Untuk Indonesia yang Kuat: 100 Langkah Untuk Tidak Miskin
Literati 2010
Ronny: 2011#06
Saya bisa menangkap niat dan semangat buku ini untuk menyebarkan kebaikan, tapi maaf, dalam konteks penanganan kemiskinan yang lebih luas, cara berpikir penulisnya salah. Ligwina bukan ekonom, tapi financial planner. Ini yang harus digarisbawahi, dan ini pula yang membuat buku ini apolitis dan harus dibaca dengan hati-hati. Kemiskinan masyarakat Indonesia jadi tampil sebagai permasalahan orang per orang yang harus ditangani dengan perencanaan keuangan yang lebih baik, dan bukan tanggung jawab negara atas warganya yang harus ditangani lewat kebijakan ekonomi-politik!
Saya soroti satu hal khusus saja: pendapat Ligwina soal menabung. Bertentangan dengan konvensi umum, Ligwina menyatakan menabung itu tidak baik bagi orang Indonesia. Bila mau kaya dan menjamin masa depan, orang Indonesia harus berhenti menabung dan mulai berinvestasi. Karena dengan tingkat inflasi sekarang, menabung jadi mubazir krn nilai riil uang kita justru akan berkurang.
Di sini bisa kita lihat apolitisnya Ligwina dan "bahayanya" jika pendapat ini lantas dijadikan dasar kebijakan (misalnya lalu digerakkan kampanye investasi dan bukan menabung). Penanganan inflasi justru adalah salah satu tugas pemerintah (atau bank sentral), dan kita bisa menilai raport ekonomi pemerintah salah satunya dari sini. Tekanan perlu diberikan agar inflasi dijaga.
Saat menyampaikan usulnya soal investasi, Ligwina menafikan sama sekali:
1) tingkat pendidikan/pengetahuan masyarakat
2) gelembung ekonomi yang akan tercipta bila dana masyarakat dicurahkan untuk investasi finansial
3) kesenjangan informasi dan moral hazard, dua bidang yang menjadi kajian utama Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi.
Padahal, krisis AS justru tercipta akibat minimnya tabungan masyarakat dan gila2annya masyarakat berinvestasi (dengan ketiga cacat yang saya sebut di atas). Bila negara seperti AS saja masih belum bisa mengatasi problem pengetahuan/kesenjangan informasi serta moral hazard, apalagi Indonesia.
Selain itu, dana tabungan masyarakat dijamin pemerintah lewat bank-bank LPS (lembaga penjamin simpanan). Apakah investasi swasta yang dianjurkan Ligwina punya jaminan serupa? Dengan asimetri informasi yang ada di tengah masyarakat, menganjurkan masyarakat berinvestasi sama dengan menganjurkan menjudikan dananya yang cukup sulit didapat itu di tangan bandar yang serakus singa. Ini yang terjadi di AS: gabungan antara asimetri informasi, moral hazard para financial planner sendiri (!), serta absurdnya skema-skema seperti derivatif dlsb membuahkan kebangkrutan rumah tangga AS (bisa dibaca di banyak buku yang mengupas krisis AS). Ketika semuanya amblas seperti di AS, akan digantikah dana ini? Tidak. Semua menjadi tanggung jawab sendiri-sendiri ("salah sendiri ceroboh atau ga awas dalam memilih investasi"). Penanggulangan kemiskinan yang menjadi tugas pemerintah menjadi seperti berbalik menjadi tanggung jawab orang perorangan. Saya percaya menabung tetap lebih aman buat masyarakat. Bila Ligwina mengangkat permasalahan inflasi, ya inflasi itulah yang harus diatasi, bukan modus menabung itu sendiri lantas diubah jadi investasi.
"Negara bukan perusahaan," kata ekonom peraih Nobel lainnya, Paul Krugman. Bahaya bila negara diperlakukan seperti perusahaan, dan bahaya pula bila skema-skema swasta macam ini dijadikan dasar kebijakan negara. Maaf, Indonesia tidak akan lebih kuat dengan 100 cara ini. Kelas menengah yang membaca buku ini mungkin akan jadi lebih kaya dengan mempraktikkan usulan Ligwina, tapi Indonesia secara keseluruhan, tidak.
