KEKASIH saya ternyata punya empat buku AYU UTAMI. Ada LAJANG PARASIT, dan Trilogi SAMAN.
Rasanya senang sekali, melanjutkan baca BILANGAN FU, tanpa jeda sedikitpun setelah LARUNG.
Maka kini saya persembahkan Preview BILANGAN FU.
saya: pengakuan kepercayaan
belum manusiawi...agama2 besar seakan lebih unggul n benar jika melihat aliran
kepercayaan yg akarnya menjelma negri ini.
Amang Suramang: Pada salah satu peluncuran
buku di Jakarta, sastrawan Hudan Hidayat pernah berujar demikian: "Ayu
Utami adalah penulis yang istimewa. Bahkan mendengar namanya saja, orang sudah
langsung mempunyai imaji tentang apa yang ditulisnya." Terhadap ujaran
demikian, aku mengamininya. Tokh, bukankah itu juga yang teman-teman rasakan?
Bahwa mendengar nama Ayu, kita berharap (yap, sekali lagi kita berharap)
menemukan sosok sastra baru yang kita idam-idamkan.
Aku amini itu karena ada getar magis yang membuat aku bolak-balik kembali lagi kepada karya Ayu Utami. Mengapa harus membaca lagi karya Ayu Utami, terutama setelah rasa kecewa atas novel Saman dan Larung yang ditulis 7-8 tahun lalu? Rupanya karena aku memendam harapan, harapan yang sama menggelembungnya waktu aku membaca pertama kali bibit novel Saman dalam tulisannya di sebuah disket berjudul "Laila Tak Mampir ke New York" yang beredar liar di Bandung. Getar magis ini kurasakan mungkin kurang lebih sama seperti Sandi Yuda (tokoh di novel Bilangan Fu ini) dengan Sebul (bunyi huuuuuuuu yang dihasilkan oleh batuan karang yang ditiup angin). Itulah getar magis yang membuatku akhirnya membaca Bilangan Fu, mengintiminya seperti kekasih, pergi kesana kemari bagai pacar dan begitu usai ada rasa debar seperti tak ingin berpisah.
Pertama-tama, jangan kecele dengan judul novel ini yang seperti tidak menawarkan apa-apa, sampulnya yang paduan antara simbol "mata setan" dan bulu merak, sajian sinopsis pendek di belakangnya yang menjanjikan adanya kisah cinta romantis, atau review-review yang sering over promise, atau ajakan-ajakan untuk mengingat kembali karya-karya Ayu Utami lampau yang vulgar. Karena Bilangan Fu pantas dibaca tanpa didahului oleh imaji-imaji dan harapan akan novel ini. Bacalah seperti Anda belum pernah kenal Ayu Utami dan tak tahu bagaimana reputasi karya-karya sebelumnya.
Kedua, Bilangan Fu bercerita mengenai "petualangan fantastis" Parang Jati yang diceritakan dari point of view Sandi Yuda, seorang pemanjat tebing yang sedang membuka jalur pemanjatan di Sewugunung, yang pemikirannya serba moderen. Petualangan fantastis di sini mohon dibaca bukan semata kegiatan fisik, tetapi juga kegiatan pemikiran/rohaniah Parang Jati. Fantastis kisah hidup Parang Jati yang lahirnya seperti cerita Ciung Wanara/Musa, besar hendak dikorbankan seperti Iskak/Ismail, mendakwah seperti Isa dan kadang-kadang Siddharta. Parang Jati bukan hanya sekedar pemanjat berbakat karena jari tangan dan kakinya ada 12. Ia juga bukan hanya sekedar mahasiswa biasa yang sedang melakukan penelitian arkeogeologi karena ia juga anggota sirkus orang-orang aneh Saduki Klan pimpinan Suhubudi ayah angkatnya. Pergolakan pemikiran Parang Jati (begitu pula Yuda) amatlah fantastis karena ia adalah antitesis dari orang-orang muda yang nyaris tidak pernah mempersoalkan/mengkritisi modernisme, monoteisme keagamaan, dan militerisme. Keduanya secara aktif berdialog untuk menemukan rumusan kritik yang tajam atas kehidupan masyarakat Indonesia yang semakin morat-marit dininabobokkan oleh tayangan kuntilanak di televisi, digerus alamnya oleh ketamakan kapitalisme, dan lain-lainnya.
