Tampilkan postingan dengan label Autobiografi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Autobiografi. Tampilkan semua postingan

Review Life's Golden Ticket

Jumat, 02 Desember 2011

Life's Golden Tiket: Tiket Emas Kehidupan

by Brendon Burchard

Setelah mengalami kecelakaan mobil sepuluh tahun silam, Brendon Burchard terpanggil unutk menulis buku ini, novel inspirasi tentang kesempatan kedua dan transformasi pribadi. Andai hidup anda ibarat sebuah taman ria yang meriah, misterius dan penuh kejutan, dan Anda diberi tiket emas untuk masuk kembali kesana, apa yang akan Anda lakukan? Maukah anda masuk dan mencoba kembali setiap wahana, juga menonton berbagai pertunjukan di dalamnya? Apakah sudut pandang Anda masih tetap sama ketika menjalani semua itu? Atau ada hal-hal yang ingin Anda ubah?

Buku ini menawarkan pesan sederhana tentang keberanian untuk memaafkan diri sendiri dan mengkonfrontasi masa lalu demi meraih kehidupan yang diinginkan.

PT. Gramedia Pustaka Utama 2008

Saya: Sebuah berita kecelakaan dari sang istri, membuat hidup Brendon mengalami sebuah PERJALANAN dalam dunia fantasi yang nyata dan tidak nyata di sebuah Bowmans Park. Tempat itulah yang dikunjungi Mary istrinya. Di situ Brendon bertemu orang-orang asing yang ternyata kenal Mary.

I'm on page 214 of 320 of Life's Golden Tiket: Crank sang mekanik berbicara pada Brendon tentang bagaimana selama ini Brendon selalu menjalankan "lingkaran tutup mulut". Dia tidak pernah menceritakan pada siapa pun kesakitan, pukulan, kesedihan, dan semua hal yang pernah dirasakan dan menimpanya. Dia menyimpannya agar tidak menyusahkan orang lain dan tidak dipandang menyebalkan. Tapi itu malah menjadi boomerang bagi dirinya.

Farrah: Ada masa-masa dimana saat kita menyerahkan hidup kita sepenuhnya kepada Tuhan, Tuhan justru membalikkan semua, segala hal yang kita tahu, kita kenal, dan kita pikir pernah ada di dalam jangkauan tangan kita.Lalu hidup kita tidak pernah lagi sama.Dan itu terjadi pada gue. Hidup yang gue sangka akan baik-baik saja, berjalan sempurna seperti yang gue inginkan, mimpi yang pernah dirajut pelan-pelan, direnggut paksa melalui cara-cara yang tidak pernah gue duga sebelumnya.Lalu gelombang rasa sakit menghantam. Jutaan pertanyaan menusuk-nusuk kepala gue, ngga membiarkan gue melewati malam dengan tenang, bahkan untuk sekedar merebahkan badan sambil bernapas pelan-pelan. Duri itu ada dimana-mana, bahkan terasa menembus paru-paru sehingga menarik napaspun rasanya seperti tercekik perlahan-lahan. Bisa terlelap itu berkah yang tak lama kemudian menjadi musibah. Karena rasa perih itu bahkan muncul di dalam mimpi.Apakah ini yang namanya setengah mati?

Bernapas saja sudah begini menyakitkan. Luka macam apa yang tertinggal ini? Kegelapan di dalam kamar menyergap bersamaan dengan rasa nyeri yang bahkan tidak mau menghilang saat pagi tiba. Patah hati, hilang mimpi, kecewa, marah, lemah, tak berdaya, semua menyatu, mendobrak bendungan yang tak pernah bisa ditahan. Semua mengalir deras. Sungai air mata itu bahkan tidak bisa benar-benar mengering hingga 2 bulan setelahnya.

Apalagi yang bisa gue lakukan, selain mempercayakan hidup di tangan Pemilik Kehidupan? Malam-malam dalam sunyi akhirnya bisa terlewati, bisikan-bisikan serupa sedu sedan selalu mengalun. Berdoa 5 kali dalam sehari terasa tidak lagi cukup untuk mengadu. Sebanyak yang gue bisa, sebanyak yang gue mampu, semua percakapan-percakapan rahasia itu terus menerus gue lakukan. Dari sekian banyak tanya yang gue ajukan, satu permintaan yang selalu gue ulang-ulang.