Agoes: Buku yang memang ditujukan ke golongan masyarakat ekonomi kelas menengah ini memberikan penjelasan mengapa berinvestasi itu penting untuk menjamin masa depan. Konsep-konsep keuangan disampaikan dengan cukup sederhana, sehingga pembaca yang tidak berasal dari latar belakang pendidikan Ekonomi pun akan tetap mampu mengikuti pembahasan dengan mudah. Buku terbitan Literati ini ukuran hurufnya cukup besar dan juga banyak dilengkapi ilustrasi yang menarik, namun membuat buku ini terkesan 'tebal tapi tipis'. Pembaca tidak membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan buku ini.
Meskipun buku ini dikesankan sebagai buku yang dapat digunakan sebagai tips panduan finansial, tapi buku ini lebih banyak membahas tentang manfaat berinvestasi. Tentu saja hal ini wajar karena penulis merupakan seorang perencana keuangan, sehingga dia akan lebih banyak membahas hal-hal yang digelutinya setiap hari. Sebenarnya hal itu membuat pembahasan lebih cocok dibaca oleh orang-orang yang memang posisinya sebagai karyawan dan akan seterusnya menjadi karyawan.
Sayangnya, tidak banyak pembahasan mengenai entrerepenurship di buku ini. Padahal dalam salah satu langkah 'tidak miskin' dituliskan bahwa seseorang sebaiknya memiliki bisnis sendiri. Pembahasan yang kurang dalam aspek ini menimbulkan kesan bahwa pembahasannya tidak berimbang dan buku ini seolah lebih seperti iklan agar masyarakat lebih banyak menggunakan jasa financial planner. Saya sendiri tidak terlalu banyak memahami konsep ekonomi karena latar belakang pendidikan saya bukan jurusan Ekonomi, tapi saya merasa bahwa menggantungkan masa depan melalui investasi reksadana saja juga masih kurang. Mungkin ini dipengaruhi oleh pengamatan saya terhadap keluarga saya yang semuanya berwirausaha, sehingga mereka lebih banyak memiliki 'uang betulan'.
Ime: Buku ini gue beli di salah satu toko buku di Jakarta, karena waktu itu lagi killing time aja. Tertarik dengan judulnya, dan beberapa kalimat di salah satu bab, akhirnya gue memutuskan membeli buku ini (harus memilih dari dua buku yang menurut gue sama-sama menarik). Dan, gue harus bilang, gue nggak kecewa sih belinya.
Buku ini cerita tentang bagaimana golongan ekonomi menengah di Indonesia itu sebenarnya rentan untuk menjadi miskin. Dilengkapi dengan definisi golongan ekonomi menengah, gue semakin seneng dengan buku ini. Karena, gue sempet dapet pertanyaan dari bos gue, "Golongan ekonomi menengah itu, kira-kira ada batasannya nggak yah?" So, in some sense, buku ini juga menolong gue untuk men-scope salah satu studi gue (hahaha).
Tapi, yang paling gue suka dari buku ini adalah buku ini bisa menggerakkan gue, untuk mulai berpikir mengatur keuangan gue. Iya, gue spare some of my money untuk tabungan gue, tapi gue nggak pernah berpikir lebih jauh tentang investasi. Ini adalah salah satu alasan kenapa gue ngasih 4 bintang juga, karena gue merasa tergerak untuk melakukan apa yang ada di buku itu.
Another thing yang membuat gue memberikan 4 bintang pada buku ini adalah bahasanya yang cukup mudah untuk dimengerti. Jadi, menurut gue, orang nggak akan bosen ngebacanya. Apalagi, menurut gue, buku Ligwina Hananto ini adalah non-fiksi. Umumnya, buku non-fiksi ngebuat gue ngantuk. Tapi, ternyata buku ini nggak juga. Properly written lah.
Gue juga cukup suka dengan layoutnya, nggak terlalu ngeburem'in mata. Makanya, gue ngasih 4 bintang sama buku ini, karena basically, this book is good. Terutama untuk orang yang rada cuek sama masalah keuangan kayak gue.
"Golongan menengah adalah:- orang-orang yang memiliki penghasilan tetapi sebelum akhir bulan sudah merasa kehabisan uang- memiliki utang berkepanjangan yang tidak ada habisnya- memiliki barang-barang bagus tetapi kuatir karena tidak punya tabungan- memiliki hidup yang berkecukupan tetapi kuatir tidak mampu menyekolahkan anak-anak dengan baik- memiliki rumah tinggal tetapi berkemungkinan besar harus menjual rumah bagus ini karena tidak punya dana pensiun" (page 39, rephrased)ime'...