Parang Jati adalah Yuda adalah Ayu Utami sendiri. Ia menjeritkan (bahkan cenderung mendakwah seperti laiknya nabi) lewat Parang Jati (sesekali lewat Yuda) tentang perlunya kembali masyarakat Indonesia menghormati alam, menjaganya, kalau perlu mengkeramatkan dalam sebuah laku kritik yang disebutnya sebagai Neo-Kejawan (dari Kejawaan Baru... bukan dari kata Kejawen). Sebuah jeritan yang berujung pada konflik antara mereka yang status-quo pada situasi yang tak mau berubah seperti Pontiman Sutalip, Kupukupu, dan kelompok Farisi. Lalu diakhiri dengan kematiannya dan diteruskannya pemikiran itu oleh Yuda, mungkin juga nantinya Marja, yang sejak hari pertama sudah menjadi bagian dari mereka yang percaya pada keimanan yang ditawarkan Parang Jati: keimanan yang melakukan kritik pada modernisme yang dinilai mencederai alam, monoteisme yang sejak lahirnya tidak menyukai adanya perbedaan dan ikut mensponsori lahirnya kekerasan, dan militerisme yang menghambat demokrasi (postmodern). Itulah kisah Bilangan Fu.
Terhadap novel yang berjumlah halaman 536 ini, pada mulanya aku muak. Terutama karena Ayu seperti sedang asyik bermain kosa kata, yang membuatku berpikir untuk merekomendasikan "bacalah buku ini disertai Kamus Besar Bahasa Indonesia!". Sampai-sampai aku ingin teriak dalam bahasa Latin: Veritatis simplex oratio est -- "Bahasa kebenaran itu sederhana." Jadi sampaikanlah dengan cara yang demikian. Lalu juga aku tergoda untuk melakukan gosip, terutama mengenai mengapa Erik Prasetya yang menjadi ayah bagi novel ini. Trus aku menggerutu karena aku benci angka-angka yang ditawarkan dalam bentuk rumus.
Rasa takut bahwa novel ini akan mengecewakan menghantuiku selama hampir setengah perjalanan membaca buku ini, hingga sampailah aku pada bagian "Ratu Kidul dan Pandangan Keagamaan". Di bagian ini dan bagian-bagian berikutnya, kisah jadi lebih menarik karena dibenturkan antara apa yang diyakini oleh masyarakat dengan apa yang diyakini oleh agama. Rupanya inilah saripati Bilangan Fu sebagai novel yang mendalami seputar spiritualisme (Jawa). Menghadirkannya kembali ke hadapan kita, untuk kita telaah kembali, dan barangkali membangkitkannya dari kubur.
Sedikit tergelitik untuk bertanya kepada Ayu mengapa koridor spiritualisme seolah-olah selalu berada di luar agama. Bukankah ada sufisme dalam Islam, ada katolikisme dalam Katolik, tapi aku diam saja. Begitu juga melihat hadirnya teknik kolase (menyisipkan kliping-kliping berita ke dalam inti cerita) yang sama seperti yang digunakan Budi Darma dalam Olenka. Atau cerita koleksi kelingking putus si Fulan yang sepadan dengan salah satu cerpen Seno Gumira Ajidarma. Aku masih juga diam melihat salah cetak/kekurangtelitian editor dengan membiarkan salah tulis outdor (seharusnya outdoor), dejavu (seharusnya déjà vu), dan Siung Wanara (bukankah seharusnya Ciung Wanara) dan sumber cerita Ciung Wanara mana yang dipakai Ayu Utami karena versinya berbeda dengan yang beredar di masyarakat Sunda.
Kudiamkan semua karena aku terpukau oleh kemampuan olah cerita Ayu yang pandai meramu antara naratif, artikel, jurnal dan monolog para tokoh-tokohnya. Serta pastinya karena tanpa riset yang memadai, pastilah sulit menulis tentang geologi, legenda rakyat, kitab suci, dan cerita wayang. Belum lagi gambarnya. ** Horee!! ada sastrawan yang bisa nggambar! ** Semuanya itu nilai plus yang seolah menutupi beberapa gelitikan tanyaku sebelumnya.