"Ambil kembali seluruh rasa sakit, pertanyaan, amarah, dan kecewa ini, Ya Tuhan. Aku kembalikan lagi semuanya kepadaMu. Seluruhnya. Aku kembalikan semua kepadaMu. Tapi gantikan dengan kesabaran, dan keikhlasan untuk mengisi kekosongannya. Aku serahkan semuanya kepadaMu. Ambil lagi semuanya. Karena aku butuh kesabaran, dan keikhlasan yang luar biasa besar untuk menjalaninya. Dan hanya Engkau yang bisa. Tidak ada lagi yang lainnya."

Rasa ingin menyerah itu terkadang datang. Menggulung semua harapan yang pernah ada. Menjatuhkannya lagi berulang-ulang. Kadang begitu cepat hingga tak bisa dicegah. Kadang dalam gerak lambat. Naik, jatuh. Merangkak lagi, jatuh lagi. Bangkit lagi, jatuh terpelanting lagi. Begitu terus berkali-kali. Ada masa dimana rasa sakit menampar secara tiba-tiba, gue harus menahan air mata di hadapan murid-murid gue selama 45 menit, mengajar seperti biasa, lalu terisak menangis di kantin pada saat makan siang, kemudian masuk lagi ke dalam kelas, mengajar seakan-akan tidak terjadi apa-apa.

Oh iya, hal se-gila itu pernah gue lakukan. Topeng baja itu pernah gue pasang di muka gue. Senyum itu masih ada, masih tulus. Tapi satu detik setelah memalingkan wajah, mungkin jika ada orang yang berdiri cukup dekat dengan gue, orang tersebut bisa mendengar desahan yang bersiap berubah menjadi isakan tangis lagi. Tapi bukankah gue sudah menyerahkan, mempercayakan hidup kepada Tuhan?Itu cuma satu-satunya pilihan.

Menyerah memang bukan jalan keluar. Jalan keluar justru ada di ujung sana. Dan untuk sampai kesana, pilihan apa yang gue punya selain untuk tetap berjalan? Proses penyembuhan itu ternyata tidak selama yang gue pikirkan.

Semua berjalan begitu cepat. Kemudian, hari ini datang.
Gue masih hidup untuk menunjukkan kepada dunia, gue bertahan.Rasa sakit itu hilang dengan sendirinya.
Semua yang dulu pernah terasa begitu penting, seakan tidak berarti lagi. Seakan tidak memiliki arti yang dalam lagi untuk kembali menyakiti. Ini mungkin keikhlasan yang pernah gue minta. Dalam bentuk yang seperti ini. Tapi, apa yang seakan-akan pernah hilang, yang belum sempat gue miliki tapi sudah gue bayangkan akan memiliki, digantikan dalam bentuk-bentuk lain yang lebih indah. Dan terlihat lebih kekal.

Cinta datang dalam bentuk keikhlasan dari restu orang tua. Bahwa mereka percaya, suatu saat gue akan kembali bahagia. Dan usia memang seharusnya tidak lagi menjadikan alasan untuk tergesa-gesa. Cinta menyapa dalam bentuk persahabatan yang baru. Ada seorang kawan yang menyediakan dirinya 24 jam setiap hari untuk membantu membalut luka-luka jiwa itu. Kemudian apa yang dia lakukan, menginspirasi gue untuk melakukan hal yang sama, pada orang yang dulu cuma sekedar gue kenal aja. Yang juga sedang mengalami hal yang pernah gue alami dulu. Lalu, kami bertiga jadi berteman.

