Bintang Bunting
by Valiant Budi
“Bener-bener kayak mimpi…. Kalo emang iya, moga-moga gak akan pernah terbangun.Kalo terbangun, moga-moga beneran kejadian.”
Bagi Audine, batas antara mimpi dan alam nyata begitu tipis. Bahkan, Audine membutuhkan Mada, sang peramal, dan petunjuk dari gambar bintang untuk bisa membedakan: mana mimpi-mana kenyataan.
Audine lupa, bintang yang ia gambar tidak seperti mitos bintang jatuh. Make a wish and your dream will come true. Setiap coretan garis bintang membawanya pada sebuah kenyataan. Sayang, kenyataan tak selalu sesederhana yang terlihat, ia bisa lebih kejam dari fantasi di alam mimpi.
Namun, saat tak ada harapan dalam keputusasaan, ternyata bintang-bintang itu memberi petunjuk lebih dari yang dibutuhkan…. Dan kali ini, tak ada pilihan lain bagi Audine selain tetap terjaga!
Gagas Media 2008
Saya: Sepintas lalu, buku ini menarik mata. Covernya tidak biasa, ada kesan “retro” ada kesan modern disini. Tidak seperti kebanyakan cover yang “berarturan”, BINTANG BUNTING bercover “kacaubalau” dengan nilai seni oke (menurut penilaian saya) Novel ini pemberian seorang pacar dari kawan saya. Ketika melihat simbol G disudut kanan, entah kenapa saya merasa buku ini pasti tidak oke. Sebab bagi saya pribadi, Gagas itu identik dengan “Gokil, Hantu, dan semua hal yang bersifat main-main” sebab (sangat sedikit buku Gagas yang saya baca) saya jarang menemukan “informasi sejarah” di dalamnya.
Yang mencengangkan saya, penulis novel ini (asing ditelinga saya, makhlum saya hanya membaca yang popular di telinga saya) Viliant Budi adalah Nominator Penulis Muda Berbakat khatulistiwa Literary Award 2007, berarti Budi patut diperhitungkan sejajar dengan Andrea Hirata dan Djenar atau penulis novel lainnya.
Sebagai orang yang tidak suka bertele-tele dalam membaca novel (yang penting segera masuk ke isi kisahnya yang oke), saya merasa jengah melihat 6 lembar pertama novel ini dihabiskan untuk ucapan terima kasih, dan “pengantar jayus” dan sebuah kotak berisi laporan tentang tindak kriminal (kotak laporan kriminal ini akan terus berulang sebagai pengantar? untuk bab berikutnya)
Lalu masuklah saya pada bab-bab kisah yang sesungguhnya. Penulisan judul pada setiap bab mengingatkan saya pada gaya menulis Andrea Hirata (meski saya yakin juga sejak lama, sudah ada yang menulis dengan cara ini). Seperti biasa, saya langsung bisa menebak bahwa kisah ini tidak akan terjadi di kampung atau di luar negeri, tapi lagi-lagi di Metropolitan. Bagi saya, Metropolitan adalah pilihan yang mudah untuk menempatkan tokoh-tokoh, mengingat harus riset ke kampung lagi jika ingin menempatkan tokoh-tokohnya di kampung atau di daerah (bdk. Saman dan Ronggeng Dukuh Paruk).
“Saya sudah tahu tentang Metropolitan,” kat saya congkak, sebab saya ingin kisah yang dari daerah. Saya merasa tidak ada hal baru/informasi baru yang diberikan kepada saya kecuali permainan kata-kata yang memberikan kesan “jayus” dan “lebay”. Penggunaan bahasa “gaul” Jakarta dan potongan-potongan Inggris, agak memuakan saya. Entah kenapa saya tidak “enjoy” membaca begitu banyak percakapan dalam “Jakarta” atau potongan “Inggris” sementara sehari-hari saya suka bicara kedua bahasa yang sudah jadi bahasa Ibu itu. Ini sebuah misteri. Seperti Oedipus yang membenci bapaknya sekaligus menyanjungnya.
Apakah ini kebiasaan para penulis muda, para penulis yang “besar” di Metropolitan atau sebutlah pulau Jawa? Saya belum mengkajinya. Namun pada novel ini, banyak sekali analogi yang lagi-lagi “jayus” atau “lebay”. Hingga sampai halaman terakhir, kesan “infantil” terekam jelas (ini kesan pribadi) sebab 3 halaman terakhir Budi ingin memberikan “kejutan” dengan membuat lelucon penarik perhatian gaya ABG (bdk 6 halaman pertama) untuk mengakhiri sebuah kisahnya—yang gantung dan kabur sebab tidak ada penyelesaiannya (mungkin memang “gantung” yang dimaksudkan Budi, siapa tahu?)
