A Spot of Bother (Bintik Gatal)
by Mark Haddon, Ferry Halim (Translator)
George Hall tak mengerti obsesi orang-orang modern untuk membicarakan segala hal. Rahasia kepuasan hati, menurutnya, terletak pada pengabaian terhadap banyak hal secara menyeluruh. Namun, ternyata beberapa hal dalam hidup ini tak bisa diabaikan, meskipun itu hanya sebuah “bintik gatal”.
Pada usia 57, George mempersiapkan diri menikmati masa pensiun yang nyaman. Ia membangun sebuah pondok di kebunnya, membaca novel-novel sejarah, dan menyimak musik jazz ringan. Namun, Katie, anak perempuannya yang pemberang, menyatakan akan menikah dengan Ray.
Keluarganya tak senang karena adik Katie, Jamie, melihat Ray memiliki sepasang tangan “tukang cekik”. Katie sebenarnya tak tahu pasti apakah ia sungguh mencintai Ray atau hanya menyukai perlakuan luar biasa pria itu terhadap anak Katie dari perkawinan sebelumnya, Jacob. Sementara, Jean ibunya merasa kesal dengan segala perdebatan tentang pernikahan itu yang mengganggu perselingkuhan usia senjanya dengan bekas kolega suaminya. Di sisi lain, kehidupan menyenangkan yang diciptakan Jamie hancur berkeping-keping saat ia gagal mengundang kekasih homoseksnya, Tony, ke acara pernikahan mengerikan tersebut.
Saat terabaikan di tengah suasana hiruk-pikuk itu, George menemukan luka ringan di pinggulnya dan diam-diam ia mulai kehilangan akal sehatnya ...
Kepiawaian Mark Haddon membuat A Spot of Bother ini mampu menghanyutkan pembaca dengan kisah unik tentang kehidupan masa kini dan suka duka cinta, dibumbui humor segar dan ketegangan.
Serambi 2008
Dessy: Ini kisah sebuah keluaga modern masa kini. Cerita tentang problema keluarga yang jika dicermati dengan bijak adalah cerminan rumit dan kompleknya kehidupan. Hubungan antara suami, istri, orang tua, anak, serta masuknya “orang lain” kedalam sebuah keluarga.
George
Suami dan ayah yang menghadapi masa sulit saat memasuki masa pensiun. Seorang lelaki yang biasa bekerja dan kemudian harus berdian diri dirumah, berdaptasi dengan cara mengurus kebun, membaca novel, mendengar music jazz dan hal-hal remeh lainnya, masalah klasik lelaki saat mereka kehilangan power-nya sebagai penguasa keluarga. Suatu hari ia menemukan sebuah benjolan berupa segumpal daging berbentuk bulat telur di pinggulnya. George berpikir ia menderita kanker. Ia mulai depresi dan mulai berlaku aneh. George adalah tipe lelaki yang tidak begitu suka berbicara, baginya hal itu tidak mengubah apapun. Menurutnya “Rahasia kepuasan hati terletak pada pengabaian terhadap banyak hal secara menyeluruh.” (hal.14)
Jeann
Seorang Istri dan ibu yang kecewa terhadap diri, anak-anak dan apa yang ia peroleh dari kehidupan berumah tangga. Perlakuan dingin suami yang kurang menaruh perhatian terhadap apapun yang ia lakukan, membuatnya merasa benar-benar diabaikan. Saat Jean memasuki puber kedua ia berselingkuh dengan mantan teman sekantor suaminya. Ia menjalin hubungan terlarang dengan David. Lelaki itu membuatnya merasa paling tahu tentang banyak hal, ia mau mendengarkan dan menaruh perhatian. Bagi Jean perselingkuhan tidak tampak terlalu mirip sebuah penghianatan. Saat George mulai pensiun tak sedikit pun terbersit dalam pikirannya bahwa suatu saat rahasianya akan terbongkar.
Katie
Putri sulung George dan Jean, Katie gagal mempertahankan perkawinannya yang telah menghasilkan seorang putri, ia becerai dan sedang menjalin hubungan dengan Lelaki yang tidak disukai oleh kedua orang tuanya. Katie sendiri tidak yakin dengan perasaan cintanya terhadapa Ray, walaupun demikian ia membutuhkan penopang hidup demi anak dan status sosial. Ia hanya tahu bahwa putrinya membutuhkan figure seorang ayah dan ia merasa nyaman tinggal bersama Ray, di rumahnya yang besar dan nyaman. Menjelang hari pernikahan saat semua mulai sibuk mengurus segala keperluan pesta calon pengantin wanita ini mulai stress, Ia berpikir untuk membatalkan pernikahan mereka.
