Tampilkan postingan dengan label Kepustakaan Populer Gramedia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kepustakaan Populer Gramedia. Tampilkan semua postingan

Review Nusantara: Sejarah Indonesia

Minggu, 11 Maret 2012


Nusantara: Sejarah Indonesia

by Bernard H.M. Vlekke, Samsudin Berlian (Translator)

Nusantara merupakan salah satu deskripsi sejarah Indonesia yang ditulis secara mendalam namun populer. Kendati buku ini terbit pertama pada 1943, banyak hal-hal yang disampaikan oleh Vlekke aktual sampai abad ke-21. Berbeda dengan buku sejarah selebihnya, Vlekke menampilkan proses sejarah Indonesia tanpa terlalu memusatkan proses pada perluasan kolonialisasi.

Dalam buku ini Vlekke misalnya memaparkan bahwa perang agama sangat langka di Jawa dan boleh jadi penyebabnya adalah sinkretisme terpelihara sejak zaman dulu. Ada kisah kegagalan Sultan Agung menyatukan Nusantara karena tak punya angkatan laut yang memadai. Kisah lain yang langka adalah perubahan tabiat orang Belanda yang rajin di tanahairnya (Homo batavus), namun jadi pemalas ketika tinggal di Batavia (Homo bataviensis).

Edisi Indonesia buku ini merupakan terjemahan edisi revisi 1963. Penulis menyajikan sejarah Nusantara secara populer. Oleh karena itu, buku ini seolah-olah berisi dongeng Indonesia pada masa silam. Pembaca muda Indonesia dapat dengan mudah memahami kisah yang ditampilkan dalam buku ini.

Kepustakaan Populer Gramedia 2008

Yusuf: buku ini cukup mengesankan, uraian sejarah indonesia disampaikan dengan baik dan mengalir, disamping itu membaca buku ini seakan sama mengingatkan saya pada novel Pramoedya yaitu Arus Balik, atau jangan-jangan Pram juga menggunakan buku ini sebagai salah satu referensinya ketika menulis salah satu novel masterpiece-nya tersebut??

Helvry: Buku ini benar-benar membuka wawasan tentang sejarah Indonesia pada masa lalu. Ada tiga bagian besar buku ini. Bagian pertama, pra kolonial. Bagian ini menceritkan tentang kerajaan-kerajaan yang berjaya pada abad 11 s.d. 15 seperti Majapahit, Sriwijaya, serta konflik-konflik yang terjadi antarkerajaan masa itu. Bagian kedua, pada masa kolonial. Saat bangsa Portugis mendarat pertama kali di Banten, Nusantara menjadi tersebar namanya di kalangan pedagang eropa. Sampai saatnya Cournelis de Houtman mendarat di Banten pada 1596, itulah awal mula Bangsa Belanda menjejakkan kolonialisme di Nusantara. Bagian ketiga, hanya diulas dalam dua bab, yaitu masa pra kemerdekaan. Pergerakan tokoh-tokoh pmeuda seperti Sukarno, Sutomo, Ki Hajar Dewantara, yang menentang penjajahan.

Buku yang bagus, walau masih ditemukan beberapa kesalahan pengetikan, namun tidak mengurangi minta untuk menyelesaikannya hingga halaman terakhir.

Gyanto: Karya Bernard H. M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia menarik untuk dicermati. Ia menyuguhkan garis besar bagaimana evolusi dari yang awalnya ekspedisi kapal dagang pengusaha-pengusaha Belanda menjadi kekuatan imperialis yang sangat kuat di Asia Tenggara, yang dalam buku tersebut disebut sebagai Hindia-Timur. Niat berdagang ternyata tidak cukup untuk mengatasi persoalan persaingan dengan Bangsa-bangsa Eropa sendiri di wilayah baru, yang sebelumnya telah diduduki oleh Bangsa Portugis. Kemudian Bangsa Inggris datang. Ditambah, konflik-konflik kecil diantara raja-raja di jawa dan beberapa konflik antara pedagang Eropa dengan penduduk lokal. Persoalan pun menjadi kian rumit. Akhirnya, penggunaan kekuatan militer tak bisa dihindari. Inilah yang kemudian menciptakan perubahan struktur relasi, dari berdagang menjadi berperang kemudian memerintah.