Lalu gue menyadari, ini bentuk cinta yang bisa gue berikan kepada orang lain. Mendukung mereka yang memerlukan dukungan. Memberikan pelukan tanpa harus diminta. Menyediakan bahu untuk bersandar. Mengusap air mata tanpa diminta.
Menyediakan telinga untuk mendengarkan, kemudian menyampaikan penghiburan bila diminta. Bukankah gue dulu pernah berada disudut gelap yang sama? Terpuruk dalam duka? Menemani orang lain menyembuhkan diri ternyata juga menguatkan diri gue sendiri. Bahkan gue masih ingat rasanya, bangun di pagi hari cuma mau mengirim pesan kepada teman gue yang mau mendengarkan semua keluh-kesah gue itu. Cinta menyapa dalam bentuk kesadaran. Kesadaran akan hidup yang gue miliki sekarang, yang tidak akan mau lagi gue tukar dengan apapun di dunia ini. Cinta diri sendiri, merawat dan menghargai diri sendiri, yang berujung kepada tekad dimasa depan.
Bahagia gue tidak perlu bergantung pada orang lain.
Lalu, cinta kepada manusia itu tidak boleh melebihi cinta kepada Tuhan. Dan akan lebih indah bila mencintai manusia, karena cinta kepada Tuhan.

Kesadaran seperti itulah yang membawa gue kepada rasa syukur. Mensyukuri hal-hal yang dulu pernah luput dari pandangan. Hal-hal yang terlihat sepele, kini menjelma berkah. Semakin disyukuri, semakin malu. Malu kalau beribadah cuma saat mau mengeluh. Tapi bahagia tidak berhenti sampai disitu.Cerita ini masih belum selesai. Pertanyaan besarnya, saat gue mempercayakan hidup gue kepada Tuhan, dan ujian ini Dia berikan kepada gue kemudian gue berhasil melaluinya, sebenarnya, Tuhan menginginkan gue ini menjadi manusia seperti apa? Tapi lagi-lagi, cuma waktu yang memiliki hak untuk menjawab pertanyaan itu. Sampai hari ini, gue bertahan hidup untuk menceritakan hal ini kepada orang lain.
Gue sudah tahu, mau jadi manusia seperti apa gue esok hari.
Gue bisa bilang dengan bangga, "Saya Farah. Usia saya 26 tahun, dan diantara rasa sakit karena kehilangan mimpi-mimpi yang pernah saya miliki, saya menemukan diri saya sendiri."

Dan memang, tidak pernah ada kebetulan di dunia ini. Karena sepenuh hati setelah kita menyerahkan hidup kita kepada Tuhan, kita akan disadarkan bahwa memang Dia mengetahui segala yang terbaik untuk kita. Sedangkan kita tidak mengetahui. Karena itu, yang perlu kita lakukan hanya meminta. Meminta kebaikan dalam setiap hari, meminta pelajaran dalam setiap badai, dan mensyukuri pelangi yang kita lihat di penghujung hari, sebelum matahari benar-benar terbenam. Hari ini gue tahu, gue telah menggenggam tiket emas gue sendiri. Dan ya, dimasa saat gue meyakini bahwa mimpi gue berakhir, kenyataan membangunkan gue dari tidur, dan memaksa gue untuk membangun kehidupan gue dari awal lagi. Hidup milik gue sendiri.

"There will come a time when you believe everything is finished; that will be the beginning. " — Louis L'Amour


--------

*Related note: The letter I was too stubborn to send: Aku memaafkanmu

Nielam: it's a novel about second chance actually.
don't we human make mistake every once in a while, and sometime we are just too numb, or too tired, or too self-absorb to change it. therefore we should thank people who care enough to be the living reminder. who never gave up hope on us, while we already gave up with ourselves. and it won't be easy,we have to fight and we have to have courage, like Larry the lion-tamer said: ""hidup ini sprti di dlm kandang singa, kawan.takutlah, mundurlah, larilah dr apa yg ada didpnmu, maka tamatlah riwatmu." somehow, Harun was right, Brandon Burchard is better than Mitch Albom. Albom talked about death, while Burchard talked about life.