Jadi, harus kuakui bahwa dalam menulis Bilangan Fu, Ayu Utami berhasil. Nah, selamat menempuh agama baru!
Aku amini itu karena ada getar magis yang membuat aku bolak-balik kembali lagi kepada karya Ayu Utami. Mengapa harus membaca lagi karya Ayu Utami, terutama setelah rasa kecewa atas novel Saman dan Larung yang ditulis 7-8 tahun lalu? Rupanya karena aku memendam harapan, harapan yang sama menggelembungnya waktu aku membaca pertama kali bibit novel Saman dalam tulisannya di sebuah disket berjudul "Laila Tak Mampir ke New York" yang beredar liar di Bandung. Getar magis ini kurasakan mungkin kurang lebih sama seperti Sandi Yuda (tokoh di novel Bilangan Fu ini) dengan Sebul (bunyi huuuuuuuu yang dihasilkan oleh batuan karang yang ditiup angin). Itulah getar magis yang membuatku akhirnya membaca Bilangan Fu, mengintiminya seperti kekasih, pergi kesana kemari bagai pacar dan begitu usai ada rasa debar seperti tak ingin berpisah.
Pertama-tama, jangan kecele dengan judul novel ini yang seperti tidak menawarkan apa-apa, sampulnya yang paduan antara simbol "mata setan" dan bulu merak, sajian sinopsis pendek di belakangnya yang menjanjikan adanya kisah cinta romantis, atau review-review yang sering over promise, atau ajakan-ajakan untuk mengingat kembali karya-karya Ayu Utami lampau yang vulgar. Karena Bilangan Fu pantas dibaca tanpa didahului oleh imaji-imaji dan harapan akan novel ini. Bacalah seperti Anda belum pernah kenal Ayu Utami dan tak tahu bagaimana reputasi karya-karya sebelumnya.
Kedua, Bilangan Fu bercerita mengenai "petualangan fantastis" Parang Jati yang diceritakan dari point of view Sandi Yuda, seorang pemanjat tebing yang sedang membuka jalur pemanjatan di Sewugunung, yang pemikirannya serba moderen. Petualangan fantastis di sini mohon dibaca bukan semata kegiatan fisik, tetapi juga kegiatan pemikiran/rohaniah Parang Jati. Fantastis kisah hidup Parang Jati yang lahirnya seperti cerita Ciung Wanara/Musa, besar hendak dikorbankan seperti Iskak/Ismail, mendakwah seperti Isa dan kadang-kadang Siddharta. Parang Jati bukan hanya sekedar pemanjat berbakat karena jari tangan dan kakinya ada 12. Ia juga bukan hanya sekedar mahasiswa biasa yang sedang melakukan penelitian arkeogeologi karena ia juga anggota sirkus orang-orang aneh Saduki Klan pimpinan Suhubudi ayah angkatnya. Pergolakan pemikiran Parang Jati (begitu pula Yuda) amatlah fantastis karena ia adalah antitesis dari orang-orang muda yang nyaris tidak pernah mempersoalkan/mengkritisi modernisme, monoteisme keagamaan, dan militerisme. Keduanya secara aktif berdialog untuk menemukan rumusan kritik yang tajam atas kehidupan masyarakat Indonesia yang semakin morat-marit dininabobokkan oleh tayangan kuntilanak di televisi, digerus alamnya oleh ketamakan kapitalisme, dan lain-lainnya.
Parang Jati adalah Yuda adalah Ayu Utami sendiri. Ia menjeritkan (bahkan cenderung mendakwah seperti laiknya nabi) lewat Parang Jati (sesekali lewat Yuda) tentang perlunya kembali masyarakat Indonesia menghormati alam, menjaganya, kalau perlu mengkeramatkan dalam sebuah laku kritik yang disebutnya sebagai Neo-Kejawan (dari Kejawaan Baru... bukan dari kata Kejawen). Sebuah jeritan yang berujung pada konflik antara mereka yang status-quo pada situasi yang tak mau berubah seperti Pontiman Sutalip, Kupukupu, dan kelompok Farisi. Lalu diakhiri dengan kematiannya dan diteruskannya pemikiran itu oleh Yuda, mungkin juga nantinya Marja, yang sejak hari pertama sudah menjadi bagian dari mereka yang percaya pada keimanan yang ditawarkan Parang Jati: keimanan yang melakukan kritik pada modernisme yang dinilai mencederai alam, monoteisme yang sejak lahirnya tidak menyukai adanya perbedaan dan ikut mensponsori lahirnya kekerasan, dan militerisme yang menghambat demokrasi (postmodern). Itulah kisah Bilangan Fu.