Karya Vlekke memiliki beberapa keunggulan. Cara penyuguhannya yang ringan kemudian diikuti oleh ilustrasi-ilustrasi dan detail-detail yang kaya akan data menciptakan karya ini tidak bisa disebut karya sejarah biasa. Pada bagian pendahuluan dijelaskan garis besar kondisi geografis Nusantara, kemudian pada bab pertama hingga bab tiga menjelaskan garis besar sejarah Indonesia semasa kejayaan Kerajaan Hindu-Budha di Jawa dan Sumatera. Kemudian masuknya Islam dan bangsa Eropa awal, yaitu Portugis, dimulai pada Bab empat. Bab lima kemudian menyuguhkan kisah bagaimana pedagang dari negeri Rendah, Belanda, datang. Bab tersebut hingga bab penutup, yaitu bab enam belas, banyak menjelaskan bagaimana evolusi itu terjadi hingga meletusnya revolusi kemerdekaan yang diawali oleh persaingan antara ide-ide konservatif dan liberal di parlemen belanda sehingga mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik dan pendidikan di negeri koloni Hindia Timur.

Kedua, Yang menarik selain alur dan gaya penulisannya. Buku ini juga memberikan data-data ‘tak terduga’ terkait kebijakan berbagai bidang. Dari sisi moneter, pertanahan, keagamaan, dan bahkan beberapa Introduksi tanaman yang bukan khas Indonesia yang sekarang ini telah banyak mengubah landskap Indonesia. Dalam bidang moneter, Vlekke menggambarkan bagaimana pemerintah Belanda pada saat periode kerajaan Mataram dan Banten kebingungan dengan beredarnya koin-koin cetakan lokal dari Madura, Cirebon serta koin-koin timbal dari Palembang dan Bali yang banyak beredar. Sehingga memaksa Belanda melakukan kebijakan moneter terpusat dengan menggunakan mata uang tunggal untuk transaksi. Yang pada akhirnya pemerintah Belanda memulai kebijakan inflasinya (Hal 248).

Atau tentang awal berdirinya Batavia, menurut Vlekke, yang dibangun oleh Jan Pieterszoon Coen merupakan strategi untuk memenangkan persaingan jalur perdagangan antar Asia dengan mengontrol laut Jawa. Walaupun harus mendapatkan perlawanan dari Mataram, Banten dan bahkan Inggris. Penggambaran kondisi Batavia awal sangat menarik. Digambarkan bahwa letaknya yang menghadap pantai membuat orang Belanda membangun benteng-benteng tertutup karena takut dengan angin laut yang ‘tidak sehat’.

Hal lain yang patut dicatat ialah tentang beberapa introduksi tanaman perkebunan yang sekarang membentuk sebagian landskap Indonesia. Hoby sebagian pejabat Belanda di Batavia terhadap pertanaman ternyata mengalihkan perhatian pemerintah Belanda terhadap hasil-hasil perkebunan dibandingkan dengan perdagangan rempah-rempah yang merupakan tanaman asli Indonesia. Sekitar tahun 1700-an sebagian holtikulturis Belanda mulai bereksperimen dengan tanaman-tanaman non-Indonesia di ladang-ladang sempit mereka di Batavia. Salah satunya ialah tanaman kopi yang dikembangkan oleh Van Hoorn. Walaupun pohon kopi Van Hoorn tidak bisa tumbuh subur di tanah Jawa, namun eksperimennya dilanjutkan oleh Zwaardecroon dan Chastelein dengan sangat berhasil. Namun hasil eksperimen saja tidak cukup. Adalah Witsen yang kemudian merealisasikan pembudidayaan tanaman kopi secara lebih luas, yaitu dengan membagikan bibit-bibit kopi di kalangan para kepala daerah di sekitar Batavia dan Cirebon (hal. 217).

Kemudian system kultur diperkenalkan oleh Van den Bosch, yaitu system pertanian yang dikontrol oleh pemerintah. Dampaknya ialah pengorganisasian lebih luas terhadap system pertanian di jawa, yang itu artinya pemaksaan besar-besaran penanaman tanaman-tanaman komoditas baik yang tanaman asli Indonesia maupun bukan asli Indonesia. Gula, kopi, nila, teh dan tembakau menjadi komoditas favorit. Untuk Teh, ia adalah barang dagangan yang sangat menguntungkan sejak akhir abad ke-17. Ia di-impor langung dari Cina. Adalah J. Jacobsen seorang ahli teh dari perusahaan dagang Belanda yang mengimpor benih teh dan pohon dari Cina kemudian mempelajari dan membudidayakannya di Pulau Jawa (hal 330).

Berbagai data disuguhkan oleh Vlekke, inilah yang membuat buku ini menarik. Sangat bisa dipahami mengapa Vlekke mampu menyajikan secara mendetail dan menyuguhkan analisa yang lebih kompleks dibanding analisa-analisa historis lain yang cenderung menyederhanakan. Pertama, karena si penulis ialah orang Belanda sendiri, kedua, berdasar pada keterangan di kata pengantar, ia adalah ahli dalam bidang hubungan internasional, dan ketiga datanya banyak diperoleh dari perpustakaan Harvard. Namun demikian, seperti karya historis lainnya, tak ada yang netral dalam usaha penjelasan historis. Posisinya yang cenderung memandang negatif kebijakan Inggris, terkhusus Raffles—-walaupun diimbangi dengan usaha penilaian yang ‘proposional’ dari kebijakan-kebijakan Raflles.