And as we all now, life is harder than death. We have to fight to stay alive, to have a good life,meanwhile for death all we have to do is to give up. So live ur life to the fullest fellas :D

Jimmy: Tiket Emas Kehidupan Aku belajar tentang dunia:
Dunia adalah tempat yang gelap. Dunia adalah tempat yang menyedihkan Dunia adalah tempat yang tidak adil
Dunia adalah tempat orang-orang yang tidak tahu menghargai Dunia adalah tempat yang tidak pasti Dan dunia ini akan siap menyalahkanmu setiap saat. Aku belajar tentang orang lain: Orang lain itu tidak ramah dan suka menyakiti Orang lain itu bersikap dingin dan tidak perduli Orang lain itu berhati kejam Orang lain itu tidak adil Aku belajar tentang diriku sendiri:

Aku percaya bahwa aku adalah orang dungu, idiot, dan penggangg Aku tidak becus berkomunikasi Aku tukang bikin onar Aku tidak berharga Aku tidak cukup baik
Aku belajar tentang dunia, tentang orang lain, dan tentang diriku sendiri, sampai akhirnya aku terkena mantra masyarakat. Mantra masyarakat yang membentuk karakterku ketika aku menjadi dewasa. Mantra itu terus membelengguku untuk menghancurkan hidupku. Aku butuh pengharapan untuk menghancurkan mantra itu.

Seekor gajah sirkus adalah gajah yang sangat besar. Tingginya bisa mencapai tiga samapi empat meter. Di alam bebas, tempat habitatnya berupa kawasan seluas 1300 kilometer persegi. Gajah itu bisa berlari 24 kilometer per jam. Dia mampu mengangkat beban seberat 500 kilogram lebih, dan sanggup mencabut pohon kecil dengan belalainya. Tapi di arena sirkus, gajah itu tidak mampu membebaskan drinya dari tali yang diikat pada pancang kecil. Kenapa? Dari kecil gajah tersebut sudah diikat dengan tali pada pancang kecil tersebut. Gajah itu selalu berusaha membebaskan diri tapi karena dia masih kecil dia belum cukup kuat untuk mencabut pancang kecil itu. Sampai akhirnya dia berhenti dan yakin tidak akan mampu untuk mencabutnya. Dan keyakinannya itu dia bawa sampai dia menjadi gajah dewasa yang kuat. Keyakinannya itu membuat dia tidak berani mencoba mencabut pancang kecil itu lagi. Dan gajah itu terkena mantra pancang kecil.

Namun berbeda dengan gajah yang tidak mempunyai pengharapan, manusia justru dilengkapi dengan pengharapan. Tergantung apakah dia mau menggunakan pengharapan itu atau tidak. Yang jelas, manusia butuh pengharapan untuk menghancurkan mantra masyarakat. Pengharapan untuk hidup lebih baik, untuk hidup menurut pilihan dan bukan hanya dari kesempatan. Pengharapan adalah kesempatan kedua untuk memperbaiki hidup, untuk mendapatkan tiket emas kehidupan. Grab your own life’s golden ticket!

Palsay: duh bingung mo ngerate berapa...3 stars, 4 stars? yah 3,5 stars lah... tapi siapa sih saya, berani-beraninya ngerate buku ini yang mungkin bagi beberapa orang memberikan arti besar? Keren lah buku ini...cara Brendon menjelaskan arti kehidupan cukup brillian juga...

Meliana: life's golden tiket menceritakan perjalanan emosional dan transformatif dari seorang lelaki yang tidak bisa berpaling dari masa lalunya, yang merasa terjebak pada jaring laba-laba kehidupan yang tidak ia inginkan, tanpa pernah jelas apa yang ia kehendaki.

cerita yang ditawarkan sebenarnya sangat sederhana. taman bermain, dengan komidi putar, badut, sirkus, bianglala, sepertinya juga bukan ide yang baru lagi. kesempatan kedua dalam hidup yang ditawarkan adalah tema yang telah berkali-kali kutemui dalam cerita. tapi, seperti biasa, aku memang selalu hanyut dengan cerita tentang pengampunan, pencarian diri dan kesempatan kedua. aku tidak akan mengatakan bahwa Brendon Buchard adalah penulis yang berbakat sekaligus favoritku, hanya saja, twist yang ditawarkan dalam buku ini, ditambah dengan misteri kemalangan yang dialami tunangan sang tokoh utama dan rahasia tentang kenapa sang tokoh utama dapat mamasuki taman bermain tanpa tiket berhasil membuatku tetap penasaran sampai pada akhir cerita; walaupun, pada akhirnya, aku harus merasa kecewa karena ekspentasi akan kejutan yang terlanjur melambung.

yang paling menarik dari buku ini adalah pertanyaan yang mau tak mau tertulis dengan huruf cetak besar di dahiku: seandainya engkau diberi tiket emas yang akan membawamu ke petualangan yang akan mengubah hidupmu seacar magis, sebuah kesempatan untuk memulai melihat hidupmu dengan cara baru, akankah kau menggunakannya?

aku tidak. entahlah. barangkali aku merasa cukup puas dan bahagia dengan hidpuku. tapi, kalau demikian, kenapa pula aku harus menyambung keengananku dengan entah? entahlah.