Kalau Anda merasa tanggapan ini sifatnya “menjatuhkan” saya harap Anda memaafkan atas kecerobohan saya dalam menulis. Perbedaan jenis bacaan membuat orang tidak selalu bisa menerima bacaan yang baginya “hanya untuk senang-senang” sebab manusia selalu menginginkan lebih. Seperti bayi yang bertumbuh, jika 10 tahun kemudian bayi itu masih merangkak, masyarakat mencap dia cacat. Bagi saya, seperti itu pula minat baca atas perbukuan. Selalu maju.
Saya suka mencatat detail, maka saya lampirkan saja disini sebagai semacam “penuntun” dan saya yakin, bagi Anda para pecinta novel jenis ini, Anda akan mencaci saya, tapi itu tidak masalah, setiap pembaca harus kritis, tidak membabi buta bukan?
1
Beberapa (6) lembar awal “kosong” hanya buat tulisan yang sifatnya beriklan, menarik perhatian, membuat penasaran, atau tujuan apapun, yang nyatanya menjadi mirip gaya mencari perhatian model ABG, dengan cara membuat yang aneh-aneh. Apakah Budi merasa tidak bisa menjual “kisah”nya?
2
Sampai disini, Bintang Bunting seperti Sinetron Indonesia (bukan Serial luar negeri semacam Smallville atau Heroes) (hal.12) Bermunculan tokoh muda sebagai peramal, Mada namanya. Saya teringat Madu (wanita India) dan Maria Magdalena (wanita Yahudi). Mada tiba-tiba meramal Audine, salah satu tokoh yang “plop” tiba-tiba muncul. Audine mengira sedang dalam RealityShow dengan judul: peramal tanpa akal (hal.13). Jayus judul RealityShow-nya, bukankah peramal memang mengejutkan dan terlihat tak berakal, kalau pakai akal, dia harusnya jadi Saintis. Di apartemen, saat Audine sedang tidur dan yakin sendirian, ternyata tiba-tiba suaminya, Adam ada di belakangnya. Sempat dia mengira Adam adalah garong pemerkosa (hal.15). Penggunaan bahasa yang aneh. Sejak hari bertemu Mada, Audine selalu membutuhkannya, untuk curhat dan lain sebagainya, kali ini dia ke rumah Mada untuk curhat namun yng terjadi malah ini: Mada yang gemar berbicara menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan (hal.16) memintanya memperbaiki hubungan dengan suaminya, Adam, sebab selama ini ada jarak diantara mereka. Sungguh ironik, Mada yang EYD malah lebih “doyan” bicara “Jakarta” daripada Indonesia sesuai Goryf Keraf.
3
Kita tak pernah tahu spesifikasi tiap tokohnya berprofesi sebagai apa (kecuali dua orang, Raeli dan Mada, Raeli menjadi Pemilik Salon dan Mada menjadi Peramal. Tokoh yang lainnya kabur). Sekarang, Audine ada di kantornya, kira-kira waktu sebelum pertemuan, si CEO bule Jerman gembrot itu menepuk pantat Audine ketika ia melintas di depannya (hal.17). Bule itu menghilang, punya alibi, dan Audine mendampratnya, Audine memilih mengundurkan diri. Bisa ditangkap bahwa sekarang Audine pengangguran (tapi itu tidak dikatakan disini). Menarik bahwa bule (Jerman pula) menampar (pantat pula) Audine. Seumur hidup belum pernah saya membaca novel karya penulis Indonesia yang menyinggung soal tindakan asusila ini. Dan kenapa harus bule Jerman? Dan seperti biasa, Audine butuh diramal Mada. Apa kata Mada? Hindari daerah Selatan (hal.19). Peramal gadungan pun bisa melakukan ini. Tapi menarik, menarik orang yang tertarik pada dunia “peramalan” untuk terus membaca.