Buku ini patut dipakai sebagai atat pelacak sumber data yang bermanfaat bagi penelitian historis walaupun pembaca berhak memiliki penilaian sendiri terkait argument-argumen Vlekke tentang Indonesia sebelum revolusi kemerdekaan.

Andreas: Ternyata yang namanya Indonesia bersatu muncul bukan semata2 perjuangan politik orang2 Indonesia, tapi juga campur tangan orang Belanda. dan bahwa raja2 di Nusantara ini akhirnya memeluk Islam dengan alasan politis untuk memerangi Portugis agar jalur Malaka aman. Apa sebenarnya yang menyebabkan Orang2 Eropa yang tadinya berdagang itu memerangi Kerajaan2 Nusantara?

Fibi: Membaca buku ini, aku jadi berpikir sendiri, mengapa penulisan sejarah negeri sendiri jauh lebih enak dibaca daripada karya penulis dalam negeri?

Aroengbinang: Membaca buku ini sungguh menuntut kesabaran untuk bisa menerima kenyataan2 pahit masa lalu, hancurnya satu persatu kekuasaan lokal oleh kompeni, karena keserakahan dan kebiadaban kompeni dan junjungan2 mereka di blanda serta karena perseteruan diantara penguasa lokal sendiri dan kelemahan raja-rajanya, yang dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh kompeni untuk memperluas dan memperdalam cengkaram kekuasaannya.

Tidak kah sejarah berulang? Raja-raja dan penguasa lokal sekarang bertransformasi dalam bentuk bermacam-macam. Meski kompeni sudah lenyap, kompeni-kompeni lain dan kekuatan yang jauh lebih dahsyat terus bergentayangan menghisap tiada henti...

Henrikhus: Baru aja selesai baca buku ini. Sebagai buku sejarah cukup lumayan walau masih terlalu general dalam membahas detil2 yang terjadi. Walau begitu dari buku ini bisa saya simpulkan sebagai berikut bahwa:

1. Islam masuk ke Indonesia dengan damai dan bahwa peralihan agama yang terjadi mula karena para penguasa lokal beralih agama karena mencari persekutuan dengan Demak untuk menghadapi masuknya Portugis dll.

2. Bahwa yang mempersatukan Indonesia itu adalah kompeni, kita boleh aja tidak suka fakta ini tapi jelas tanpa kompeni tidak akan ada Indonesia yang ada hanya kerajaan2 kecil dan lokal yang bertarung satu sama lain.

3. Bahwa reaksi yang keras dari kaum kolonial konservatif terhadap kaum pergerakan mempercepat dan memperkuat dukungan masyarakat terhadap kaum pergerakan.

Review Bilangan Fu

Rabu, 18 Januari 2012




Bilangan Fu

by Ayu Utami

Yuda, seorang pemanjat tebing dan petaruh yang membenci kota, sinis dan skeptis. Toh ia memiliki mimpi-mimpi intim dan ganjil yang membuat ia terobsesi pada sebuah bilangan bukan rasional bernama bilangan fu.

Parang Jati, seorang pemuda bermata bidadari berjari dua belas. Sejak pertemuan mereka, ia seolah memiliki misi untuk membuat Yuda berganti agama dari “pemanjat kotor” menjadi “pemanjat bersih”.

Persahabatan itu melibatkan mereka pada cinta segitiga dan petualangan yang menuntut pengorbanan. Di dalamnya, dengan latar pegunungan kapur di pantai Selatan Jawa, bilangan bukan rasional fu samar-samar menampakkan diri.

Kepustakaan Populer Gramedia 2008

Saya: pengakuan kepercayaan belum manusiawi...agama2 besar seakan lebih unggul n benar jika melihat aliran kepercayaan yg akarnya menjelma negri ini

Ariyati: -- akhirnya selesai juga, setelah terhenti sesaat --
alur cerita.. menarik..memainkan emosi..ada saat senang,serem2,sedih,gemes, was-was,marah,patah hati, prihatin..sampe mati rasa

Semakin lanjut dalam cerita, Bilangan Fu jadi gak terlalu penting lagi dan gak terlalu misterius, dibanding usaha Parang Jati dalam menyelamatkan pegunung karst itu dan merengkuh pihak2 yg sadar akan penting nya hal tsb.
Ini mungkin pesan yg paling penting dari novel ini.

