Midah Si Manis Bergigi Emas
Midah, pada awalnya berasal dari
keluarga terpandang dan beguna. Karena ketidakadilan dalam rumah, ia memilih
kabur dan terhempas di tengah jalanan Jakarta tahun 50-an yang ganas. Ia tampil
sebagai orang yang tak mudah menyerah dengan nasib hidup, walaupun ia hanya
seorang penyanyi dengan panggilan "si manis bergigi emas" dalam kelompok pengamen keliling
dari satu resto ke resto, bahkan dari pintu ke pintu rumah warga…
Saya: Mengerikan sekali membayangkan tahun 50-an di
Jakarta. Saya jadi ngeri membayangkan perempuan-perempuan yang merantau ke
Jakarta pada tahun-tahun itu.
Raka Nouvel:
Khas Pramoedya Ananta
Toer!!
Novel tentang sosial ini sangat dekat dengan kehidupan nyata kita. Bagaimana seorang yang alim namun ternyata kealimannya diliputi oleh kesombongan dan keserakahan mengakibatkan anaknya yang cantik dan manis memberontak pada kehidupan keluarganya.
Tidak tanggung-tanggung Midah langsung terjun di dunia jalanan, menjajakan suara emasnya demi rupiah tak seberapa. Namun dijalanan Midah belajar banyak. Belajar tentang kekuatan, tentang keadilan, tentang kebohongan, tentang cinta dan tentang tanggung jawab.
Kehidupan yang pilu yang dihadapi Midah membuatku tak pelak merasa tergores pula. Bagaimana tidak, saat naluri kepedulian kita tersentil saat itulah kita menyadari bahwa kaki kita telah menapaki kesombongan tiada surut. Menapaki keangkuhan dunia yang semrawut.
Mau sampai kapan?
Dan sebagai orang tua kita pasti tersindir bahwa perhatian yang berlebihan, kesenjangan cinta dan kasih sayang, menimbulkan banyak dampak pada buah hati kita tercinta.
Jangan sampai terlambat! Baca dan pelajari makna dari buku ini.
Mungkin sebagian orang tak biasa dengan kemasan yang dibawa Pramoedya, namun pelajaran yang dikandungnya bisa diambil oleh siapa saja. ya siapa saja yang berniat berubah ke arah kehidupan yang lebih baik.
Dan kehidupan yang lebih baik bukanlah kehidupan yang penuh gelimang harta dan pujian...tapi kehidupan yang memiliki arti tidak hanya bagi diri sendiri tapi juga bagi keluarga, anak cucu dan lingkungan sekitar.
Novel tentang sosial ini sangat dekat dengan kehidupan nyata kita. Bagaimana seorang yang alim namun ternyata kealimannya diliputi oleh kesombongan dan keserakahan mengakibatkan anaknya yang cantik dan manis memberontak pada kehidupan keluarganya.
Tidak tanggung-tanggung Midah langsung terjun di dunia jalanan, menjajakan suara emasnya demi rupiah tak seberapa. Namun dijalanan Midah belajar banyak. Belajar tentang kekuatan, tentang keadilan, tentang kebohongan, tentang cinta dan tentang tanggung jawab.
Kehidupan yang pilu yang dihadapi Midah membuatku tak pelak merasa tergores pula. Bagaimana tidak, saat naluri kepedulian kita tersentil saat itulah kita menyadari bahwa kaki kita telah menapaki kesombongan tiada surut. Menapaki keangkuhan dunia yang semrawut.
Mau sampai kapan?
Dan sebagai orang tua kita pasti tersindir bahwa perhatian yang berlebihan, kesenjangan cinta dan kasih sayang, menimbulkan banyak dampak pada buah hati kita tercinta.
Jangan sampai terlambat! Baca dan pelajari makna dari buku ini.
Mungkin sebagian orang tak biasa dengan kemasan yang dibawa Pramoedya, namun pelajaran yang dikandungnya bisa diambil oleh siapa saja. ya siapa saja yang berniat berubah ke arah kehidupan yang lebih baik.