Jamie
Si bungsu yang menyukai sesame jenis. Jamie mencintai seorang lelaki bernama Tony, namun ia tidak siap mengundangnya ke rencana pernikahan Katie, Ia tidak siap jika keluarganya harus menghadapi kenyataan bahwa putra mereka satu-satunya ternyata seorang homoseksual. Jamie berusaha berkompromi, hingga ia memutuskan harus mengahiri hubungannya dengan Toni. Jamie merasa terkurung dengan pendapat dan norma –norma masyarakat yang menolak hubungan antar sesama yang menurut kebanyakan orang masih merupakan hal yang ganjil. Namun ia tidak bisa menipu diri sendiri.
Penuh detail dengan pikiran –pikiran setiap tokoh, cerita mengalir dari satu karakter ke karakter yang lain, bergelut dengan problema yang mereka hadapi . Membawa pembaca masuk ke dalam pikiran masing-masing tokoh. Mark berusaha menggambarkan suatu masalah dilihat dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Mark juga menampilkan humor-humor segar tentang kehidupan, ia juga menyelipkan berbagai referensi buku, musik, perlengkapan kehidupan modern yang menjadi gaya hidup manusia masa kini. Yang mungkin dipilih berdasarkan selera penulis.
Mark Haddon mencoba menyampaikan bahwa dalam membina sebuah keluarga ada banyak kepala yang mempunyai beraneka problema yang harus dilihat dari sudut pandang masing-masing. Tiap individu mempunyai masalah yang hanya bisa dipecahkan dari kacamata mereka sebagai pribadi yang komplek.
Seperti karya mark Haddon sebelumnya “The Curious incident of the Dog in the Night-Time”.buku ini kembali menyita perhatianku, dan memasukkan Mark Haddon kejajaran penulis yang buku-bukunya wajib untuk dimiliki. Selain menulis novel Ia juga telah menerbitkan beberapa kumpulan puisi.
Penulis: Mark Haddon
Penerbit: PT Serambi Ilmu Semesta
Penerjemah: Ferry Halim
Penyerasi: Sidik Nugraha
Cetakan I, April 2008
Risyiana: I bought this book because I was really fascinated with The Curious Incident of the Dog in the Night Time, Haddon's previous book, definitely one of my favorite ever in my book shelf.
I was so impressed with Haddon's way of delving and slipping into somebody else's head describing every single detail of thing that passes his brain, like what he did in The Curious Incident of the Dog in the Night Time. It's like being inside a fast moving train that stopped every once in a while on several stations, scrutinizing every single detail, people after people, scenery after scenery only you know that all along is not your eyes you use to examine all those things. Fun and adventurous.
That was actually what I expected from this piece. It was described as the book about an old man trying to go insane politely. So I thought, okay, this might be interesting. Having really aware of Haddon's aptitude for such brain voyage thing. It might be really interesting to dive deep and see things from the turning insane old man's point of view. A rather inviting call for journey I must say.
I learned several things about the journey as the pages passed on, indeed. First, it was rather unwise to compare the trip of The Curious Incident with this one. Haddon‘s flair of describing one's state of mind beautifully is of course unquestionably still there, but one was seen from an asperger child's point of view, who saw things in a rather chaotic way, making the story's so gripping and fast-moving, superbly amusing. And the other was seen from the point of view of an old man... which made the slow-paced, rather lacklustre narrative was understandable... and forgivable.
As the pages moved on I can see that the slow-paced tell tale with the too real (in a sense of almost cliche) characters were intentional. Maybe that's how the old man sees the world around him, a bit too usual, nothing's larger than life itself. I suppose it's as one of Haddon's exploit to keep the story palpably flowing. And so it was, deliberately flowing in a slow stream. It’s really not ugly, Haddon’s just keeping his promise really well. Telling a story about an old man who’s trying to go insane politely. Though I would say, it’s rather too polite it almost shooed out the fun.
Patrick: I pretty much hated this book. It was the type of book that you read because you liked the author's other work, but it's so aggressively bad that it makes you reconsider whether or not you actually liked the author's previous work upon closer consideration.
