Sekarang hari Sabtu. Hari Sabtu adalah hari terbaik saya menulis dan membaca. Saya suka menghabiskan waktu menulis, membaca, menonton film bajakan, kemudian ngobrol dengan istri saya—itu pun biasanya seputar hal-hal yang saya kuasai, saya gemari, dan sedang saya dalami. (Lelaki/suami selalu tidak adil dan egois seperti itu ya?)
Misalnya hari ini kami—tepatnya saya mengajaknya—ngobrol tentang sebuah situs “AgamaTertentu” yang memajang Daftar Orang Yahudi-Indonesia, entah untuk keperluan apa. Saya menganggap situs tersebut “Menjijikan, Menyedihkan, dan Provokatif” sementara istri saya menanggapinya lain.
Katanya, “Mungkin saya itu dalam rangka menarik minat pembaca dan mendongkak rating.”
Saya juga sempat berpikir demikian sebab untuk apa sebuah situs yang jelas-jelas “Tidak Yahudi, Tidak Pro-Yahudi, dan selama ini Kelihatannya Sering Mendiskreditkan Yahudi Tanpa Mempelajari Latar Belakangnya Terlebih Dahulu” itu, bisa memajang Daftar Orang Yahudi-Indonesia?
“Semoga saja tidak bermaksud memecah-belah, provokatif, dan in-tolerasi,” kata saya kesal.
Kami terus ngobrol tentang topik yang bagi saya menarik ini. Saya katakana bahwa “kemungkinan” para pelaku Bom Buku tempo hari, mendapatkan informasi Orang Indonesia Berdarah Yahudi dari situs tersebut. Bukankah itu sangat berbahaya mengingat bom tersebut sudah memakan korban? Bagi saya, mungkin perlu diselediki lebih jauh mengenali sepak terjang situs tersebut. Karena kata-kata di situs tersebut, tidak netral, tidak seperti standar professional sebuah situs berita, tapi seperti situs yang hendak menunjukkan begini:
“Lihatlah, ini orang-orang Indonesia yang diam-diam berdarah Yahudi atau mencintai Yahudi. Perhatikan mereka.”
Memang apa masalahnya, kalau seseorang beragama Yahudi, tertarik pada sesuatu yang berbau Yahudi? Bukankah semua orang punya hak untuk menyukai sesuatu? Sama halnya ketika euphoria Piala Dunia dan kita memuja negara tertentu—saya selalu menyukai Brasil, Spanyol, dan Portugal, karena Indonesia selalu tidak lolos—dan larut dalam rasa cinta pada negara tersebut.
“Sudahlah, orang-orang in-toleran macam itu tidak perlu digubris,” kata istri saya kalem.
Sudah. Sudah.
Berarti kami sudah berbaikan, berdamai, berdamai dengan cara yang sangat konvensional—SEX AND LOVE. Begitulah yang saya baca dalam buku, saya dengar dari mereka yang sudah lama menikah, dan menjadi lelucon selama ini, bahwa pertengkaran suami-istri biasanya diselesaikan, didamaikan dengan LOVE AND SEX. Ketika berpikir selama sehari ini, saya merasa bahwa ada yang tidak beres dengan MITE seperti itu. LOVE AND SEX tadi dengan mudahnya mengaburkan sesuatu yang jauh lebih penting yang mesti segera diatasi yaitu PERDAMAIN. Perdamaian dalam artian berdamai dengan istri, meminta maaf, bertobat, dan tidak mengulangi lagi kesalahan—dalam kasus saya, suka marah, mengeluarkan umpatan, dan menghancurkan barang.
Saya yakin MITE tersebut benar-benar buruk, menebarkan dampak buruk jangka panjang yang tidak disadari pasangan suami-istri ataupun mereka yang hendak melangkah ke jenjang tersebut. Perhatikan dengan seksama. Perdamaian = LOVE AND SEX, maka tidak ada kata-kata permintaan maaf yang terucap. Siapa yang bisa mempersalahkan salah satu pihak jika dia mengulangi kesalahan/sifat buruknya lagi? Dan terkhusus bagi wanita/istri, tidak akan tetap merasa ditindas dalam artian dia tidak diharga/tidak dihormati sebagai manusia sebab lelaki/suami melakukan kesalahan yang berat, LOVE AND SEX kemudian mengaggap semuanya beres padahal wanita/istri menyimpan SESUATU dalam benak dan hatinya. Bagia saya, itu menjadi semacam luka, neurosis, trauma, dan menjadikan kehidupan rumah tangga semakin buruk hari demi hari hingga suatu waktu tidak ada yang bisa diperbaiki dan kedua pihak akan menyesal.
“Menyesal karena apa?”
Menyesal karena bisa saja terjadi sebuah kecelakaan akibat pertengkaran dan sifat kasar, kemudian perceraian, atau bahkan sakit dan depresi, kematian akibat bunuh diri, atau tindakan asusila, selingkuh dan lain sebagainya. Dan ini akan memberikan dampak yang sangat buruk ketika di dalam rumah tangga tersebut sudah ada bayi atau anak kecil.
Tapi hari ini, itu yang saya lakukan—saya berpikir semua lelaki/suami akan melakukan hal yang sama. Saya membelikan banyak kado/kejutan kecil untuk istri saya. Membuatnya terkejut senang. Membelikan dia makanan yang enak, es krim, mangkuk-mangkuk cantik, sabun pemutih kulit, Coca-Cola dan Pepsi, sari-sarian jeruk, biskuit, menyuapi dan menyiapkan semua makanan dan minuman untuknya—seperti dia tidak punya tangan saja—dan menciumnya dengan penuh nafsu menaklukkan, LOVE AND SEX. Kemudian saya merasa sudah BERDAMAI, sudah MEMINTA MAAF, sudah BERUBAH, TIDAK JAHAT LAGI.
“Tapi apakah wanita/istri berpikiran sama seperti lelaki/suami?”
“Hanya Tuhan yang tahu.”
Bagi saya MITE bahwa BERCINTA adalah alat PERDAMAIAN antara SUAMI-ISTRI yang bertengkar, rebut, berkelahi, atau telah melakukan perbuatan kasar, jahat, TIDAKLAH RELEVAN, TIDAKLAH BENAR, dan BENAR-BENAR MENYEDIHKAN.
-Sang Alkemis Fulcanelli-
0 komentar:
Posting Komentar