Dan kehidupan yang lebih baik bukanlah kehidupan yang penuh gelimang harta dan pujian...tapi kehidupan yang memiliki arti tidak hanya bagi diri sendiri tapi juga bagi keluarga, anak cucu dan lingkungan sekitar.
Irwan
Sukma: Cetakan 1, Juli 2003
Cetakan 5, Februari 2010
Jakarta : Lentera Dipantara, 2003
134 hlm. ; 13 X 20 cm
Di rak buku saya ada 2 karya Pram yang belum saya baca yaitu “ Panggil Aku Kartini Saja” dan “Midah, Simanis Bergigi Emas”. Awalnya saya ingin menyelesaikan “Panggil Aku Kartini Saja” terlebih dahulu, yang rencananya akan saya selesaikan sebelum Hari Karitni 21 April. Dengan niat saat hari Kartini reviewnya sudah selsai. Namun apa daya, kesibukan saya yang tidak jelas membuat “Panggil Aku Kartini Saja” tertunda. Apalagi buku itu cukup tebal dan “berat". Maka saya memutuskan untuk menylesaikan “Midah Simanis Bergigi Emas” terlebih dahulu. Buku ini cukup tipis dan “ringan”.
Novel ini ditulis Pram pada warsa 50-an dengan seting tempat di Jakarta. Nama tokoh utama dalam novel ini bernama Midah. Hanya Midah. Kulitnya kuning wajahnya agak bulat. Kalau tersenyum, ih manisnya. Cantik parasnya, lentik suaranya dan kuat hatinya.
Midah dilahirkan dari keluarga yang taat beragama. Haji Abdul nama bapaknya. Fanatik terhadap musik yang berbau Arab. Umi Kalsum yang menjadi penyanyi favoritnya. Haji Abdul termasuk orang sukses. Ah, hidup ini alangkah manis kalau cita demi cita terampas di tangan kiri dan kebesaran demi kebesaran dikuasai di tangan kanan.
Hingga Midah berumur Sembilan tahun, keluarga Haji Abdul belum mendapatkan anggota keluarga baru. Mulai saat itu kebimbangan merayap dalam hatinya, bahakan sekali Haji Abdul pernah berkata , “ Biarlah semua aku korbankan, asalkan mendapat anak lagi—terutama lelaki.”
Dia merasa menyesal telah megatakan itu, dia merasa tidak bersyukur sepenuh hati kepada apa yang telah Tuhan berikan. Beberapa malam dia tidak bisa tidur. Untuk mencegah kemungkinan murka Tuhan, ia terus menerus berzikir.
Pada suatu hari istrinya datang padanya dan berbisik, “Tuhan telah mengabulkan permintaanmu. Aku mengandung. Akhirnya anak kedua lahir dan belum setahun kemudia Haji Abdul mendapat anak kembal laki-laki. Setahun kemudian ia memperoleh anak perempuan. Terus menerus.
Midah merasa sudah mulai tidak dimanjakan. Sudah tak dapat lagi perhatian seperti dulu. Dia mulai mencari indah dan nikmat itu diluar rumah. Hingga akhirya ia jatuh cinta pada musik kroncong. Musik kroncong yang menurut bapaknya adalah suatu yang haram. Karena melihat Midah menyanyi mengiringi lagu kroncong ditamparlah Midah oleh bapaknya. Dihancurkanlah piringan hitam Midah yang berisi lagu kroncong.
Midah dikawinkan oleh seorang yang kaya kenalan bapaknya. Orang tersebut bernama Haji Tarbus dari Cibatok—seorang yang berperawakan gagah, tegap, berkumis lebat, dan bermata tajam. Haji Tarbus bukanlah bujang dan muda. Bininya telah tersebar di seluruh Cibatok. Ini di ketahuinya setelah mengandung tiga bulan.
Midah akhirnya minggat dari rumah suaminya. Tetapi tidak pulang kerumah melaikan kerumah bekas babunya yang bernama Riah.Tak berapa lama Midah tinggal di tempat Riah. Midah kemudian pamit dengan kondosi mengandung. Midah lebih memilih hidup di jalan, dia terkenang dengan rombongan kroncong. Kini tarikan untuk memasuki kehidupan tanpa kesulitan itu makin terasa. Kehidupan yang hanya mengabdi kepada kenikmatan, kegiranganm dan keriahan tingkah keroncong.