Terhadap novel yang berjumlah halaman 536 ini, pada mulanya aku muak. Terutama karena Ayu seperti sedang asyik bermain kosa kata, yang membuatku berpikir untuk merekomendasikan "bacalah buku ini disertai Kamus Besar Bahasa Indonesia!". Sampai-sampai aku ingin teriak dalam bahasa Latin: Veritatis simplex oratio est -- "Bahasa kebenaran itu sederhana." Jadi sampaikanlah dengan cara yang demikian. Lalu juga aku tergoda untuk melakukan gosip, terutama mengenai mengapa Erik Prasetya yang menjadi ayah bagi novel ini. Trus aku menggerutu karena aku benci angka-angka yang ditawarkan dalam bentuk rumus.
Rasa takut bahwa novel ini akan mengecewakan menghantuiku selama hampir setengah perjalanan membaca buku ini, hingga sampailah aku pada bagian "Ratu Kidul dan Pandangan Keagamaan". Di bagian ini dan bagian-bagian berikutnya, kisah jadi lebih menarik karena dibenturkan antara apa yang diyakini oleh masyarakat dengan apa yang diyakini oleh agama. Rupanya inilah saripati Bilangan Fu sebagai novel yang mendalami seputar spiritualisme (Jawa). Menghadirkannya kembali ke hadapan kita, untuk kita telaah kembali, dan barangkali membangkitkannya dari kubur.
Sedikit tergelitik untuk bertanya kepada Ayu mengapa koridor spiritualisme seolah-olah selalu berada di luar agama. Bukankah ada sufisme dalam Islam, ada katolikisme dalam Katolik, tapi aku diam saja. Begitu juga melihat hadirnya teknik kolase (menyisipkan kliping-kliping berita ke dalam inti cerita) yang sama seperti yang digunakan Budi Darma dalam Olenka. Atau cerita koleksi kelingking putus si Fulan yang sepadan dengan salah satu cerpen Seno Gumira Ajidarma. Aku masih juga diam melihat salah cetak/kekurangtelitian editor dengan membiarkan salah tulis outdor (seharusnya outdoor), dejavu (seharusnya déjà vu), dan Siung Wanara (bukankah seharusnya Ciung Wanara) dan sumber cerita Ciung Wanara mana yang dipakai Ayu Utami karena versinya berbeda dengan yang beredar di masyarakat Sunda.
Kudiamkan semua karena aku terpukau oleh kemampuan olah cerita Ayu yang pandai meramu antara naratif, artikel, jurnal dan monolog para tokoh-tokohnya. Serta pastinya karena tanpa riset yang memadai, pastilah sulit menulis tentang geologi, legenda rakyat, kitab suci, dan cerita wayang. Belum lagi gambarnya. ** Horee!! ada sastrawan yang bisa nggambar! ** Semuanya itu nilai plus yang seolah menutupi beberapa gelitikan tanyaku sebelumnya.
Jadi, harus kuakui bahwa dalam menulis Bilangan Fu, Ayu Utami berhasil. Nah, selamat menempuh agama baru!
Maulida Raviola: Yang diperlukan untuk
membaca karya Ayu Utami, selalu, adalah keterbukaan pikiran. Terlebih lagi
dengan Bilangan Fu. Namun kritik-kritik Mbak Ayu terhadap Modernisme (atau
modernitas), Monoteisme, dan Militerisme--sebagai 'dalang' keserakahan dan
superioritas manusia modern terhadap sesama manusia dan lingkungan--sepenuhnya
amat thought-provoking.
Dikemas dengan gaya bahasa yang lebih padat dan filosofis dibanding Saman dan Larung, juga dengan banyak analogi dari lakon-lakon pewayangan dan Babad Tanah Jawi, Bilangan Fu menawarkan juga kajian ulang (dan terutama sudut pandang baru) terhadap apa yang selama ini dianggap takhayul. Ketidakpercayaan terhadap takhayul ternyata tak lebih dari superioritas seorang modernis-fasis.