4
Salah satu tokoh, Raeli sedang mengurusi salon kecantikannya, ada spa dan segala macam kehebohan para wanita bahkan pria disana. Namanya Really Raeli, namanya terkesan “dipas-paskan” dengan nama pemiliknya, itu sudah menjadi tradisi modern di Indonesia dalam menjual dagangan. Raeli sedang inspeksi sambil menurunkan bagian bawah kaos ketatnya yang sering tertarik ke atas (hal.22-23). Apakah betul, ini gaya berpakaian di salon-salon? Ataukah apa maksudnya ini membuat pusarnya jelas terlihat (hal.23). Bacalah dengan tenang, jangan mengeluh, hingga sampai ke sebuah ide cemerlang dari Audine yang mempunyai kebiasaan “buruk” tidak bisa membedakan nyata dan mimpi, dengan menandai setiap kejadian dengan gambar Bintang pada buku hariannya? Disini kita ketemukan hubungan judul novel tapi hanya sebatas Bintang (tidak dengan Bunting) Audine mulai membuat satu garis miring (hal.39).
5
Masih banyak hal yang terkesan “jayus” dan “lebay”. Pada beberapa bagian seperti dipaksakan agar menarik, dan menjadi bahan horor atau tertawaan. Bagi saya secara keseluruhan Bintang Bunting adalah judul yang orisinal, sangat bagus, ketika terjadi pencocokan antara bintang yang ditandai Audine dan bintang palsu yang dibuat Mada dalam rangka memanipulasi kesadaran sahabatnya, Audine, demi mendapatkan “selingkuh” dengan Adam, suami Audine yang sudah tidak cinta pada Audine. Bintang buatan Mada adalah bintang gendut, seperti sedang bunting. Jadilah Bintang Bunting. Bintang Bunting itulah yang membangunkan Audine dari mimpi yang dimanipulasi Mada, Raeli, dan Adam, dan membuat Audine menghajar Mada, memakinya habis-habisan, dan meninggalkan Adam yang kurang ajar. Audine dibantu oleh seorang lelaki, Joseph (saudaranya?).
Mengenai profesi, banyak tokoh dalam Bintang Bunting adalah semacam pelarian dan kamuflase. Audine mengundurkan diri entah dari perusahaan mana dan kini membuat kue sebagai kegiatan terbarunya (seperti semua tokoh lain, mereka muncul tiba-tiba tanpa latar belakang jelas dan terkesan disembunyikan masa lalu mereka, entah untuk maksud apa), Mis Bling-Bling yang sok dan seorang Ketua Geng Arisan (panjang amat ini sebutan, jadi teringat Voldemort—Dia-Yang-Namanya-Tak-Boleh-Disebut?)diketemukan mati dibunuh di apartemennya juga, tidak teridentifikasi dengan baik siapa “dirinya”, Raeli sebatas pemilik salon yang doyan bicara tentang kematian, dengan latar belakang keluarganya yang sangat miskin detail, dan pamannya yang datang seperti “Tukang Pos Kematian”. Mada, tiba-tiba muncul sebagai peramal, kegiatan sampingannya adalah membuat kerajinan. Adam, kerja di periklanan sekaligus actor pemeran reka ulang kasus kriminal. Dan sejumlah tokoh lainnya.
Bintang Bunting itu terpotong-potong, melompat-lompat, sehingga jika tidak awas, kita akan tersesat, kabur, dan harus membolak-balik halaman agar tahu kita sedang dimana ini. Waktu dan tempat sepertinya tidak diperdulikan Budi, pokoknya cerita tentang pembuatan Bintang. Pagi, siang, sore, malam menjadi kabur ketika setiap tokoh bisa muncul kapan saja, dimana saja, dan pergi kemana saja untuk sebuah tujuan yang kadang kala tidak penting. Karena terpotong-potong (novel terakhir Sidney Sheldon Are You Afraid The Dark? juga berisi potongan-potongan namun begitu detail sehingga kita bisa mengikutinya tanpa membolak-balik halaman depan) Bintang Bunting menjadi tidak menarik. Tokoh-tokohnya menjadi kabur. Kejadian-kejadian menjadi kurang bermakna dan berarti. Rasanya karakter-karakter dalam Bintang Bunting tidak “natural”.
6
Di akhir kata, saya masih tidak habis pikir, ada penulis yang dinominasikan Khatulistiwa Literary Award, kok bisa menggunakan analogi semacam ini? Kadang kebencian datang seperti kamu membenci Angelina Jolie hanya karena kamu menyukai Jennifer Aniston (hal.121). Ini salah satu dari banyak analogi Budi dalam Bintang Bunting yang bagi saya pribadi, kekanak-kanakan.