Sebagai pengamen kronocong, memang begitu di hinakan. Sedangkan mereka tidaklah mengemis. Mereka membagi keriangan kepada pendengar dan minta perhatian dari pendengar dengan sedikit penghargaan.
Midah kemudian bergabung dengan rombongan kroncong yang di temuinya di wilayah Senen. Ketika rombongan kroncong itu menanyakan nama dari Midah, dia tidak menjawab. Karena wajah Midah yang cantik dan manis. Maka mereka sepakat memanggil Midah dengan sebutan Simanis.
Ketika masuk rombongan untuk menyaingi vokalis yang sudah ada yaitu Nini. , Midah mengganti sepasang taringnya dengan emas. Sebelumnya Nini juga bergigi emas.
Dalam rombongan kehamilan Midah semakin membesar, ini membuat Midah tidak mampu mengikuti rombongan. Ini merupakan suatu hamabatan. Apalagi ketika Midah melahirkan, semua tampak tidak sepakat dengan kehadiran bayi tersebut. Ketika malam mereka merasa terganggu. Ketua rombongan juga tidak mampu berbuat banyak, dia memutuskan agar Midah keluar dari rombongan. Sebenarnya itu tidak akan terjadi jika Midah mau menerima lamaran ketua rombongan. Tapi Midah selalu menolak.
Midah melanjutkan hidupnya dengan bernyanyi sendiri di kawasan Jatinegara. Ketika itu dia bertemu dengan polisi lalu lintas bernama Ahmad. Ahmad berjanji akan melatih Midah bernyanyi dan membaca not balok. Karena Ahmad adalah seorang seniman juga.
Kehidupan yang keras dan kejam selama itu ia hadapi dengan keberanian. Kini masanya datang bagi Midah untuk jatuh cinta. Dia tertarik dengan sikap Ahmad yang lurus dan tingkahnya yang bebas.
Hampir tiap hari Ahmad mengajarkannya bernyanyi. Cinta yang terpendam dalam dadanya memperlunak kekerasan kehidupanya selama itu. Kehidupan Midah selama di jalanan memang beradab. Midah berujar, “ walau aku hidup di jalan, aku bukan orang jalanan..”
Namun sikap Ahmad berubah, dia ingin menodai cinta Midah. Dia ingin menikmati tubuh Midah, akhirnya mereka larut dan “ tenggelam” dalam cinta. Beberapa jam kemudian anak Midah (Rodjali) yang masih bayi menangis. Ketiga-tiganyapun terbangun. Mulai pula berangan nafsu Ahmad mengamuk di dalam dada. Dan mulai lagi kedua orang itu jatuh tenggelam. Tangisan Rodjali diartikan oleh Midah yaitu menyaksikan bagaimana untuk pertama kali kerena cinta ibunya dinodai. Dan yang menodainya adalah engkau (Ahmad). Sejak saat itu Ahmad bukan hanya melatihnya bernyanyi, tetapi juga bertindak sebagi tamu yang terus-terusan menagih.
Haji Abdul dan istrinya merasa menyesal telah menelatarkan anaknya. Apalagi ketika mendengar Midah sebagi penyanyi kroncong di jalanan dan sekarang di radio. Mereka ingin bertemu dengan Midah dan cucunya—Rodjali. Akhirnya ibu Midah berhasil medapatkan rumah tempat dimana Midah tinggal. Namun yang hanya bisa ditemui hanya Rodjali. Sedangkan Midah masih bernyanyi di tempat pernikahan. Ibu Midah pun membawa cucunya pulang kerumah.
Suatu ketika Midah mengandung. Buah cinta terlarang antara dia dengan Ahmad. Namun Ahmad tidak mau bertanggung jawab. Akhirnya Midah diusir dari tempat kediaman Ahmad oleh orang tua Ahmad. Midah semikin kalut, dia memutuskan untuk kembali kerumah orangtunya. Pikirannya timbul tenggelam dalam bayang-bayang Djali, Haji Tarbus, Ahmad dan dirinya sendiri. Dan seketika tergantikan oleh pengetian yang disukainya dan dibencinya yaitu : cinta, dendam, ketakutan, kekhawatiran.
