Sebagai seorang lelaki yang menyukai novel, saya tidak mengenal seorang penulis/ pengarang bernama Andrea Hirata, hingga suatu hari saya mendengar teman-teman kuliah saya membicarakannya. Mereka juga mengatakan bahwa Andrea Hirata ini seorang yang baru dalam dunia sastra Indonesia. Dia baru saja meluncurkan sebuah novel tebal, berjudul LASKAR PELANGI. Yang terlintas di kepala saya adalah situasi akhir-akhir waktu itu, yakni adanya sekelompok orang yang menamai diri mereka Laskar Jihad dan Laskar Pembela Islam. Saya bertanya-tanya dalam ketidaktahuan, apakah Andrea Hirata ini memanfaatkan momen ini ketika menulis novel pertamanya?
Ternyata tidak, itu hanya sebuah kemiripan nama saja. Karena kata seorang teman dan didukung oleh acara Kick Andy di MetroTV, saya menyaksikan siapa itu Andrea Hirata dan latar belakang yang menginspirasi penulisan novel LASKAR PELANGI tersebut. Dari Kick Andy juga saya mengetahui bahwa Andrea Hirata sudah menyiapkan 3 buah novel lainnya, Tetralogi LASKAR PELANGI, dia menyebutnya. Jadi saya menduga ini semacam Trilogi Saman.
“Keren!” itu yang terlintas di kepala saya. Tidak perlu berpanjang lebar, sosok Andrea Hirata, memuaskan idea saya tentang seorang sastrawan/ seniman. Selebihnya tidak. Tapi saya tidak punya banyak uang untuk membeli novel, bahkan ketika itu, saya membaca dari rak-rak buku Tante atau Oma saya. Suatu hari, di tahun 2009, saya pulang dari kampus dan harus makan siang di rumah Oma. Setelah makan, saya menonton televisi, saya menyukai film-film dari HBO. Ketika itulah pandangan saya terbentur ke sebuah buku tebal dengan sampul yang agak mencolok, bertuliskan: LASKAR PELAGI. Inilah novel pertama dari Tetralogi itu. Begitu senangnya saya. Langsung saya ambil novel itu dengan penuh haru dan membacanya hingga halaman 10, sampai Oma bangun dan berkata bahwa novel itu bagus.
“Iya, Kick Andy pernah membahasnya.”
Memang, kemudian, Andrea Hirata menjadi begitu popular dan tampil dalam banyak acara. Dia menjadi seorang yang menginspirasi dunia anak-anak dan pendidikan di kampung-kampung Indonesia yang sedang lesu. Kemudian saya selalu mengikuti perkembangan novel itu dan kejadian di seputarnya hingga ada pembuatan film layar lebar LASKAR PELANGI, yang menghebohkan itu. Tapi saya tidak menontonnya sebab saya bukan jenis orang yang menyukai nonton film di bioskop. Kurang seru bagi saya. Yang seru itu, nonton film di rumah, sambil ngopi dan ngerokok dan melontarkan komentar.
“Penonton film Indonesia terbesar dalam sejarah Indonesia mungkin.” Seorang teman pernah berkata begitu. Saya segera meminjam novel LASKAR PELANGI tersebut dari Oma dan tiap waktu kosong, saya sempatkan baca, bahkan ketika masih di ruang kuliah. Teman-teman kuliah menatap saya, mereka pasti tidak suka ada mahasiswa yang kekanak-kanakan, baca novel tentang anak-anak di ruang kuliah. Tapi itulah saya, selalu menyukai novel, dan tak bisa berhenti hingga selesai. Bukan hanya dalam kasus novel LASKAR PELANGI saja, tetapi banyak pendahulu-pendahulunya seperti Serial HARRY POTTER dan novel-novel Sidney Sheldon. Tapi tahukah Anda? Saya tidak membeli buku-buku itu. Saya adalah seorang pembaca novel yang mengambil dari rak-rak buku orang-orang di sekitar saya.
“Perpustakaan di benak saya jauh lebih tinggi dan luas dari pada perpustakaan sepuluh orang digabungkan.” Itu membuat saya bahagia dan suka membedah novel. Seperti yang sedang saya lakukan sekarang ini. (Jika Anda membaca ini, Anda juga bisa membaca bedah novel fiksi fantasi magic saya atas novel I AM NUMBER FOUR part 1 yang juga sudah di angkat ke layar lebar Maret 2011 lalu).
0 komentar:
Posting Komentar