Tidak ada suatu hal pun yang dapat dilihat secara hitam ataupun putih. Saya rasa, lewat Bilangan Fu, Mbak Ayu sukses menawarkan spiritualisme-kritis sebagai cara pandang terbaik bagi seorang postmodern. Bagaimana kita mampu membedakan kritis dengan anti. Bukan menolak kebenaran, melainkan menunda kebenaran. Panggullah kebenaran, sebab kebenaran yang jatuh ke tanah hanya akan mewujud kekuasaan.
Inspiratif dan informatif. Saya selalu tidak sabar untuk membaca--dan membaca ulang--setiap tulisan Ayu Utami.
Dikemas dengan gaya bahasa yang lebih padat dan filosofis dibanding Saman dan Larung, juga dengan banyak analogi dari lakon-lakon pewayangan dan Babad Tanah Jawi, Bilangan Fu menawarkan juga kajian ulang (dan terutama sudut pandang baru) terhadap apa yang selama ini dianggap takhayul. Ketidakpercayaan terhadap takhayul ternyata tak lebih dari superioritas seorang modernis-fasis.
Tidak ada suatu hal pun yang dapat dilihat secara hitam ataupun putih. Saya rasa, lewat Bilangan Fu, Mbak Ayu sukses menawarkan spiritualisme-kritis sebagai cara pandang terbaik bagi seorang postmodern. Bagaimana kita mampu membedakan kritis dengan anti. Bukan menolak kebenaran, melainkan menunda kebenaran. Panggullah kebenaran, sebab kebenaran yang jatuh ke tanah hanya akan mewujud kekuasaan.
Inspiratif dan informatif. Saya selalu tidak sabar untuk membaca--dan membaca ulang--setiap tulisan Ayu Utami.
Randu: buku bilangan fu punya saya ditulisi nomor 6
oleh sang pengarang (artinya buku gratisan keenam...hehehe). dan saya baru
membacanya 6 hari setelah peluncurannya. dan menyelesaikannya 60 jam kemudian
(hampir 6 hari).
dalam buku ini ayu menggunakan analogi-analogi keagamaan yang sudah diakrabi oleh kebanyakan orang. tapi melalui simbol-simbol yang familiar itu, ayu menampar pembacanya: hayo, kamu pasti belum tahu yang ini! bahwa suatu peristiwa bukanlah semata kebetulan. bahwa pandangan kita akan nasib, ternyata dipermainkan oleh maksud-maksud politis orang-orang yang di atas sana (sedihnya, itu bukan tuhan). bahwa kita telah jauh dari alam, dan terbutakan dari daya magisnya. bahwa kita terlalu normal, sehingga kita membenci keanehan dan melupakan bahwa kita pun tak kalah aneh dari kodok bertanduk tiga.
bilangan fu mengobrak-abrik kepala, mencabik akal sehat, lalu menjahitkan lagi dengan kesimpulan-kesimpulan tak terbantahkan. dan lucunya, itu bukan kesimpulan ayu, tapi kesimpulan kita. demikianlah semesta bekerja. tak terhingga.
dalam buku ini ayu menggunakan analogi-analogi keagamaan yang sudah diakrabi oleh kebanyakan orang. tapi melalui simbol-simbol yang familiar itu, ayu menampar pembacanya: hayo, kamu pasti belum tahu yang ini! bahwa suatu peristiwa bukanlah semata kebetulan. bahwa pandangan kita akan nasib, ternyata dipermainkan oleh maksud-maksud politis orang-orang yang di atas sana (sedihnya, itu bukan tuhan). bahwa kita telah jauh dari alam, dan terbutakan dari daya magisnya. bahwa kita terlalu normal, sehingga kita membenci keanehan dan melupakan bahwa kita pun tak kalah aneh dari kodok bertanduk tiga.
bilangan fu mengobrak-abrik kepala, mencabik akal sehat, lalu menjahitkan lagi dengan kesimpulan-kesimpulan tak terbantahkan. dan lucunya, itu bukan kesimpulan ayu, tapi kesimpulan kita. demikianlah semesta bekerja. tak terhingga.