Mahir: Pertama-tama, angkat jempol dan congratulations buat Vabyo. Status best-seller akhirnya menghinggapi dua novel pertamanya, Joker dan Bintang Bunting, setelah masing-masing dicetak ulang. Padahal, saya ingat banget, sekitar dua sampai satu setengah tahun lalu, dua novel ini sangat jarang lagi ditemukan di pasaran. Dengar-dengar, di cetakan pertama, kedua novel ini flop secara komersial. Padahal secara kualitas, keduanya berbicara banyak di ajang penghargaan penulis-penulis nasional. Yah, pada akhirnya, kualitas berbicara juga. Terbukti dari seringnya saya melihat orang-orang membicarakan kedua novel ini di social media.
Saya cukup beruntung sudah membaca keduanya sejak lama. Padahal kedua karya Vabyo ini sudah sempat saya anggap sebagai vintage cult akibat butuh perjuangan untuk mendapatkannya. Then, everything was worth it.
Vabyo memang lihai membuat suatu plot yang tidak biasa dan memunculkan twist demi twist tidak terduga di sepanjang perjalanan cerita. Selepas Joker, saya rasa kelihaian Vabyo semakin terasa di Bintang Bunting. Buktinya adalah plot yang membuat banyak pembaca mengerutkan kepala saat membacanya, tapi kemudian merasakan 'read-gasm' setelah dicerahkan oleh endingnya. Ini merupakan suatu kepuasan tersendiri bagi pembaca seperti saya, yaitu jenis pembaca gampang bosan jika membaca suatu karya yang datar-datar saja. Jika dibandingkan dengan film, sensasi Bintang Bunting sama seperti ketika saya menonton Memento. (Sebenarnya saya merasakan banyak kesamaan konsep antara BB dan Memento. Apakah Vabyo memang terinspirasi oleh skrip film itu? Iya ataupun tidak, biarlah itu jadi rahasia dapur dia sendiri sebagai penulis)
Kesimpulannya, saya memberi bintang tiga untuk novel yang cukup membuat heboh ini. Seperti ketika membaca Joker, sebenarnya saya tidak terlalu suka dengan tema yang diusung serta bahasa yang digunakan. Namun, lain lagi ceritanya jika membahas gaya bercerita yang rasanya tidak berlebihan jika disebut jenius.
Saya pun senang karena akhirnya buku hebat ini akhirnya bisa memperoleh pengakuan lebih luas *tos jauh buat Vabyo*MP
Ihvan: The Story
Adalah Audine, seorang wanita yang tidak bisa membedakan antara mimpi dan kenyataan di dalam hidupnya. Akibatnya dia selalu merasa bingung dan tertekan menjalani kehidupannya, apalagi gara-gara kelainannya itu dia sampai harus kehilangan pekerjaannya. Bahkan belakangan ini kehidupan rumah tangganya bersama Adam juga mulai mengalami goncangan. Untunglah ada Raeli, sahabat yang selalu setia mendengarkan curhatannya dan Mada, seorang peramal yang membantunya mengatasi kelainannya tersebut. Untuk bisa membedakan antara mimpi dan kenyataan, Audine akhirnya membuat satu garis penanda manakala mengalami kejadian-kejadian yang aneh.
Seiring dengan kejadian-kejadian aneh yang dialamai Audine, garis penanda itu membentuk gambar sebuah bintang. Bintang demi bintang tergambar namun Audine masih saja belum mampu keluar dari masalahnya. Hingga akhirnya gambar bintang itu menunjukkan suatu kenyataan yang sama sekali tidak terduga. Suatu kenyataan yang sangat menyakitkan dan lebih buruk dari mimpi-mimpi buruknya selama ini.
Personal Opinion
Valiant masih menunjukkan kepiawaiannya membuat cerita yang mampu mengecoh pembaca melalui novel keduanya ini. Jalinan cerita di dalam BB (uhm…baru nyadar singkatan BB ini juga pernah dibahas sang penulis di salah satu blognya, tapi beda topik) cukup membuatku penasaran sehingga lembar demi lembar kulalui tanpa terasa membosankan. Valiant bisa mengemas tema yang sebenarnya sudah ‘basi’ menjadi sebuah cerita lebih segar dan menarik. Sok tau gue aja nih, ada beberapa info personal yang berkaitan dengan diri penulis yang (sengaja) dimasukkan sebagai karakter tokoh-tokohnya. Misalnya: Audine yang punya obsesi tinggal di Istanbul, Raeli yang punya kebiasaan mencuci tangannya sebanyak 7 kali.