Teori2 yg diambil dari kitab suci, babad tanah jawi etc.. jadi menambah wawasan juga meski gak semuanya bisa dimengerti..

tokoh2nya sendiri, kyknya masih seperti buku2 terdahulu..
muda, ada yg skeptis, ada yg idealis...punya hobi/profesi yg eksentrik, liberal, sembrono Yg gak penting tapi dibahas dgn detail tuh ttg mahluk2 halus..duuh paling gak suka yg ini..sumpah! ini yg bikin jadi 3bintang.
beberapa bagian diulang2, malah ada yg kalimatnya sama persis.. trus ada vagina Nyai Gulliver segala, setau aku Gulliver cowo' kan? (yg di novel Jonathan Swift..atau mungkin Gulliver lainnya). trus orang gunung kidul dibilang muka pre-sejarah..halah, bapakku ganteng, orang2 kampungnya jg lumayan2 lho! (gak terima gitu..he2x, emang rese' si Yuda)
so..menunggu novel berikutnya ;D
moga2 jagoannya gak ngisep ganja, bodo dech kalo Yuda, tapi Parang jati..aduhh, you broke my heart dear!

Endah: Setelah Saman terbit (1998) dengan segala kehebohannya, citra penulis vulgar seolah-olah melekat pada diri pengarangnya, Ayu Utami (40). Citra ini bahkan tersiar sampai ke luar Indonesia. Fakta ini baru saya ketahui kira-kira dua minggu silam dari percakapan saya dengan 6 orang teman dari Malaysia yang mengaku sebagai “ulat buku”, sebutan di negeri jiran itu untuk kutu buku. Saat mereka berkunjung ke Jakarta pada acara Pesta Buku Jakarta 2008 yang lalu, mereka emoh menuruti saran saya untuk juga membeli (dan membaca) novel-novel Ayu Utami selain tetraloginya Pram lantaran kabar yang mereka dengar buku-buku Ayu itu porno.

Citra porno yang telanjur menempel pada perempuan lajang bertubuh ramping ini juga sempat membuat teman-teman saya yang hendak membeli (dan membaca) buku ini mempertanyakan : masih sejenis nggak ya buku ini dengan Saman?

Setamat saya membaca novel setebal 500-an halaman ini, saya baru bisa mengatakan, bahwa buku ini berbeda dengan karya Ayu terdahulu, Saman dan Larung.

Bilangan Fu barangkali akan menjadi sebuah cerita yang “berat” seandainya Ayu tidak menuliskannya dengan bahasa yang gurih, sebab ia, novel ini, memuat gagasan dan kritik Ayu pada tiga hal yang dianggapnya sebagai ancaman kebebasan dan demokrasi, yakni 3 M: modernisme, monoteisme, dan militerisme. Tema yang serius, bukan? Namun, secara cerdik Ayu menyiasatinya melalui jalinan kisah dua pemuda pendaki tebing yang tampan dan cerdas: Yuda dan Parang Jati.

Kedua lelaki muda yang sehat itu menjadi simbol dan sekaligus para pahlawan di novel ini yang memerangi segala bentuk penzaliman dan penganiayaan kepada alam dan manusia. Yuda dan Parang Jati tidak berdiri berseberangan sebagai dua orang seteru, tetapi justru saling bahu-membahu menjadi protagonis melawani musuh bersama: ya 3 M itu.

M yang pertama, modernisme, menurut Ayu menjadi penyebab utama rusaknya lingkungan akibat eksploitasi manusia modern yang kelewat batas dan lupa menghormati alam. Manusia modern tak percaya lagi pada segala bentuk keramat dan cerita-cerita takhayul ihwal roh-roh halus penunggu pohon besar, sungai, gunung, dan samudera. Padahal kepercayaan pada takhayul dan keberadaan roh-roh halus yang dahulu “diimani” oleh masyarakat adat telah mampu menyelamatkan alam dari kebinasaan. Kerena percaya bahwa setiap benda dan tempat ada yang punya, mereka tak berani berlaku sewenang-wenang. Tetapi kini seiring dengan semakin lunturnya kepercayaan tersebut, semakin parahlah perusakan yang terjadi.

Kritik dan kampanye anti-perusakan lingkungan ini disampaikan Ayu dengan memilih dunia panjat tebing sebagai latar kisahnya. Yuda dan Parang Jati mengenalkan agama baru mereka : pemanjatan bersih atau yang lebih ekstrem lagi sacred climbing, yaitu teknik memanjat dengan sesedikit mungkin atau sama sekali tidak melukai tebing-tebing dengan alat-alat panjat modern seperti bor dan paku.