Julaybib: Saya membeli buku ini karena saya suka gaya
menulis dan bercerita Ayu Utami, dan terus terang saya tidak kecewa sudah
membeli buku ini. Ceritanya lumayan menarik, gaya berceritanya enak diikuti,
dan ada pesan moral yang disampaikan. Cuma saya banyak tidak setuju dengan
pesan neo spiritualisme yang diusung di buku ini.
Di sini Ayu mengajak kita melakukan laku kritik, yang intinya agar mentolerir dan menerima norma-norma di sekitar kita sebagai kebenaran yang tertunda. Tapi di lain sisi nampak juga penolakan yang terlalu kuat terhadap 3 M, yaitu modernisme, militerisme dan monotheisme. Bukankah ini namanya plin plan? 3 M itu menurut saya juga punya kebenaran tersendiri, dalam konteks yang tepat.
Yang paling fatal menurut saya adalah anggapan bahwa monotheisme tidak memiliki ruang untuk toleransi terhadap nilai-nilai yang lain. Ini jelas keliru. Sudah ada begitu banyak contoh yang menunjukkan bahwa dari sejak didirikannya, pengikut monotheisme menunjukkan sikap toleran terhadap yang lain, sedang pengikut polytheisme dan atheisme juga tidak kebal terhadap fanatisme dan radikalisme (lihat saja militansi pengikut Hindu di India). Musuh yang sebenarnya ya fanatisme dan radikalisme itu. Dengan menembak musuh yang salah kita malah bisa celaka semua.
Penolakan terhadap modernisme dan penerimaan terhadap takhayul serta adat juga dalam konteks tertentu bisa berakibat fatal. Tahayul dan tradisi menurut saya timbul karena orang dianggap tidak akan bisa diberi penerangan secara logis (karena kita malas atau menganggap mereka bodoh), sehingga perlu diciptakan mitos-mitos yang harus diikuti dan dijaga oleh kekuatan supranatural (yang tidak bisa diraba oleh manusia). Misalnya, anak-anak akan diculik makhluk halus kalau keluar setelah maghrib (karena sulit menerangkan ke anak-anak kalau malam itu gelap, banyak ular, kalau ilang juga susah nyarinya). Masalahnya, hanya perlu satu orang yang selamat dari culikan makhluk halus saat keluar malam untuk meruntuhkan mitos ini. Begitu yang lain ikut mencoba dan tidak terjadi apa-apa, runtuhlah keangkeran mitos ini dan kita harus menciptakan mitos baru agar mereka mau tetap di rumah.
Kenapa tidak dari awal diterangkan yang sebenarnya saja? Dengan begitu kan kita jadi punya generasi muda yang lebih rasional. Jangan membabat hutan karena hutan menjaga tanah dari erosi, mempengaruhi iklim dan suplai air, dll, daripada menyuruh orang bikin sesajen dan membuat ritual yang aneh-aneh sekedar biar orang gak membabat hutan semaunya? Apa ini karena jauh di dasar lubuk hati beliau tertanam kepercayaan bahwa cara berpikir manusia pedesaan itu selamanya begitu dan tidak akan mempan diisi dengan fakta-fakta ilmiah yang rasional? Bukankah itu namanya diskriminasi dan stereotyping?
Di sini Ayu mengajak kita melakukan laku kritik, yang intinya agar mentolerir dan menerima norma-norma di sekitar kita sebagai kebenaran yang tertunda. Tapi di lain sisi nampak juga penolakan yang terlalu kuat terhadap 3 M, yaitu modernisme, militerisme dan monotheisme. Bukankah ini namanya plin plan? 3 M itu menurut saya juga punya kebenaran tersendiri, dalam konteks yang tepat.
Yang paling fatal menurut saya adalah anggapan bahwa monotheisme tidak memiliki ruang untuk toleransi terhadap nilai-nilai yang lain. Ini jelas keliru. Sudah ada begitu banyak contoh yang menunjukkan bahwa dari sejak didirikannya, pengikut monotheisme menunjukkan sikap toleran terhadap yang lain, sedang pengikut polytheisme dan atheisme juga tidak kebal terhadap fanatisme dan radikalisme (lihat saja militansi pengikut Hindu di India). Musuh yang sebenarnya ya fanatisme dan radikalisme itu. Dengan menembak musuh yang salah kita malah bisa celaka semua.
