Hari ini
saya bertemu seorang kawan lama. Kawan ini lebih tua enam tahun dari
saya, tapi sebagaimana sebuah perkawanan, umur tak menjadi masalah. Bukankah saya juga mempunyai kekasih lebih
tua dari saya? Saya dan kawan itu sepakat untuk berjalan-jalan mencari-cari
buku tentang psikologi perempuan dewasa di toko buku Gramedia. Setengah jam
akhirnya kami menemukan sebuah buku bagus. Kami sama-sama tertawa. Perempuan memang rumit, mereka kadang bertindak ganjil dan
diluar akal, kadang diluar moralitas. Tapi bukankah lelaki juga begitu?
Kami lalu duduk-duduk di
teras McD di
dekat Gramedia. Kami pesan es krim kon cokelat. Beberapa remaja
berseragam SMA memandangi
kaki terus-menerus. Mungkin mereka merasa lucu, kenapa ada dua lelaki dewasa,
makan es krim seperti remaja dan cewek-cewek begitu. Tapi kami tidak peduli,
mereka hanyalah remaja SMA yang belum banyak memahami dunia.
Mereka bahkan datang ke McD bukan karena lapar tapi karena tren. Bukankah itu lebih
menyedihkan ketimbang kami berdua yang datang karena pengen makan es krim, setelah
terakhir kali saya makan setahun dua bulan yang lalu?
Kami berdua menggigit es krim itu dengan rakus
sambil berbagi cerita. Kawan itu ceritakan dia baru pulang kampung. Mudik, saya
bertanya. Tidak, jawabnya. Liburan, mengunjungi orangtua dan kerabat. Kangen.
Ketika dia berkata begitu saya tiba-tiba merasa kangen pada bapak dan ibu saya.
Kawan saya itu lalu menceritakan sebuah fenomena akhir-akhir ini di kampungnya.
“Kamu bisa bayangkan tidak, perselingkuhan
bahkan lebih banyak terjadi di kota saya yang kecil itu,” ocehnya sambil
memelototi es krimnya yang nyaris puntung.
“Seberapa parah?”
“Parah sekali.”
Maka dia
ceritakan kalau dia mempunyai seorang kekasih, tunangan tepatnya. Tunangannya
itu menceritakan kepadanya bahwa sepupunya, seorang perempuan yang sangat baik
hati dan rendah hati, sepanjang bulan ini menangis. Karena apa, dia bertanya
pada tunangannya. Karena suaminya yang empatpuluhsatu itu berselingkuh dengan
seorang perempuan muda, seorang perawat pada sebuah dinas kesehatan. Perawat
itu lajang, baru lulus kuliah.
Saya menjadi heran, kok bisa? Apakah
istrinya sudah terlampau tua? Apakah istrinya tidak menarik lagi, dalam artian
tidak hot lagi? Ataukah memang suami ini kurang ajar? Dan bagaimana seorang
pegawai muda di sebuah dinas kesehatan bisa menerima ajakan selingkuh dari
seorang pria beristri beranak—istrinya baik hati dan rendah hati?
Malah tunangan
kawan saya itu ceritakan padanya lagi, bahwa setelah sang istri mengetahui
perselingkuhan suaminya dan perempuan muda itu, suaminya marah padanya dan
pisah ranjang. Kemudian hari-harinya diisi teror sms dari
nomor yang berbeda-beda. Isi smsnya memfitnah
dan melecehkan dia. Mengatakan bahwa dia adalah istri yang kurang ajar, tidur
dengan banyak om. Bagaimana ini semua
bisa masuk akal?
Diakhir
ceritanya saya berdecak, geram dan benci. “Tidak
ada fungsi pengawasan sosial apa?”
“Sayangnya tidak ada. Tapi ini lebih
disebabkan karena adat tidak ketat lagi, sehingga kasus yang bisa masuk dalam
pelanggaran adat dan ditindak tegas, sekarang justru berada di luarnya.”
Saya
menggeleng-geleng. “Tapi saya tetap
heran, kenapa perempuan-perempuan muda, masing single, cantik seperti artis,
kok mau berselingkuh dengan lelaki beristri, tua, dan kelebihan lemak
dimana-mana ya?”
“Tentu saja bukan karena cinta. Ada alasan
psikologi, tapi juga materi.”
“Jadi itu sebabnya kamu cari buku psikologi
perempuan?”
Kawan saya itu
mengangguk. Saya jadi pengen bilang padanya, kamu jangan
selingkuh, ya.
0 komentar:
Posting Komentar