Rifa: Pernah pesimis dengan Indonesia? Kalau Anda pernah berkata, “Gila kali…” “Kapan yaaaa…?” atau sekedar “Hahaha...” ketika seseorang bertanya apakah Indonesia bisa membuat hal yang lebih spektakuler dari yang pernah dilakukan Negara maju, artinya Anda pernah pesimis dengan negara ini. Bukan Cuma Anda kok. Saya dan (mungkin) ratusan juta orang Indonesia lainnya juga setidaknya pernah merasa Indonesia jauh dari bayangan akan menjadi negara kaya raya tanpa hutang, yang para pemimpinnya menjadi tuntunan, yang jauh dari permasalahan lingkungan, yang teknologinya bisa menguasai pasar dunia, yang para atlet serta musisinya menjadi yang terbaik diseluruh dunia, dan tentunya rakyatnya hidup makmur dan selalu bahagia.
Belajar ilmu politik di kampus pernah membuat saya semakin bingung dengan permasalahan negara ini. Semakin dipikirkan, semakin tahu berbagai macam permasalahannya, dan semakin bingung apa yang sebenarnya perlu dibenahi terlebih dahulu, semakin yakin negeri ini tidak bisa diperbaiki lagi dan semakin tidak mau memikirkan negeri ini. Kesimpulannya, semakin saya suka memikirkan masalah negara, maka saya semakin tidak mau memikirkannya.
Hal tersebut menjadi salah satu hal yang membuat saya setelah lulus kuliah tidak ada niatan untuk berkecimpung di dunia politik, selain memang karena nilai saya jelek dan tak layak sepertinya untuk berada di dunia politik. Politik memang berkaitan erat dengan kenegaraan, berbagai macam permasalahan di negara ini toh bersumber dari politik. Ujung-ujungnya politik, begitu kata orang (orang mana?). Ya setidaknya, itulah yang ada dalam pikiran saya dulu. Sampai pada waktunya, saya menyadari bahwa ternyata tidak melulu harus berkecimpung di poltik (atau lingkarannya) untuk mengubah negeri ini.
Ligwina Hananto, seorang perencana keuangan independen yang turut menyadarkan saya dan dengan jelas serta berani dalam bukunya -yang berjudul Untuk Indonesia yang Kuat: 100 Langkah untuk Tidak Miskin- mengungkapkan bahwa negeri ini bisa kuat kalau golongan menengahnya itu kuat. Memangnya siapa itu golongan menengah? Dan sehebat apa mereka sehingga bisa-bisanya dikatakan bisa menjadikan negara ini kuat? Itu pertanyaan yang terlintas di benak saya saat membaca pernyatan Ligwina gersebut.
Sederhananya, Ligwina mengutarakan bahwa golongan menengah adalah golongan yang berdaya, yang memiliki mata pencaharian dan mampu makan tiga kali sehari. Namun golongan ini belum tentu punya uang, yang jelas mereka tidak melarat. Intinya, dibilang kaya raya yang punya uang puluhan miliar bukan, dibilang tidak mampu juga tidak pas, ya ditengah-tengah lah pokoknya. Merasa seperti itu? Kalau ya, selamat! Kita berada di golongan yang sama, golongan yang menurut Ligwina memiliki peran penting untuk memperkuat bangsa ini. Mengapa golongan menengah? Ada banyak alasan yang diungkapkan Ligwina mengapa golongan menengah yang perlu dikembangkan dan kelak bisa menjadi salah satu faktor majunya negara ini, antara lain karena jumlah yang signifikan dan jumlah yang signifikan tersebut bisa digerakkan untuk berinvestasi.
Lantas, bagaimana caranya? Untuk memperkuat negara, tentunya kita perlu memperkuat diri kita terlebih dahulu. Mengatur keuangan adalah hal yang harus kita lakukan untuk memperkuat diri kita. Golongan menengah berada di tengah-tengah, suatu hari ia bisa ke atas (kaya raya), bisa juga ke bawah (jatuh miskin). Untuk menjadi kaya atau miskin, itu berada di tangan kita, kitalah yang menentukan. Mau kaya atau miskin? Kalau mau kaya, kita harus mengatur keuangan kita.