Penolakan terhadap modernisme dan penerimaan terhadap takhayul serta adat juga dalam konteks tertentu bisa berakibat fatal. Tahayul dan tradisi menurut saya timbul karena orang dianggap tidak akan bisa diberi penerangan secara logis (karena kita malas atau menganggap mereka bodoh), sehingga perlu diciptakan mitos-mitos yang harus diikuti dan dijaga oleh kekuatan supranatural (yang tidak bisa diraba oleh manusia). Misalnya, anak-anak akan diculik makhluk halus kalau keluar setelah maghrib (karena sulit menerangkan ke anak-anak kalau malam itu gelap, banyak ular, kalau ilang juga susah nyarinya). Masalahnya, hanya perlu satu orang yang selamat dari culikan makhluk halus saat keluar malam untuk meruntuhkan mitos ini. Begitu yang lain ikut mencoba dan tidak terjadi apa-apa, runtuhlah keangkeran mitos ini dan kita harus menciptakan mitos baru agar mereka mau tetap di rumah.
Kenapa tidak dari awal diterangkan yang sebenarnya saja? Dengan begitu kan kita jadi punya generasi muda yang lebih rasional. Jangan membabat hutan karena hutan menjaga tanah dari erosi, mempengaruhi iklim dan suplai air, dll, daripada menyuruh orang bikin sesajen dan membuat ritual yang aneh-aneh sekedar biar orang gak membabat hutan semaunya? Apa ini karena jauh di dasar lubuk hati beliau tertanam kepercayaan bahwa cara berpikir manusia pedesaan itu selamanya begitu dan tidak akan mempan diisi dengan fakta-fakta ilmiah yang rasional? Bukankah itu namanya diskriminasi dan stereotyping?
Wikupedia: Setelah vakum agak lama dalam menulis novel,
ayu utami hadir lagi dengan membawa sebuah kisah berjudul bilangan fu. Novel
ini berkisah dengan latar Watugunung dan kegiatan panjat tebing, yang bagi saya
sudah merupakan nilai yang unik. Namun teryata itu semua belumlah apa. Kisah
dan konfilk di dalamnya lebih menggetarkan lagi.
Bercerita tentang 4 tokoh utama, Yuda, Jati, Kupukupu, serta Marja. Tentang pertemanan dan persahabatan dalam cinta yang bening antara yuda, Marja dan Jati, serta konflik panjang mengenai perbedaan pendapat menganai spiritualisme (agama) antara Parang Jati dan Kupukupu. Dan ternyata itu pun belum cukup untuk merangkum kisah dalam novel ini.
Dalam perjalanan kisahnya Yuda dan Jati bertemu dengan berbagai konflik khas bangsa Indonesia, iri dengki serta kedangkalan pemahaman akan banyak hal, terutama mengenai spiritualisme. Pertentangan yang rumit antara agama bumi dan agama langit dibentangkan dalam jalinan bahasa yang tidak biasa. Di lengkapi juga dengan semacam data yang difiksikan mengenai kliping-kliping koran mengenai berbagai kejadian yang mendukung alur cerita, dan bila pembaca jeli ternyata berbagai kliping koran dan berita didalamnya pernah mampir dalam hidup kita. Dan terlebih lagi, mengenai sebuah bilangan, yang diberi nama Bilangan Fu.
Membaca Bilangan Fu seperti membaca sebuah masa lalu kelam, masa lalu masyarakat Indonesia, yang gamang akan banyak hal, yang prematur dalam memahami banyak hal. Isme yang ingin di perlihatkan Ayu memang berulang-ulang hadir di pikiran saya dalam beberapa waktu ini, mengenai pendapatnya tentang kebenaran yang tidak melulu harus langsung diungkapkan, namun harus dipanggul terlebih dahulu, juga mengenai sikap lalu kritik yang begitu bijaksana, serta tentu , mengenai spiritualisme kritis itu sendiri.