So what was so bad about it? Well, for the one the characters simply didn't ring true. They all felt poorly sketched out, just a bunch of people having what Haddon would have you believe are constant epiphanies about their sad little lives. He writes in such a way that you can tell he wants the reader to think it's a stunning revelation that this character is having, when it's just another dull moment in a rather dull story. If I had a dollar for every time Haddon made a one sentence paragraph meant to reveal some larger truth about the character's personalities, I'd be a rich man. He also has a nasty habit of ending each "chapter" (there are well over 100 of them, most 2 pages or less) with some half-assed "cliff-hanger", something better suited to the James Pattersons and R.L. Stines of the world.
Haddon doesn't seem to understand his characters, and he doesn't seem to care to, either. He simply throws a jumble of people into awkward situations and has them (over)react like a bunch of unlikeable, selfish jerks and then comment to themselves that, perhaps, they are acting like unlikeable, selfish jerks who are overreacting to what are, in reality, fairly mundane situations. They're sad, selfish little people, yet Haddon seems to think they are endearing.
Finally, he ends the book fairly abruptly and with a neat little bow on top that doesn't suit it. Everything works out for everyone involved, yet no one seemed to learn anything or grow as people. They all ended exactly where they began with no growth whatsoever. I've heard people who are familiar with autism claim that Haddon's sketch of the child in 'A Curious Incident of the Dog in the NightTime' was actually woefully inaccurate and quite offensive, and seeing the way he handles his characters' problems in this story, I'm much more inclined to believe that. Just an awful, awful book. Haddon seems to think he's writing a British version of 'The Corrections', but he's painfully mistaken. I'll probably not read anything by Haddon again.
Uci: It's like rain in your wedding day
It's a free ride when you've already paid
It's a good advice that you just didn't take
and who would've thought...it figures
Ironic by Alanis Morisette
George Hall menjalani hidupnya tanpa neko-neko. Menikah, punya anak, punya rumah dan pekerjaan yang bagus, pokoknya segala hal yang sepatutnya dimiliki lelaki baik-baik. Namun memasuki masa pensiun, tiba-tiba berbagai masalah menjungkirbalikkan hidupnya yang sempurna. Putrinya Katie akan melangsungkan pernikahan kedua dengan lelaki yang menurut George dan Jean, istrinya, tidak selevel dengan Katie. Putra mereka Jamie akan membawa pacarnya Tony ke pernikahan tersebut, yang membuat George terpaksa harus mulai menerima kenyataan bahwa Jamie adalah seorang gay. Sebentuk daging tiba-tiba muncul di pinggul George, membuatnya depresi karena takut mati terserang kanker. Dan puncaknya, Jean berselingkuh dengan mantan rekan sekantor George. George pun mulai bertanya-tanya, apakah selama ini dia telah menyia-nyiakan waktunya, dengan tidak melakukan hal-hal yang disukainya, demi mengejar hidup yang aman. Sementara pernikahan putrinya sudah semakin dekat...
Rusuhnya persiapan pernikahan memang menarik dijadikan bahan cerita. Sejumlah film yang pernah saya tonton juga mengangkat tema serupa, seperti Father of the Bride, My Bestfriend's Wedding, Rachel Getting Married, dll. Walaupun tidak persis sama, tapi benang merahnya adalah berbagai masalah yang timbul menjelang hari pernikahan. Mungkin karena acara pernikahan sering kali menguras tenaga dan emosi, sehingga rawan mengundang pertengkaran, tangisan, pertemuan, pelarian, atau malah perpisahan.
Itu sebabnya meskipun dalam novel ini Mark Haddon masih punya 'daya magis' untuk menyihir pembaca seperti saya tetap terpaku menyimak halaman demi halaman sampai tuntas, namun tema yang diangkat tidak seunik The Curious Incident of the Dog in the Night-Time.
Di buku ini, Haddon sangat sabar memaparkan detail hari demi hari yang dilewati masing-masing tokoh. Ritual mandi atau makan sepulang dari kantor bisa dia jabarkan satu per satu tanpa kehilangan stamina. Bagi pembaca yang menunggu-nunggu aksi seru mungkin bisa mati bosan di tengah jalan :D Tapi untungnya Haddon masih menyisipkan lelucon-lelucon sarkastik di antara cerita, jadi cukup menghibur.
Yang jelas novel ini kembali membuat saya berpikir, apakah saya sebaiknya tetap hidup lurus-lurus saja seperti selama ini, atau mulai nekat mengejar semua yang ingin saya lakukan tapi tidak pernah berani saya lakukan? Hidup toh cuma sekali....
Hehehehehe
0 komentar:
Posting Komentar