Technical Opinion
Tema: Seperti yang kubilang di atas tema yang diangkat dalam BinBun sebenarnya sudah bukan hal baru lagi yaitu masih seputar cinta, cinta dan cinta.
Berdasar urutan waktu-Alur Maju dan sedikit flash back yang memberikan informasi tambahan tentang para tokoh-tokohnya. Misalnya aja, pertemuan pertama Audine dan Adam, Audine dan Mada, masa remaja Raeli yang emang dari sononya udah seneng dengan dunia kecantikan.
Berdasar jenis-Ledakan. Ledakan di BinBun emang nggak sedahsyat di Joker tapi kelebihannya ledakan itu dibuka saat cerita sudah 75 persen sehingga pembaca bisa ‘menikmati’ efek ledakan itu lebih lama.
Berdasar sifat-Tertutup. Valiant mengakhiri cerita dengan manis dan memuaskan pembaca dimana Audine akhirnya bisa menyelesaikan persoalan mimpinya itu. Yang masih menjadi tanda tanya buatku (juga buat Audine sendiri) kenapa si Mada sampe bela-belain menjadi peramal hanya demi seorang…ups keceplosan, ntar malah jadi spoiler. Apakah karena cinta (nafsu juga kali ya he he he) atau hanya iseng belaka? Mungkin yang bisa menjawabnya hanya si Mada sendiri aka sang penulisnya sendiri.
Plus Minus Point
Judulnya ‘nipu’ banget, pasti banyak pembaca yang mengira bahwa novel ini bercerita tentang seorang cewek bernama Bintang yang hamil di luar nikah. Tapi justru di situ kelebihannya, judul Bintang Bunting bikin penasaran dan earcathcing. Trus desain covernya juga keren, woman banget, cocok deh ama ceritanya.
Cerita tentang seluk-beluk pekerjaan Raeli di salonnya begitu detail dan deskriptif, ada dua kemungkinan kenapa Valiant bisa melakukannya dengan baik. Pertama dia emang melakukan survey yang cukup mendalam sebelum menulis BinBun, atau jangan-jangan dia emang pelanggan setia salon pijat he3. Oh iya, diskusi tentang kematian sebenarnya cukup menarik tetapi porsinya yang terlalu banyak bisa membuat pembaca bertanya-tanya, sebenarnya fokus ceritanya tuh siapa? Audine ataukah Raeli.
Fave Things
Character: Uhm…nggak ada tokoh yang aku favoritkan sih di Binbun. Mungkin si Miss Bling-Bling kali yak he3. Walaupun penampilannya norak dan ngeselin banget, dia secara nggak langsung udah menjadi ‘dewi penolong’ bagi Audine. Oh iya, lagi-lagi sang fotografer Joseph (tokoh di novel Joker) muncul dan mengambil peran yang nggak bisa diremehin meski kehadirannya hanya sebentar.
Scene: Adegan ketika Audine melakukan aksi balas dendamnya, ada caci maki, ungkapan kemarahan, tamparan2…uugh…nggak tahu kenapa aku tuh suka banget kalau liat cewek2 berantem dan nunjukkin sisi liarnya.
Quote: Kadang kebencian datang seperti kamu membenci Angelina Jolie hanya karena kamu menyukai Jennifer Aniston. (hlm 121)
Ada satu pelajaran yang bisa kuambil dari cerita BinBun, ungkapan bahwa orang yang paling berpotensi menyakiti kita begitu dalam adalah orang-orang terdekat kita itu emang bener banget. Aku bukannya menghimbau kalian untuk parno atau curigaan sama orang-orang dekat kita, enggak sama sekali. Cuma kalau kita mencintai seseorang itu jangan terlalu berlebihan because who knows someday tuh orang malah nyakitin kita dan menjadi orang yang paling kita benci. Begitupun juga sebaliknya, jangan berlebihan membenci orang because who knows someday kita butuh atau secara nggak langsung ditolong sama tuh orang. Segala sesuatu yang berlebihan itu emang nggak baik.
Agustina: Benar-benar karya yang zuperrr, ga bisa berhenti baca sampai halaman terakhir, ga mau nutup buku ini sebelum nemuin apa itu Bintang Bunting :D Setelah baca novel ini, langsung deh semua buku karangan kak Vabyo jadi wishlist.Aaaaahhh, pokoknya Bagooooeeesss ^^
0 komentar:
Posting Komentar