M yang kedua adalah monoteisme. Ayu meyakini, bahwa agama-agama langit yang monoteis memiliki persoalan mendasar dalam menerima perbedaan. Ayu menggambarkannya melalui permusuhan antara Kupukupu dan Parang Jati. Kupukupu adalah lambang mereka yang merasa diri paling benar dengan agama yang mereka peluk dan lalu merasa berhak mengadili serta mengkafirkan orang lain yang menganut kepercayaan yang berbeda dengannya. Mereka tak menyisakan ruang bagi perbedaan. Fundamentalis, begitulah tepatnya. Pada bagian inilah Ayu memperkenalkan filosofi bilangan fu yang lebih bermakna metaforis ketimbang matematis. Ini menyangkut pengertian akan Tuhan yang satu yang sering diartikan secara matematis.

Dan M yang ketiga adalah militerisme. Pendapat Ayu bahwa militerisme merupakan musuh utama demokrasi berangkat dari masa Orde Baru, di mana peran militer sangat dominan. Dengan kekuatan dan caranya sendiri, militer menebar teror, ketakutan, dan kekerasan di masyarakat demi mempertahankan kekuasaan. Kebebasan pers dibungkam, acara-acara seni dan sastra dimata-matai, diskusi dan kumpul-kumpul dianggap makar, sebversi. Kita yang sempat mengecap hidup di masa gelap tersebut tentu tahu betul rasanya.

Novel dengan beban gagasan seberat itu tentu akan terasa membosankan jika tak pandai-pandai mengemas dan menyajikannya. Bilangan Fu nyaris terjerumus menjadi novel demikian seandainya Ayu hanya fokus pada ide besarnya itu dan melupakan unsur-unsur “hiburan” dalam bukunya ini. Unsur-unsur hiburan itu di antaranya bumbu seks, asmara, dialog-dialog yang bernas, plot yang tidak linear, dan humor. Kendati saya sempat terserang jenuh juga oleh banyaknya kutipan kliping surat kabar dan majalah, “artikel” serius Parang jati, serta dialog panjang lebar Yuda dan Parang Jati yang sangat ilmiah, namun secara keseluruhan novel ini enak dibaca.

Lantas, bagaimana dengan cinta segitiga seperti yang diiklankan dalam sinopsis di sampul belakang buku ini? Ah, rasanya saya tidak menemukan adanya asmara tiga sisi di novel ini. Ayu tidak pernah secara terang-terangan menampilkan percintaan segitiga antara Yuda, Marja, dan Parang Jati. Marja itu pacar Yuda yang dengan tersirat dan samar-samar–melalui dugaan-dugaan Yuda–diceritakan juga menaruh hasrat kepada Parang Jati. Jadi, jika Anda berharap akan bertemu kisah cinta segitiga yang menggelora dalam novel ini, siap-siaplah kecewa.***

Nuni: walaupun dahsempet larut di cerita jari...tapi belm selese baca buku ini karena keburu ke salip sama buku dan jurnal orangorang insomnia yg iseng yg suka ngaku ahli hukum internasional ---awal desember--- Stlh pnguasaanku atas buku ini memasuki akhir semester ketiga..stlah buku ini menemaniku melintas benua dan batas negara.. Akhirnya mata dan sel kelabuku beranjak dari hlaman duapuluhtiga... -so far:tba2 sel kelabuku yg hari ini kehijaubiruan(haha mgkn trpngaruh seragamku) ingin menambahkan pujian reviewers pada sang pengarang..

Setelah lelah menikmati beberapa halaman berisi arogansi yuda yg luarbiasa..sel2 super kecil dikepalaku terperangah dengan pikiran yuda yg mau menyenangkan marja dengan itikad memberi nama tumang..reaksiku:Hah..voila... Lanjut ah...
---awal januari--- ya ampunn...biasanya cuma bacaan wajib kuliah sama kerja yg ada 'buku penyela' nya.... kali ini sampe 2 buku...ck ck ck ...nuniii..nuni... ga berarti ga bisa nikmatin buku ini....tapi mungkin diawal emang agak2 abundant sama gaya sinism yg bertebaran di buku ini
masih lanjut though... --mid januari--- selesai baca dan sedih karena kehilangan parang jati..... huuuu uuu masih berduka niy [lebay:] jadi reviewnya nanti aja deh...