Kadungan dari hasil buah cinta Ahmad semakin membesar, dan Midah merasa bahwa tidak sepatutnya dia merusak nama baik orangtuanya sendiri. Akhirnya Midah minggat untuk kedua kalinya. Ketika Haji Abdul tidak dirumah yang ada hanya ibunya. Midah pergi dalam keadaan mengandung dan membawa Rodjali anaknya. Sekuat tenaga ibunya mencegah, namun Midah tetap bertahan pada pendirianya untuk meninggalkan keluarganya. Akhirnya ibunya mengizinkan dengan catatan bahwa Rodjali tetap tinggal. Midahpun sepakat, ” hanya doa ibu aku harapkan. Hanya restu bapak aku inginkan.”
Setelah beberapa bulan Midah—Simanis Bergigi Emas—tak pernah terdengar diradio. Kini nama Midah mulai bergelombang dari penjuru ke penjuru. Midah dalam sepotong hidupnya telah bertemu banyak lelaki. Kesusilaan dan ketertiban peradaban antara baik dan buruk yang di bawa dari rumahnya, kini tidak membangkitkan pikiran lagi padanya.
Kepopuleran namanya berkuda dengan kepopuleran dalam pergaulan dengan lelaki.
Dalam akhir novel Pram menulis,
Sejarah Midah—simanis bergigi emas—mulailah dari sini sebagai penyanyi.
Sejarah Midah—simanis bergigi emas—telah lenyap, sebagai seorang wanita.
Novel ini cukup ringan namun sarat akan nilai moral dan kemanusiaan. Dimana terdapat juga cerita tentang kebusukan moralis yang miskin dengan sikap humanis.
Bacaan yang ringan dengan khas gaya penulisan Pram yang tidak terlepas dari peristiwa sejarah.
Hidup memang keras…!!!!
Cetakan 5, Februari 2010
Jakarta : Lentera Dipantara, 2003
134 hlm. ; 13 X 20 cm
Di rak buku saya ada 2 karya Pram yang belum saya baca yaitu “ Panggil Aku Kartini Saja” dan “Midah, Simanis Bergigi Emas”. Awalnya saya ingin menyelesaikan “Panggil Aku Kartini Saja” terlebih dahulu, yang rencananya akan saya selesaikan sebelum Hari Karitni 21 April. Dengan niat saat hari Kartini reviewnya sudah selsai. Namun apa daya, kesibukan saya yang tidak jelas membuat “Panggil Aku Kartini Saja” tertunda. Apalagi buku itu cukup tebal dan “berat". Maka saya memutuskan untuk menylesaikan “Midah Simanis Bergigi Emas” terlebih dahulu. Buku ini cukup tipis dan “ringan”.
Novel ini ditulis Pram pada warsa 50-an dengan seting tempat di Jakarta. Nama tokoh utama dalam novel ini bernama Midah. Hanya Midah. Kulitnya kuning wajahnya agak bulat. Kalau tersenyum, ih manisnya. Cantik parasnya, lentik suaranya dan kuat hatinya.
Midah dilahirkan dari keluarga yang taat beragama. Haji Abdul nama bapaknya. Fanatik terhadap musik yang berbau Arab. Umi Kalsum yang menjadi penyanyi favoritnya. Haji Abdul termasuk orang sukses. Ah, hidup ini alangkah manis kalau cita demi cita terampas di tangan kiri dan kebesaran demi kebesaran dikuasai di tangan kanan.
Hingga Midah berumur Sembilan tahun, keluarga Haji Abdul belum mendapatkan anggota keluarga baru. Mulai saat itu kebimbangan merayap dalam hatinya, bahakan sekali Haji Abdul pernah berkata , “ Biarlah semua aku korbankan, asalkan mendapat anak lagi—terutama lelaki.”
Dia merasa menyesal telah megatakan itu, dia merasa tidak bersyukur sepenuh hati kepada apa yang telah Tuhan berikan. Beberapa malam dia tidak bisa tidur. Untuk mencegah kemungkinan murka Tuhan, ia terus menerus berzikir.