Angee: When my friend suggested I read this, I was a bit skeptical. She assured me it was a quick read and that I would learn a lot from it.Okay, I gave it a try and was more than pleasantly surprised. Brendan Burchard has written a truly great book. I laughed, I cried, and I thought. It brought memories to the surface that had been long buried and made me think about where I am going with my life.

The main character narrates his fantasy trip which takes place in an abandoned amusement park that isn't abandoned when he arrives. The people in the park give invited visitors a second chance at changing their lives for the better, hence the golden ticket.He is at the park at the request of his dying fiance who had been missing for 40 days. Each person he meets at the park and each carnival ride he takes shows him his past both good and bad. Each lesson he learns will help him - risk changing his life, forgive both himself and others, be bold, see the other person's side of an argument, learn how to contribute and a host of life skills one needs to be successful.

This is a very good self-help book that is easy to read, easy to understand, and inspirational for people who would like to change but hate self-help books

Susan: I thought this book was amazing. Some of it was a little like ok so everyone is explaining their life story, but ultimately it made you look at yourself. it was simple to grasp the concepts in the story and exciting to read. you wanted to read the story because well, theme parks are cool. It was lovely, not in a way where you would cry or anything like that. But just on the realisation that you know things can be different. I read it thinking about people I know living lives they find unfulfilling and I thought, you know I've always refused to lead my life that way, however in the last few years I can see how people get caught up in that "rut". They needn't. I needn't. Anyways, I think everyone, especially my husband and closest family should read the book.

Review Left To Tell

Rabu, 23 November 2011



Left to Tell: Discovering God Amidst the Rwandan Holocaust

Immaculee Ilibagiza grew up in a country she loved, surrounded by a family she cherished. But in 1994 her idyllic world was ripped apart as Rwanda descended into a bloody genocide. Immaculee’s family was brutally murdered during a killing spree that lasted three months and claimed the lives of nearly a million Rwandans.

Saya: Membaca kisah nyata ini, saya merasa ngeri: "bahkan di dunia yang isinya semua berkulit gitam dan berambut keriting pun, masih ada rasisme yang begitu akut."

Saya percaya, rasisme yang terjadi di dunia manapun, adalah pekerjaan iblis...ketika kita rasis, kita menjadi budak iblis...saya takut

"Immaculee masuk universitas. Dia tidak menyangka bisa lolos karena jatah untuk suku Tutsi sangat sedikit. Dia bertemu dan jatuh cinta pada seorang lelaki dari suku Hutu bernama John. Masalahnya sekarang, John Protestan sedangkan Imma Katolik."

"Tuhan menunjukkan jalan pada Immaculee dengan cara belajar bahasa Inggris. Agar nanti bisa dia ceritaka ttg pembantaian Tutsi pd org2 PBB"

Bonnie: Wow! This book is so good. What an amazing woman. The things she endured and the attitude and faith she was able to keep are unbelievable. Definitely a lesson in faith, miracles, God's love, determination, forgiveness and many more. My sister kept telling me to read it, and finally just sent it over to me. I'm so glad she did. Thanks, Deb!

Rachel: Really an excellent read. She is able to describe her experience dealing with the Rwandan holocaust in a physical, spiritual , and emotional way. Despite the serious subject, this book is uplifting. But I don't want to move to Rwanda.

Mandy: How is it that I was a teenager when the Rwandan Holocaust was taking place, and I can't remember it? It was less than 20 years ago! My eyes were opened to the harsh realities of this terrible event. I cried a few times while reading this book. Even though the genocide was terrible and horrifying, this book is more about forgiveness than hate. Immaculee did a wonderful job telling her story of survival and how she came to know God and find peace amidst the Rwandan storm.