Helvi: Bahasanya terpelihara... tapi semua tokohnya Ayu Utami :D

Windy: setelah di interrupt sama 'junk food' akhirnya gue selesai juga baca buku ini. menarik, penggabungan agama, filosofi, gaya hidup, mistis, kebudayaan, munafik dan kebodohan yang di mix jadi satu. well walaupun endingnya kayanya udah bisa gue tebak dari awal tokoh Parang Jati diperkenalkan.

menyikapi hidup bisa dilihat dari banyak sudut. ada baiknya bila kita tidak hanya terpaku pada satu sudut saja.karena kepicikan kita kadang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan orang orang yang berniat buruk.

salah satu kutipan menarik menurut gue adalah statement berikut ini : Bagi Parang Jati kebenaran itu dipanggul, sedangkan bagi Farisi kebenaran itu harus ditegakkan.

cukup bisa membangkitkan kegeraman gue akan tokoh bernama Farisi disini. yang penggambarannya menurut Ayu Utami membuat gue ngakak ngebayanginnya mix Harajuku antara Samurai X sama Pangeran Diponegoro - thats good one-. yang jelas gue gak rela banget jagoan favorite gue Kenshin sama Pahlawan besar Diponegoro ditiru orang macam Farisi ini. orang yang menghujat dan menghakimi kelompok yang dianggap mengagungkan zat lain selain Tuhan tapi menikmati diagungkan oleh pengikutnya.apapun background dan alasannya, he's not smart enough to open his mind i think ( even at the end of this book, he seems evaluating himself just a litle bit )

yang jelas buku ini memang sedikit lebih berisi dibanding Saman dan Larung ( esensinya buat gue masih sama ) salah satu benang merah yang kentara dari Saman, Larung dan Bilangan Fu ini yaitu pandangan penulis tentang Militerisme dan hubungan cinta yang menyimpang.

this book is worth to read.

Santy: FANTASTIC !!! Sangat jarang saya menemukan karya yang begitu 'pas' dengan selera baca saya. Buku ini adalah salah satu dari top 10 list item saya pastinya.
Kisah, plot, karakter, serta bahasa yang digunakan sangat unik. It's like make you 'must-think' but somehow you understand it deep inside. Yah, begitulah saya menggambarkan buku ini.

One of the most thing I like in this book is about the kind of sense of humor reserved. I've gotta admit that most of the times I've gotta paused the reading just to absob the humor and laughing all the way.

Buku ini juga membuka wawasan baru tentang cara pikir saya terhadap sejarah dan politik. Saya tidak pernah tertarik dengan politik, dalam segala hal, saya bahkan menolak mendengar conversation about politics. But damn! this is one helluva thing to strike me right at the core! (maaf jika bahasanya kurang diminati).

Well, one thing for sure, this book is absolutely a must-read-item.

Caution: suitable for open-minded person only!

Ririenz: BILANGAN HU ( )

Ayu Utami

Kepustakaan Populer Gramedia, Juni 2008

573 Halaman

Rasanya lumayan panjang juga jeda yang aku butuhkan untuk menikmati lagi karya lain Ayu Utami ( AU ) selain “ Saman “. Khas AU memang jika dia selalu membuat kening pembacanya berkerut penuh tanya. Kali ini AU datang dengan “ Bilangan Fu “ untuk meneror para penikmatnya. Ia menyuguhkan sebuah konsep spiritual yang boleh jadi hal itu di luar pemahaman kita sebelumnya. Atau kita sebenarnya sudah paham tapi terkadang sulit untuk mengkomunikasikannya dengan orang-orang disekeliling kita.

Bilangan Fu merefleksikan kekecewaan dan keprihatinan AU atas penganiayaan juga kesewenang-wenangan terhadap lingkungan serta budaya yang terjadi di sekeliling kita. Manusia ( yang katanya ) bertindak sebagai khalifah di bumi ternyata tidak mampu menunjukkan rasa hormatnya kepada lingkungan dan budaya yang tercipta di masyarakat, bahkan tega-teganya berusaha untuk mengangkangi demi memantapkan ideologi kapitalis. Hal ini diungkapkan AU pada halaman 452 ;

“ Agama langit terbukti tidak bisa menyelamatkan alam. Agama bumi secara sistematis memelihara alam. Sayangnya agama-agama bumi ini telah terlindas nilai-nilai baru untuk : modernisasi, monotheisme dan militerisme “.

Agama bumi ini maksudnya adalah kepercayaan animisme dan dinamisme yang dianut oleh nenek moyang kita, contohnya kepercayaan yang masyarakat jawa kuno, yang disebut kejawen. Kebudayaan kejawen ada yang masih dilestarikan hingga kini misalnya acara tedak siten dan tujuh bulanan pada bayi.

Lalu AU menawarkan sebuah gagasan baru yang dinamakannya “ Neo-Kejawan “ dengan sinkretisme sebagai teksnya. Gagasan ini menekankan pada pemahaman dan kegiatan yang berupa laku kritis, seperti yang dipaparkan pada halaman 384-385.

