping you to achieve it. (The Alchemist-Paulo Coelho)

Dan bergulirlah perjalanan petualang ini menuju negeri impiannya. Dengan berbagai kebetulan-kebetulan keberuntungan yang menaunginya, sahabat-sahabat yang diandalkan, ia melangkahkan kaki ke negeri awan itu. Si petualang ini bercerita pengalamannya menginap di bandara, lalu naik kereta dari Chengdu ke Lhasa, bercerita apa yang ditangkap mata, apa yang dibaui hidungnya, siapa yang ditemui, bahasa yang tak ia pahami, bahkan teman merokok dengan bahasa yang berbeda. Ya, karena kereta adalah kendaraan favoritnya, maka tak salah jika ia mengupas banyak hal dalam perjalanan kereta selama dua hari dua malam itu. Ke dataran tinggi naik kereta, kenapa tidak?
Di Tintin in Tibet diceritakan tentang Tintin yang mencari sahabatnya Chang, yang hilang di pegunungan kawasan Tibet. Dalam perjalanan ini, apa yang dicari oleh petualang ini ?

Mungkin seandainya ia memang tidak mencari sesuatu, namun banyak yang ia temui. Ia banyak bertemu dengan teman-teman baru dari berbagai negara. Teman-teman yang (irinya) sudah mengunjungi negeri kita yang indah. Teman-teman dengan berbagai tindak tanduk, dari sesama backpacker seperti dirinya, sampai yang selalu bertambah volume bawaannya. Kata orang sih, teman yang terdekat adalah teman yang ada di saat kita sama-sama susah. Mungkin karena dinikmati dengan gembira, perjalanan ini tidak dirasa susah. Jadi tetap dekatkah pertemanan yang tercipta dalam perjalanan ini?

Kamu ajak kami mengelilingi negeri impianmu itu. Kuil-kuil indah dengan para biksu yang beribadah di dalamnya. Sebuah kegiatan keagaamaan yang dikomersilkan sebagai situs wisata. Hatimu terusik. Kamu putuskan menjelajah kota sendiri. Dan di situ kau lihat kehidupan sehari-hari. Menyeberang jalan dalam pengawasan tentara. Sholat di masjid yang kamu yakini tertinggi di dunia. Bercakap dengan orang sekitar.

Aku ngeloyor pergi melihat-lihat jalanan, kota, kampung, masyarakat setempat, atau pedagang di sepanjang jalan. Bagiku melebur langsung pada kehidupan setempat jauh lebih mengasyikkan dan lebih memberikan arti. Karena bersentuhan langsung dengan nadi kehidupan sebuah tempat justru memberikan gambaran tentang wajah tempat itu sendiri. (Monastery, h.163)
Perjalanan, selalu memberikan kebahagiaan untuk yang menikmatinya. Sehingga deru angin, jalan buruk, terpaan hujan, hanya dirasakan sebagai pengalaman. Karena memang tergantung apa yang mau diraih, apakah proses perjalanannya, atau tujuan perjalanannya. Apabila yang penting adalah tujuannya, maka segala cara tercepat, terefektif, harus dilakukan. Apa pun untuk mencapai tujuannya itu. Apabila yang penting prosesnya, maka dicari jalan supaya dalam proses perjalanannya yang lebih panjang itu bisa bermakna. Proses ini tidak selalu mudah, namun terkadang juga kesulitan bisa lewat tanpa berarti. Apalagi perjalanan yang diawali dari mimpi. Dari sesuatu yang hanya dari angan-angan belaka, dan diwujudkan. Bukan hanya tujuannya, namun prosesnya pun juga harus bisa dinikmati.

Mimpi itu masih panjang rupanya. Mungkin masih ada mimpi-mimpinya yang belum terwujud. Masih ada cahaya matahari, desau angin, dan mungkin gadis manis yang menunggu. Juga orang-orang yang menanti kisahmu. Cerita-ceritamu membangkitkan mimpi-mimpi lama yang sempat mengeram di kepalaku. Perlahan aku mulai menata apa yang sebenarnya aku inginkan, dan apa yang bisa aku lepaskan. Mimpi itu kini seperti menanti-nanti untuk terwujud. Mimpi untuk melakukan hal-hal yang selama ini cuma ada dalam pikiran.
Namun satu hal pasti yang dapat kutarik kesimpulan dari semua ini, paling tidak untuk diriku sendiri, adalah: beranilah bermimpi! Beranilah memiliki keinginan! Walau pikiran sadar kita menafikan kemungkinan-kemungkinan itu, tetap beranilah menetapkan tujuan. Karena nyatanya, ketika kita berani memutuskan untuk menggapai mimpi kita, alam bawah sadar kita justru bekerja membantu kemungkinan-kemungkinan mimpi tersebut menjadi kenyataan. Dengan dan lewat cara yang tak pernah kita duga sebelumnya. (Pulang, h.341)

Petualang, apa yang membuatmu pergi? Apa benar kamu hanya mengejar mimpi? Mungkinkah kau pergi hanya untuk merasakan bagaimana rindu pulang?