Pada suatu hari istrinya datang padanya dan berbisik, “Tuhan telah mengabulkan permintaanmu. Aku mengandung. Akhirnya anak kedua lahir dan belum setahun kemudia Haji Abdul mendapat anak kembal laki-laki. Setahun kemudian ia memperoleh anak perempuan. Terus menerus.
Midah merasa sudah mulai tidak dimanjakan. Sudah tak dapat lagi perhatian seperti dulu. Dia mulai mencari indah dan nikmat itu diluar rumah. Hingga akhirya ia jatuh cinta pada musik kroncong. Musik kroncong yang menurut bapaknya adalah suatu yang haram. Karena melihat Midah menyanyi mengiringi lagu kroncong ditamparlah Midah oleh bapaknya. Dihancurkanlah piringan hitam Midah yang berisi lagu kroncong.
Midah dikawinkan oleh seorang yang kaya kenalan bapaknya. Orang tersebut bernama Haji Tarbus dari Cibatok—seorang yang berperawakan gagah, tegap, berkumis lebat, dan bermata tajam. Haji Tarbus bukanlah bujang dan muda. Bininya telah tersebar di seluruh Cibatok. Ini di ketahuinya setelah mengandung tiga bulan.
Midah akhirnya minggat dari rumah suaminya. Tetapi tidak pulang kerumah melaikan kerumah bekas babunya yang bernama Riah.Tak berapa lama Midah tinggal di tempat Riah. Midah kemudian pamit dengan kondosi mengandung. Midah lebih memilih hidup di jalan, dia terkenang dengan rombongan kroncong. Kini tarikan untuk memasuki kehidupan tanpa kesulitan itu makin terasa. Kehidupan yang hanya mengabdi kepada kenikmatan, kegiranganm dan keriahan tingkah keroncong.
Sebagai pengamen kronocong, memang begitu di hinakan. Sedangkan mereka tidaklah mengemis. Mereka membagi keriangan kepada pendengar dan minta perhatian dari pendengar dengan sedikit penghargaan.
Midah kemudian bergabung dengan rombongan kroncong yang di temuinya di wilayah Senen. Ketika rombongan kroncong itu menanyakan nama dari Midah, dia tidak menjawab. Karena wajah Midah yang cantik dan manis. Maka mereka sepakat memanggil Midah dengan sebutan Simanis.
Ketika masuk rombongan untuk menyaingi vokalis yang sudah ada yaitu Nini. , Midah mengganti sepasang taringnya dengan emas. Sebelumnya Nini juga bergigi emas.
Dalam rombongan kehamilan Midah semakin membesar, ini membuat Midah tidak mampu mengikuti rombongan. Ini merupakan suatu hamabatan. Apalagi ketika Midah melahirkan, semua tampak tidak sepakat dengan kehadiran bayi tersebut. Ketika malam mereka merasa terganggu. Ketua rombongan juga tidak mampu berbuat banyak, dia memutuskan agar Midah keluar dari rombongan. Sebenarnya itu tidak akan terjadi jika Midah mau menerima lamaran ketua rombongan. Tapi Midah selalu menolak.
Midah melanjutkan hidupnya dengan bernyanyi sendiri di kawasan Jatinegara. Ketika itu dia bertemu dengan polisi lalu lintas bernama Ahmad. Ahmad berjanji akan melatih Midah bernyanyi dan membaca not balok. Karena Ahmad adalah seorang seniman juga.
Kehidupan yang keras dan kejam selama itu ia hadapi dengan keberanian. Kini masanya datang bagi Midah untuk jatuh cinta. Dia tertarik dengan sikap Ahmad yang lurus dan tingkahnya yang bebas.
Hampir tiap hari Ahmad mengajarkannya bernyanyi. Cinta yang terpendam dalam dadanya memperlunak kekerasan kehidupanya selama itu. Kehidupan Midah selama di jalanan memang beradab. Midah berujar, “ walau aku hidup di jalan, aku bukan orang jalanan..”