“… Perbedaan utamanya terletak pada daya kritisnya. Spiritualitas jawa lama tidak merumuskan daya kritis. Spiritual lama tersedot pada rasa dan cipta tapi mengabaikan logika. Menekankan pada inspirasi tapi tidak analisa sama sekali. Spiritualias baru ini milik orang-orang yang rasional namun sekaligus kritis pada rasionya. Milik orang-orang yang telah mengenal modernisme tapi tidak tertelan pada modernisme. Milik orang-orang postmodernis.”

“… Spiritualitas baru ini senantiasa kritis pada asal dan tujuan hidup. Karena itu ia menundanya dan memusatkan cipta dan karsanya pada bumi ini.”

“… Spiritualias ini lebih tertarik pada bumi dari pada langit. Lebih wigati pada dunia ketimbang akhirat.”

Aku setuju dengan gagasan AU soal laku kritis ini, tetapi seperti aku tidak sepaham soal cara pandang AU terhadap agama langit. Sebagai muslim yang sejak kecil sudah dijejali doma-dogma yang termaktub dengan pasti dalam Al-Qur’an, aku percaya bahwa Tuhan YME sebenarnya sudah memberikan aturan yang baik untuk bumi dan alam semesta ini beserta isinya hanya saja daya nalar kita sering tidak mampu dan terengah-engah memahami petunjuk Tuhan YME, karena memang kita adalah makhluk-Nya yang sangat berbatas. Dan bagusnya pada novel ini AU tidak terjebak dalam pergulatan dogmatis yang terkadang bisa berujung perpecahan.

Apakah Bilangan Hu ( Fu ) itu ? Bagaimana bentuknya ? Dari mana asalnya ?

Bilangan hu adalah tanda tentang sesuatu yang ketetapannya adalah gerak. Ia mengambil bentuk sesuatu yang berpusar ( ), tidak berbentuk cakra tertutup, seperti nol ( O ) atau berbentuk bindi hitam ( ). Perangkatnya adalah :

Ji Ro Lu Pat Mo Nem Tu Wu Nga Luh Las Sin Hu

Hu adalah bilangan sunyi, dimana satu dan nol menjadi padu. Sebab ia bukan bilangan matematis, melainkan bilangan metaforis. Dia bukan bilangan rasional, melainkan bilangan spiritual.

Ada dua tokoh protagonist dalam novel ini, yang bernama Yuda berkiblat ke kiri sedangkan Parang Jati berkiblat ke kanan. Otomatis visi, misi serta kehendak mereka berdua banyak yang berseberangan meski satu tujuan. Mereka berdua akhirnya bersepakat ingin membangun dunia yang lebih baik dengan Neo-Kejawan yang berbasis sinkretisme. Sedangkan Kupu-kupu --- adik Parang Jati --- dengan paham monotheisme mengambil posisi berseberangan dengan mereka berdua. Diantara Yuda dan Parang Jati ada Marja --- kekasih Yuda --- yang kehadirannya melengkapi dan menjembatanai hubungan antara kanan dan kiri. Dengan lihai AU meramu idenya itu dalam jalinan kisah yang sangat mengagumkan. Novel ini bersetting di sebuah tempat yang kaya akan batuan kapur bernama Watu Gunung.

AU menjadikan Watu Gunung sebagai contoh atau lebih tepatnya potret dari sebuah negara atau dunia beserta permasalahan yang menyelimutinya. Semua kejadian yang terjadi di Watu Gunung adalah gambaran kongkret permasalahan-permasalahan akibat modernisasi dan kapitalisasi yang berujung pada eksploitasi di berbagai bidang kehidupan. Selain bisa mengikis kadar spiritual seseorang atau kelompok, modernisasi dan kapitalisasi membuahkan percikan-percikan api akibat gesekan yang terjadi antara golongan dan kepentingan. Kaum agamis fundamentalis dan moderat saling berhadapan untuk mempertahankan dan menyelamatkan argumennya masing-masing. Modernisasi dan kapitalisasi tentu saja melibatkan peran militer agar bisa lebih berkembang. Jika sudah demikian pasti akan ada pihak-pihak yang terdzolimi lahir – bathin yang akhirnya mau tak mau membebek pada pemenang.

Novel ini banyak menyajikan dialog-dialog cerdas yang memperkaya wawasan pengetahuan kita. AU juga banyak memperkenalkan kosakata bahasa Indonesia yang sepertinya jarang dipergunakan dalam bahasa lisan dan tulisan, misalnya; periferi, menabal, bergoler-goler, miang, terpelecok mendebik, membeting dan masih banyak lagi --- sampai capek bolak-balik buka kamus bahasa Indonesia ---.