Review A Beautiful Mind

Selasa, 08 November 2011



A Beautiful Mind: Kisah Hidup Seorang Genius Penderita Sakit Jiwa yang Meraih Hadiah Nobel

by Sylvia Nasar

Buku pemenang National Book Critics Circle Award 1998 untuk Biografi, dan finalis Pulitzer Prize. Buku yang menjadi inspirasi film produksi DreamWorks dan Universal Pictures yang dibintangi oleh Russell Crowe.

John Forbes Nash, Jr. adalah salah satu genius matematika Amerika Serikat paling menonjol diantara teman-teman segenerasinya. Pada usia dua puluh satu tahun ia adalah seorang mahasiswa pascasarjana yang cemerlang, bandel, menyebalkan, sekaligus sangat eksentrik di Princeton University ketika ia menemukan beberapa prinsip matematika-yang kini disebut Kesetimbangan Nash-yang sangat penting untuk teori permainan atau Game Theory. Pada usia tiga puluh satu tahun, tatkala sedang berada di puncak kariernya yang cemerlang serta tidak lama setelah menikah dengan seorang fisikawan muda yang cantik, Nash mendadak menderita mental breakdown yang sangat merusak dan belakangan didiagnosis menderita skizofrenia. Di bawah terpaan khayal-khayal yang menyiksa, dan membuatnya tidak berdaya, serta berulangkali harus meringkuk di balik tembok rumah sakit jiwa, Nash terpaksa menghabiskan tiga dasawarsa berikutnya sebagai sosok pendiam yang hanya sesekali muncul bak hantu di lingkungan kampus Princeton University. Ketika usianya mencapai enam puluh tahun, kesehatannya semakin memburuk, dan keberadaannya praktis terlupakan, tiba-tiba dua keajaiban terjadi-yang pertama adalah kesembuhan yang hampir tak disangka-sangka dari skizofrenia, sedangkan yang kedua adalah keputusan Panitia Hadiah Nobel untuk menghargai prestasi gemilangnya di masa lampau. Dua mukjizat yang mengembalikan dunia kepadanya.

Gramedia 2005

Saya: "Baru dua paragraf, tapi saya langsung terpikat! A Beautiful Mind sangat menarik, sangat menggugah, terutama ketika bercerita tentang kisah hidup Nash dan prestasi-prestasinya, serta wawasan simpatiknya yang mengagumkan ketika membahas kegeniusan dan skizofrenia."

"15 juli 1961, Nash keluar dari rumah sakit jiwa, Trenton. Nash mulai normal, tapi keadaan ini justru membuat Nash menjadi pendiam dan merasa ide-ide briliannya dicuri dari dirinya. Dia menyebutnya sebagai "selingan rasionalitas yang dipaksakan" kepadanya. Sebab dengan rasionya sekarang, dia kehilangan "gregetan" pada masa-masa dia "terganggu". Nash mulai menulis makalah dan bekerja di Princeton sebagai peneliti."

"Memasuki tahun 1990an, John Charles dan John David Stier sudah sama besar, pemuda tampan, tegap, tinggi, dengan otak cemerlang seperti bapaknya. Mereka masuk universitas, dapat beasiswa dan memenangi penghargaan. Namun John Charles menderita Skizofrenia sama seperti bapaknya. Alicia sangat menderita tapi dia sangat tabah. John David tidak terlalu suka pada bapaknya, meski dia bangga."

"5 Desember 1994, John Nash ke Bandara Newark untuk terbang ke Stockholm sebab dia akan menerima medali bergambar Alfred Nobel. Betapa mengharukan, setelah semua kegilaan yang dialaminya. Tuhan memang adil. Saya sedikit sentimentil."

Aimme: It's about how you can win over yourself for the sake of people you love. Very inspiring!

Hasanuddin: Bagaimana rasanya dunia yang kita jalani dan eksplorasi ternyata tidak nyata? Bagaimana rasanya diberi pilihan antara nyata dan tidak nyata, yang padahal keduanya serasa nyata semua? John Nash, ilmuwan, mengalaminya. Stempel Schizophrenia memberinya kehidupan "akulturasi" antara dunia nyata dan maya. Berkat kekuatan dan semangatnya, John Nash memadukan keahlian matematikanya dengan kekuatan psikologi meraih nobel. Sebuah penghargaan nobel tentang teori permainan (game theory).