Bangsa kita dibangun oleh kebudayaan yang panjang, kebudayaan yang tidak bisa diberantas atas nama apapun, dalam konteks itulah sebaiknya kita membaca Bilangan Fu dan memaknainya secara bijaksana.
Bercerita tentang 4 tokoh utama, Yuda, Jati, Kupukupu, serta Marja. Tentang pertemanan dan persahabatan dalam cinta yang bening antara yuda, Marja dan Jati, serta konflik panjang mengenai perbedaan pendapat menganai spiritualisme (agama) antara Parang Jati dan Kupukupu. Dan ternyata itu pun belum cukup untuk merangkum kisah dalam novel ini.
Dalam perjalanan kisahnya Yuda dan Jati bertemu dengan berbagai konflik khas bangsa Indonesia, iri dengki serta kedangkalan pemahaman akan banyak hal, terutama mengenai spiritualisme. Pertentangan yang rumit antara agama bumi dan agama langit dibentangkan dalam jalinan bahasa yang tidak biasa. Di lengkapi juga dengan semacam data yang difiksikan mengenai kliping-kliping koran mengenai berbagai kejadian yang mendukung alur cerita, dan bila pembaca jeli ternyata berbagai kliping koran dan berita didalamnya pernah mampir dalam hidup kita. Dan terlebih lagi, mengenai sebuah bilangan, yang diberi nama Bilangan Fu.
Membaca Bilangan Fu seperti membaca sebuah masa lalu kelam, masa lalu masyarakat Indonesia, yang gamang akan banyak hal, yang prematur dalam memahami banyak hal. Isme yang ingin di perlihatkan Ayu memang berulang-ulang hadir di pikiran saya dalam beberapa waktu ini, mengenai pendapatnya tentang kebenaran yang tidak melulu harus langsung diungkapkan, namun harus dipanggul terlebih dahulu, juga mengenai sikap lalu kritik yang begitu bijaksana, serta tentu , mengenai spiritualisme kritis itu sendiri.
Bangsa kita dibangun oleh kebudayaan yang panjang, kebudayaan yang tidak bisa diberantas atas nama apapun, dalam konteks itulah sebaiknya kita membaca Bilangan Fu dan memaknainya secara bijaksana.
Nanto Sriyanto: Semalem dapat 2-3 bab. Entah
karena pernah mendengar cerita dari beberapa teman yang sudah baca, kok
langsung bisa nebak kemana maunya Ayu Utami dengan tiga babak besarnya dan
karakter yang dibangun dalam tiap tokohnya. Modernitas vs taruhan. Modernitas
adalah kuasa akal yang menihilkan dan menistakan kebetulan dan klenik, namun si
tokoh dengan bangganya menunjukan sebaliknya...
Itu ke-sotoy-an sementara saya. Sejauh ini kalimatnya membuat saya bisa cepat membacanya. Suka kalimatnya. Kertasnya. Tak lupa coklat-nya. Ceritanya? Kita lihat dulu sejauh mana dia berantitesa terhadap narasi mainstream.
*update 26082008*
Dialog antara Yuda dan Jati menarik. Dialog dua kutub pemikiran yang menarik. Sejauh sumber pengetahuan tradisional bisa menjadi sumber dari pengetahuan modern, itu pendapat Jati yang meng-kick Yuda.
*070109*
Mau coba nerusin. Abis males aja melihat tradisionalitas sama modernitas dibenturkan dengan terlalu oversimplified :D Itu asumsi saya yah! *kejebak asumsi seh...!*
Itu ke-sotoy-an sementara saya. Sejauh ini kalimatnya membuat saya bisa cepat membacanya. Suka kalimatnya. Kertasnya. Tak lupa coklat-nya. Ceritanya? Kita lihat dulu sejauh mana dia berantitesa terhadap narasi mainstream.
*update 26082008*
Dialog antara Yuda dan Jati menarik. Dialog dua kutub pemikiran yang menarik. Sejauh sumber pengetahuan tradisional bisa menjadi sumber dari pengetahuan modern, itu pendapat Jati yang meng-kick Yuda.
*070109*
Mau coba nerusin. Abis males aja melihat tradisionalitas sama modernitas dibenturkan dengan terlalu oversimplified :D Itu asumsi saya yah! *kejebak asumsi seh...!*
0 komentar:
Posting Komentar