Aku suka Bilangan Fu, karena menunya lumayan komplit, ada serius, ada humor, ada romantis, ada kesedihan, ada kebahagiaan, ada yang memuakkan, ada yang “ bunglon “ dan pula ada sex-nya. Sepertinya aku sedikit terganggu dengan kehadiran guntingan-guntingan berita koran di beberapa halaman novel. Tapi aku menyukai artikel yang dibuat oleh Parang Jati yang berjudul “ 3M : Tiga Musuh Dunia Postmodern “ dan 3M itu adalah Modernisasi, Monotheisme dan Militerisme.

Covernya juga unik seperti lukisan kalung etnik padahal sepertinya itu symbol dari Bilangan Fu. Dan ternyata lukisan cover itu karya AU sendiri. Jadi…Baca deh Bilangan Fu…

~* Rienz *~

Review Saman

Minggu, 04 Desember 2011

Saman

by Ayu Utami

Fragmen dari novel Laila Tak Mampir di New York.

Kepustakaan Populer Gramedia 2005

Saya: Jika orang masih sangsi apakah kisah seperti ini benar2 terjadi... menurut sepengetahuan saya, di Sumatra sana, di kampung2 pinggir hutan, yang tanahnya masing luas2, sampai hari ini masih terjadi perebutan lahan, teror sosial politik, yang tentu saja melibatkan warga miskin pemilik tanah dan orang2 kaya, pengusaha, aparat, dan tukang2 pukul atau kita sebut preman...

**aktivif, mati satu tumbuh seribu... kita lawan mereka. kita lawan borjuasi yg lalim

Nielam: Miris baca kisahnya si Wis, alias Saman.
Tapi lebih suka sejarah2 dan sedikit mistis yang ada di bilangan Fu...yang ini terlalu sosial politik. Not my cup of tea.

Rini: The feeling of excited and "gaib" can be transfered nicely to us. A breakthrough in indonesia's literature. I like when knew that saman has invisible brothers or sisters..cool and made me shivering.

Pera: This book is about an activist story. the end of the story make me feel shivvering.I wonder if this story is real, because so many actvist at ORBA era has dissapeared. This book wants to say that : If you want to be an activist, you must be dare to loose everything

buku ini tentang kehidupan aktivis masa orba. endingnya membuatku bergidik...apakah kisah ini juga memang benar-benar ada?.Membuatku terbayang dengan sekian banyak aktivis yang hilang. buku ini seolah berkata: jika jadi aktivis, bersiaplah untuk kehilangan segalanya.

Ira: 1st book that has Led me to a wilder imagination :) -www.iralennon.blogspot.com

Floe: Jd binun,kpn nge add novel ini ya ? perasaan baru beli deh.... hehehe.......Gara2 bis minum panadol nih... 'Sudah lupa tuh' yg pasti jd beli,gara2 rekomndasi dr qui,jd penasaran pengen baca... Sek yo.... tak baca dulu....

Mina: Tentang Saman, dan persinggungannya dengan 4 sahabat Laila, Cok, Yasmin, dan Shakuntala. Well, tepatnya dengan Yasmin sih. Dengan latar belakang masa Orde Baru lengkap dengan penculikan dan penangkapan para aktivis. Yang berkesan padaku justru kisah cinta Laila dan Sihar yang menyebalkan. Padahal aku gak suka kisah cinta.

Desni: suka bgt sm gaya ceritax yg blak2an...menarik mengikuti kisah 4 cewe bersahabat tp ternyata punya sisi kehidupan yg tersembunyi salut sm saman (mantan romo) yg mw berjuang tuk rakyat kecil...n cintax buat upik...

John: The story of an Indonesian activist told by a young female Javanese expat living in NYC and working for a human rights NGO. The writing is evocative, even sensual at times, and despite some rough edges it manages to paint a very convincing and fairly tragic picture of poor rural Indonesian communities being exploited and killed under the nose of a numb, corrupt state.

Against this setting, Saman, a former priest, stands up for a small community being violently pressured to sign over their lands to a new palm oil plantation. He is then captured, imprisioned and tortured, and manages to escpae. Saman's moral, political and philosophical digressions make for engaging reading, as does his sexual "awakening" later on. Sex, actually, playes a larger role in this novel than I would have suspected, putting in pretty stark relief the intense sexual repression in Indonesian society, particularly the smaller and more rural ones

Lasse: The first book by an indonesian writer I have ever read. I have to admit that I'm still a bit puzzled about the meaning and the symbols in it, but as I kept thinking about it and read more about the reactions this book provoced, I realized that it's a very brave book. Sexuality, religious conflicts, the effects the Transmigrasi policy in the 70s, friendship, love, everything is brought up here. It is both, the story of the main characters of the book and their moving fates and a reflection about Indonesia. I'll definately read it again later in my life because it still captivates me somehow, even though I can't exactly say why. One thing is for sure: It is an interesting story and the discussions this book unleashed make it worth reading