Namun sikap Ahmad berubah, dia ingin menodai cinta Midah. Dia ingin menikmati tubuh Midah, akhirnya mereka larut dan “ tenggelam” dalam cinta. Beberapa jam kemudian anak Midah (Rodjali) yang masih bayi menangis. Ketiga-tiganyapun terbangun. Mulai pula berangan nafsu Ahmad mengamuk di dalam dada. Dan mulai lagi kedua orang itu jatuh tenggelam. Tangisan Rodjali diartikan oleh Midah yaitu menyaksikan bagaimana untuk pertama kali kerena cinta ibunya dinodai. Dan yang menodainya adalah engkau (Ahmad). Sejak saat itu Ahmad bukan hanya melatihnya bernyanyi, tetapi juga bertindak sebagi tamu yang terus-terusan menagih.
Haji Abdul dan istrinya merasa menyesal telah menelatarkan anaknya. Apalagi ketika mendengar Midah sebagi penyanyi kroncong di jalanan dan sekarang di radio. Mereka ingin bertemu dengan Midah dan cucunya—Rodjali. Akhirnya ibu Midah berhasil medapatkan rumah tempat dimana Midah tinggal. Namun yang hanya bisa ditemui hanya Rodjali. Sedangkan Midah masih bernyanyi di tempat pernikahan. Ibu Midah pun membawa cucunya pulang kerumah.
Suatu ketika Midah mengandung. Buah cinta terlarang antara dia dengan Ahmad. Namun Ahmad tidak mau bertanggung jawab. Akhirnya Midah diusir dari tempat kediaman Ahmad oleh orang tua Ahmad. Midah semikin kalut, dia memutuskan untuk kembali kerumah orangtunya. Pikirannya timbul tenggelam dalam bayang-bayang Djali, Haji Tarbus, Ahmad dan dirinya sendiri. Dan seketika tergantikan oleh pengetian yang disukainya dan dibencinya yaitu : cinta, dendam, ketakutan, kekhawatiran.
Kadungan dari hasil buah cinta Ahmad semakin membesar, dan Midah merasa bahwa tidak sepatutnya dia merusak nama baik orangtuanya sendiri. Akhirnya Midah minggat untuk kedua kalinya. Ketika Haji Abdul tidak dirumah yang ada hanya ibunya. Midah pergi dalam keadaan mengandung dan membawa Rodjali anaknya. Sekuat tenaga ibunya mencegah, namun Midah tetap bertahan pada pendirianya untuk meninggalkan keluarganya. Akhirnya ibunya mengizinkan dengan catatan bahwa Rodjali tetap tinggal. Midahpun sepakat, ” hanya doa ibu aku harapkan. Hanya restu bapak aku inginkan.”
Setelah beberapa bulan Midah—Simanis Bergigi Emas—tak pernah terdengar diradio. Kini nama Midah mulai bergelombang dari penjuru ke penjuru. Midah dalam sepotong hidupnya telah bertemu banyak lelaki. Kesusilaan dan ketertiban peradaban antara baik dan buruk yang di bawa dari rumahnya, kini tidak membangkitkan pikiran lagi padanya.
Kepopuleran namanya berkuda dengan kepopuleran dalam pergaulan dengan lelaki.
Dalam akhir novel Pram menulis,
Sejarah Midah—simanis bergigi emas—mulailah dari sini sebagai penyanyi.
Sejarah Midah—simanis bergigi emas—telah lenyap, sebagai seorang wanita.
Novel ini cukup ringan namun sarat akan nilai moral dan kemanusiaan. Dimana terdapat juga cerita tentang kebusukan moralis yang miskin dengan sikap humanis.
Bacaan yang ringan dengan khas gaya penulisan Pram yang tidak terlepas dari peristiwa sejarah.
Hidup memang keras…!!!!