Bandung, 14 April 2012. 23:32
Indri Juwono. Pembaca buku. Pengamat jalan. Arsitek.

Review Riley in the Morning (Loveswept #115)

Minggu, 15 April 2012




Riley in the Morning (Loveswept #115)

by Sandra Brown (Goodreads Author)

One of romance’s best-loved authors, Sandra Brown creates love stories whose “larger-than-life heroes and heroines make you believe all the warm, wonderful, wild things in life” (Rendezvous). Now the New York Times bestselling author delivers a poignant, funny, and irresistibly sensual novel about one night in the life of a man and a woman that will change their future forever.

Television producer Brin Cassidy was throwing the biggest dinner party of her life. And with everything in utter chaos, who should show up unannounced on her doorstep but her handsome estranged husband, Jon Riley.

Brin had not only worked with the popular star of Riley in the Morning, she had fallen in love with and married him. She knew she owed Riley an explanation for why she walked out. But did he have to come on this of all nights?

Temperamental, charismatic, and devastatingly blue-eyed, Riley was a man who knew what he wanted, and he wasn’t leaving until he got it. But the sensuous and strong-willed beauty he still called his wife was every bit his match.

From dusk until dawn the two will experience a second honeymoon of passion, seduction, and deep revelation that will determine if there is any future for Riley in the morning.

From the Paperback edition.

Gramedia Pustaka Utama 2008

Gramedia: Terkadang menjadi orang yang berada di belakang layar memang tidak menyenangkan, seringkali terlupakan.Dan perasaan semacam itulah yang membuat Brin akhirnya memutuskan untuk meninggalkan suami yang sangat di cintainya.Terkadang sikap rendah hati di perlukan hanya, kadang kala membuat orang lupa diri, tidak mampu mengkoreksi diri sendiri, sehingga tidak merasa telah menyakiti hati orang yang paling di cintainya.Begitulah perasaan Riley, rasa terluka dan di khianati tidak membuat dia berusaha untuk mencari tahu apa penyebab istrinya, Brin melarikan diri.Dalam 1 malam dengan banyak kejadian, akhirnya mereka mampu menemukan penyelesaian terbaik dalam hidup mereka, dan kembali kumpul bersama.

Claudia: I won this book on tape from First Reads. Listening to this story reminded me how much I used to enjoy books on tape. This book was an ok book for me. Riley is the host of a morning talk show, and producer is his wife Brin. She leaves him, and I sure did want to know why? So one night he shows up at her door to find out.

Narisha: I won this book from first reads. This was the first Sandra Brown book that I have read. The book is short slightly over five hours on audio book. The story is a typical romantic story. Brin leaves her husband for no reason or so it seems at the end of the book the truth is revealed and we get a happy ending. I enjoyed this book for the romance factor and will be looking to read more of Sandra Browns novels.

Misty: This really wasn't one of my favorite Sandra Brown books that I've read so far, but it wasn't bad either. I liked the story okay, so I'm giving it 3 stars.

Diah: Kayaknya ini satu-satunya tulisan Sandra Brown yang tokoh2xnya udah merit. Dan sebetulnya saya suka banget nih tema begini. Tapi kok bener2x cuma adegan satu malem gitu sih? Males banget. :p

Rachel: Audiobook. Couldn't finish it. The narrator was horrible and the story was severely lacking. I never connected with the characters, in fact I actually couldn't stand them.

Darcy: This is another rare book that I made it to the end and didn't like it. Part of the reason why I didn't care for this one was the narrator, she tried to do that sexy breathless voice that is just bad!! I would have given it up, but I wanted to know what the reason was Brin left Riley and we weren't told until the last disc, and at that point I figured I might as well finish this one. This is one of the author's older books so there were cliche's abound and some things that did make me laugh, like the reference to not missing Dallas on tv.
Overall this was a very predictable story, with blah characters that just isn't worth your time.

Sarah: I'm pretty sure I've read this book before. Besides the cover and the title appearing familiar, I have this image of Riley as a mule-headed, incorrigible, utterly charming and demanding character who always gets what he wants. It's hard to forget a character like that, so yes, I guess I have read this book before and, judging by the fact that I've remembered it after all these years, I can safely say that it is a memorable one. But then, aren't all Sandra Brown novels memorable?

I'm a huge Sandra Brown fan and my first romance novel was a Sandra Brown novel. Since then, and even though I've sworn off reading romance novels in an attempt to get more serious reading done, I make it a point to grab every new Sandra Brown novel that hits the shelves at my local library. Her characters have the ability to make your heart ache and your knees go weak. The end of every novel leaves you with a slight smile and this warm, fuzzy and utterly delightful sensation