April: The book conveys a convincing portrayal of mental illness; but, it is unpleasant to read. I found that I didn't enjoy spending so much time with a person who, in addition to being a genius, and mentally ill, was basically a creep. The movie was better - mainly because the screenplay converted Nash into a more likeable guy (helped to be played by Russell Crow). If you haven't read the book or seen the movie - I recommend the latter. But keep in mind it's not a terribly truthful portrayal.

Kirsten: This biography was the basis for the popular film "A Beautiful Mind" a few years ago. It's the fascinating story of an arrogant young mathematician who began his career with genius-level work in mathetmatics, succumbed to paranoid schizophrenia in his thirties, and ultimately experienced a remission in the late 80s and was awarded the Nobel Prize for his early work in game theory. Reading about Nash's early life and the beginning of his career, I couldn't help but notice that he was always rather an odd duck, even before he became delusional and was diagnosed as schizophrenic. I'm inclined to think that if he were a child now, it's fairly likely he would be diagnosed as having Asperger's or something similar, but that's just my uneducated opinion. His way of relating to the world was always sufficiently different that it took a long time for many of his colleagues to realize that his eccentricities had morphed into delusions. He was a genius, he was expected to behave oddly, and in some ways this both served as a measure of protection for him, and also may have prevented him from getting help earlier.

I have to admit that I actually really disliked John Nash for a lot of the book. Even when he was sane, he was arrogant, self-absorbed, and unkind. He must have had some good qualities, though, other than his genius, because what really saved him in the end was the willingness of his friends and family to stand by him and try to help him. Again and again during his illness, his colleagues arranged work for him, smoothed over scandals caused by his odd behavior, and assisted his wife and mother in providing him with care. At times, his friends were almost too caring -- not having the same intimate contact with Nash that his wife Alice did, many of them believed he was not as ill as he actually was, and were very upset when he was involuntarily committed. The many points of view Nasar provides really bring home what it's like when someone succumbs to mental illness, and the way it affects just about everyone the person comes into contact with, like ripples in a pond.

Nash's return to normality after years of delusional behavior is still something of a mystery to neuroscientists. This is not something that often happens in schizophrenic patients, which led some to posit that Nash may not have been schizophrenic, after all. Yet his behavior and experiences are much more consistent with schizophrenia than with any of the other illnesses, like biopolar disorder, that have been suggested. This leads to the conclusion that Nash is one of the lucky few who experience a near-complete remission after years of illness. I'd definitely recommend this biography to anyone with an interest in mathematics, mental illness, or who just likes a well-written biography.

Cepi: You feel that some people around is real but you haven't realize that they're never stand. You feel that all of your dreams have realized but it never happened.

John Forbes Nash Jr., an extraordinary mathematician who get Nobel Prize in Economics (1994), was an odd guy, got himself far away in social, but in the other side bright in mathematic formula, the only thing he obsessed of.

Hard to imagine John got himself trapped in an absolutely harsh circumstance, in a labyrinth of schizophrenia. His toughness to face it along with his beloved family who always stand with make it a great life story.

Ami: Well, I will not read this book again. Nor do I recommend it to anyone. I admit it was interesting to learn more about John Nash, particularly just how good he was, and what his colleagues had to say about his brilliant, beautiful mind. It was eye opening to read about the time of his life when he actively began struggling with his illness, and his subsequent recovery. It was gratifying to read about his Nobel Prize experience. All that said, it was not at all "good" enough to entice me to spend my time reading again. First of all, it's a book about a mathematician. A brilliant mathematician whose works I don't really understand even when they are put in "plain" English, as she occasionally did. And since he had essentially no life outside of his mathematics, until you get to the part where he is ill, and can no longer do math, it talks a lot about things I don't understand.

Also, while there was not a language problem per se, the instances where there was a foul word used it was one of the foulest, and quite off-putting. And last but probably most of all I will not read it again because some of the anecdotes she chose to include about his life just plain made me uncomfortable. I felt a little bit like I had invaded his private life, because even though she never really gave details or was graphic, it just felt too inimately personal.