Windy
Hapsari: salah
satu buku Pramoedya yang 'ringan'. menceritakan jalan kehidupan gadis cantik
baik yang manis maupun getir.
seperti contoh kejadian yang selalu didongengkan eyangti menjelang saya tidur bahwa secantik cantiknya wanita kalau tidak bisa menjaga diri sendiri pada akhirnya akan menanggung malu dan aib karena ulah lelaki yang tidak bertanggung jawab.
paling tidak menurut saya Midah tidak terlalu egois dengan menyerahkan Rodjali kepada ibunya, berani merubah nasibnya dengan meninggalkan suaminya, dan masih punya malu dengan tidak mau menambah aib ibunya dengan anak tanpa bapak yang dikandungnya.
seperti contoh kejadian yang selalu didongengkan eyangti menjelang saya tidur bahwa secantik cantiknya wanita kalau tidak bisa menjaga diri sendiri pada akhirnya akan menanggung malu dan aib karena ulah lelaki yang tidak bertanggung jawab.
paling tidak menurut saya Midah tidak terlalu egois dengan menyerahkan Rodjali kepada ibunya, berani merubah nasibnya dengan meninggalkan suaminya, dan masih punya malu dengan tidak mau menambah aib ibunya dengan anak tanpa bapak yang dikandungnya.
Pipitta:
Pram menulis
novel ringan ini sekitar tahun 50-an. Yang gw beli ini terbitan Lentera
Dipantara, seharga 28.600 rups. Desain covernya lumayan menarik. Ada bagian
yang mengilap segala. Tebal buku kurang lebih 132 halaman. Sangat tipis kalau
dibandingkan dengan Arok Dedes.
Cerita dalam buku ini berpusat pada kisah hidup "Midah". Di usia 10 tahun sejak tak lagi menjadi kesayangan ayahnya setelah adiknya lahir satu demi satu, Midah menghabiskan waktu dengan membuntuti pengamen keroncong karena terpesona pada musik tersebut. Haji Abdul, ayahnya, hanya mengijinkan musik Umi Kalsum di rumahnya. Begitu tahu Midah membeli piringan hitam keroncong, ia marah besar dan memukul anaknya. Tak lama kemudian ia memutuskan menikahkan Midah dengan seorang haji pemilik berhektar sawah dan puluhan kerbau.
Saat Midah hamil tiga bulan, ia kabur dari rumah suaminya, mengetahui bukan hanya dia saja istri sang haji. Tak berani pulang ke rumah, ia menumpang ke rumah bekas pembantu keluarganya. Untuk menyambung hidup, Midah kemudian memutuskan bergabung dengan kelompok pengamen keroncong keliling. Karena Midah pandai menyanyi, ia dijadikan penyanyi utama kelompok pengamen tersebut walau dimusuhi anggota perempuan lain yang iri padanya.
Hidup sebagai anggota pengamen keliling sangat berat bagi Midah. Sehabis mengamen, mereka menyewa satu kamar untuk tidur beramai-ramai. Midah bahkan terpaksa menyaksikan yang lain bersetubuh, dan kalau tidak mengaku sedang hamil sudah pasti ia pun akan ditiduri. Untunglah ketua kelompok pengamen bersedia melindunginya. Midah diharuskan tidur disampingnya agar tidak diganggu yang lain. Namun, ketika akhirnya Midah berkali-kali menolak tawaran kawin dengan si ketua, ia kehilangan perlindungan. Puncaknya saat anak Midah lahir, ia tak lagi diterima dalam kelompok pengamen keroncong tersebut.
Suatu hari Midah ditolong seorang polisi bernama Ahmad, yang menyewakan sebuah kamar sederhana untuk Midah dan anaknya. Pada awalnya hubungan mereka berjalan baik dan saling menghormati. Midah menyukai Ahmad walau tahu tak mungkin menikah dengannya. Status dan pekerjaannya akan dianggap tak pantas bagi keluarga besar Ahmad. Namun pada suatu malam Ahmad 'menagih' balasan atas kebaikannya. Midah tak pernah kuasa menolak, hingga akhirnya ia hamil. Saat Midah memberi tahu Ahmad, ia menyangkal kemungkinan janin itu adalah anaknya sendiri, karena hal seperti itu akan sangat mencoreng reputasi sosialnya. Ahmad memutuskan tak akan menemui Midah lagi.