Hal pertama yang perlu kita lakukan dalam mengatur keuangan kita adalah memeriksa kondisi keuangan kita saat ini. Kita harus mengetahui apa saja yang kita punya serta mengetahui berapa penghasilan dan pengeluaran bulanan kita. Setelah itu, kita harus menentukan tujuan finansial kita, apakah itu untuk dana pensiun, dana pendidikan, dana pembelian aset, dan lain sebagainya. Barulah kita kemudian melakukan berbagai cara demi meraih tujuan finansial kita tersebut.
Salah satu cara penting dalam meraih tujuan finasial kita adalah beinvestasi. Ya, berinvestasi, bukan sekedar menabung. Beda? Ligwina menjelaskan secara gamblang pebedaan menabung dan berinvestasi. Pada intinya, dengan menabung, uang kita akan mengalami penyusutan nilai karena terhadang inflasi. Namun, dengan berinvestasi, uang kita akan bekerja untuk kita dan di masa depan akan melampaui nilai inflasi. Ada banyak cara yang dapat kita lakukan, yang termudah, kita bisa memulai dari reksadana.
Kita juga perlu merubah pola pikir kita yang selama ini menggunakan penghasilan untuk konsumsi terlebih dahulu dan kemudian sisanya ditabung. Seharusnya, setelah mendapat penghasilan, kita harus menyisihkan untuk investasi terlebih dahulu (beserta asuransi dan dan dana darurat), baru sisanya untuk pengeluaran konsumtif.
Itu saja? Tentu tidak, masih banyak kiat lain yang dibagikan oleh Ligwina dalam bukunya ini untuk kita terapkan dalam kehidupan kita demi menjadi golongan menengah yang kuat, yang kemudian bisa memperkuat negara ini. Beberapa kiat tersebut tidak hanya terfokus pada bagaimana menjadikan kita menjadi lebih kaya, namun juga terdapat ajakan untuk berbagai kepada orang lain, dengan beramal ataupun memberikan ‘kail’ pada mereka yang kurang mampu.
Di akhir bagian buku Untuk Indonesia yang Kuat: 100 Langkah untuk Tidak Miskin ini, terdapat 100 langkah rencana aksi keuangan yang bisa kita ikuti dan targetkan kapan kita bisa mencapai langkah demi langkah tersebut. Apa saja 100 langkah untuk tidak miskin itu? Berikut saya salinkan sebagian untuk Anda:
1. Memiliki penghasilan
2. Memisahkan pengeluaran bulanan dengan pengeluaran mingguan
3. Pergi ke ATM seminggu sekali
4. Mengerti cara kerja kartu kredit
5. Utang kartu kredit lunas setiap bulan
6. Membayar pajak dan melaporkan SPT
7. Punya rencana keuangan buatan sendiri
8. Mamu membayar semua tagihan/biaya hidup sendiri
9. Punya dana darurat minimal sekali biaya hidup sebulan
10. Punya fasilitas kesehatan yang cukup (dari kantor atau beli asuransi kesehatan sendiri)
11. Mampu beramal minimal 2,5% dari penghasilan bulanan
12. Memiliki rekening belanja
13. Mampu menyisihkan 10% dari penghasilan bulanan untuk ditabung
14. Mengatur penghasilan tahunan dan pengeluaran tahunan
15. Mampu berlibur tanpa berhutang
16. Mengerti tentang apa reksadana dan fungsinya dalam rencana keuangan
17. Mengerti fungsi asuransi dalam rencana keuangan
18. Punya rencana keuangan komprehensif buatan sendiri atau dibantu perencana keuangan independen.
Loh kok hanya 18?Kebetulan, dari 100 langkah rencana aksi keuangan ini, saya baru sampai ‘mengamalkan’ hingga tahap ke-18. Untuk sisanya, Anda bisa membacanya sendiri di buku ini ya ^_^.Tidak menyesal kok kalau Anda membeli buku ini. Pesan yang ingin disampaikan disajikan secara menarik. Tidak sekedar buku merencanakan keuangan, tulisan di dalamnya berasal dari misi ingin Indonesia yang lebih kuat. Ligwina telah memberikan kontribusinya pada negeri melalui buku ini. Nah, kita juga bisa berkontribusi pada negara kita dengan melakukan apa yang ditulisnya di bukunya ini. Memang sih (bagi saya) harga buku setebal 240 halaman ini agak mahal, Rp 72,000.00. Namun sangat besar kemungkinan dari Rp 72,000.00 ini kita kelak bisa mendapatkan uang berlimpah-limpah yang jauh lebih besar. Oh ya? Saya sih percaya.