Mengetahui nasib Midah, ayahnya menutup diri dari dunia luar, sedangkan ibunya merawat cucu pertamanya agar punya kehidupan yang lebih baik. Tak mau orang tuanya menanggung aib gara-gara dirinya, Midah pergi dari rumah orang tuanya, dan menjalankan dan menghidupi dirinya dengan menyanyi keroncong.
PS: review copy-paste dari http://pipitta.multiply.com/reviews/item..
Cerita dalam buku ini berpusat pada kisah hidup "Midah". Di usia 10 tahun sejak tak lagi menjadi kesayangan ayahnya setelah adiknya lahir satu demi satu, Midah menghabiskan waktu dengan membuntuti pengamen keroncong karena terpesona pada musik tersebut. Haji Abdul, ayahnya, hanya mengijinkan musik Umi Kalsum di rumahnya. Begitu tahu Midah membeli piringan hitam keroncong, ia marah besar dan memukul anaknya. Tak lama kemudian ia memutuskan menikahkan Midah dengan seorang haji pemilik berhektar sawah dan puluhan kerbau.
Saat Midah hamil tiga bulan, ia kabur dari rumah suaminya, mengetahui bukan hanya dia saja istri sang haji. Tak berani pulang ke rumah, ia menumpang ke rumah bekas pembantu keluarganya. Untuk menyambung hidup, Midah kemudian memutuskan bergabung dengan kelompok pengamen keroncong keliling. Karena Midah pandai menyanyi, ia dijadikan penyanyi utama kelompok pengamen tersebut walau dimusuhi anggota perempuan lain yang iri padanya.
Hidup sebagai anggota pengamen keliling sangat berat bagi Midah. Sehabis mengamen, mereka menyewa satu kamar untuk tidur beramai-ramai. Midah bahkan terpaksa menyaksikan yang lain bersetubuh, dan kalau tidak mengaku sedang hamil sudah pasti ia pun akan ditiduri. Untunglah ketua kelompok pengamen bersedia melindunginya. Midah diharuskan tidur disampingnya agar tidak diganggu yang lain. Namun, ketika akhirnya Midah berkali-kali menolak tawaran kawin dengan si ketua, ia kehilangan perlindungan. Puncaknya saat anak Midah lahir, ia tak lagi diterima dalam kelompok pengamen keroncong tersebut.
Suatu hari Midah ditolong seorang polisi bernama Ahmad, yang menyewakan sebuah kamar sederhana untuk Midah dan anaknya. Pada awalnya hubungan mereka berjalan baik dan saling menghormati. Midah menyukai Ahmad walau tahu tak mungkin menikah dengannya. Status dan pekerjaannya akan dianggap tak pantas bagi keluarga besar Ahmad. Namun pada suatu malam Ahmad 'menagih' balasan atas kebaikannya. Midah tak pernah kuasa menolak, hingga akhirnya ia hamil. Saat Midah memberi tahu Ahmad, ia menyangkal kemungkinan janin itu adalah anaknya sendiri, karena hal seperti itu akan sangat mencoreng reputasi sosialnya. Ahmad memutuskan tak akan menemui Midah lagi.
Mengetahui nasib Midah, ayahnya menutup diri dari dunia luar, sedangkan ibunya merawat cucu pertamanya agar punya kehidupan yang lebih baik. Tak mau orang tuanya menanggung aib gara-gara dirinya, Midah pergi dari rumah orang tuanya, dan menjalankan dan menghidupi dirinya dengan menyanyi keroncong.
PS: review copy-paste dari http://pipitta.multiply.com/reviews/item..
Fitri
D: Pram,
lewat novel ringan ini, memperlihatkan ketegangan antara jiwa seorang humanis
dan moralis. Di satu sisi Pram ingin menegaskan kekuatan seorang perempuan
berjiwa dan berpribadi kuat melawan ganasnya kehidupan. Seorang perempuan yang
tidak mudah ditaklukan oleh apa pun. Tapi di sisi lain ingin memperlihatakan kebusukan
kaum moralis lewat tokoh Hadji Trebus, juga Hadji Abdul yang hanya rajin zikir
tapi miskin citarasa kemanusiaan. Dan juga serakah
0 komentar:
Posting Komentar