Tampilkan postingan dengan label Novel 2009. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Novel 2009. Tampilkan semua postingan

Bedah Buku [sederhana] The Host Karya Stephenie Meyer #1

Minggu, 17 Februari 2013



I

            Buku ini terbitan tahun 2009. Waktu itu saya nyaris meminjam TH dari seorang kawan bernama RS. Dua halaman pertama dan saya langsung bosan. Saya telah mendengar tentang Twilight Saga tapi belum menonton film dan membaca bukunya. Tahun 2012 baru saya membeli Breaking Dawn dan menonton semua film Twilight Saga. Ketertarikan saya pada TH berawal dari betapa seringnya saya mengunjungi Gramed dan melihat TH dipajang dengan begitu mencoloknya. Jika buku lain tidak, tapi karena TH memiliki mata, jadi seakan sebuah foto yang matanya terus mengikuti kemanapun kita pergi. Saya penasaran. Jadi kalau saya punya Breaking Dawn dan sudah menonton Twilight Saga berulang-ulang, kenapa tidak membeli yang satu ini? Harganya nyaris Rp 100.000. Itu lumayan mahal tapi untuk buku sebesar dan penulis sekalas Meyer, bolehlah, hitung-hitung buat koleksi. Butuh empat tahun untuk meraih kesuksesannya kembali, berkat difilmkannya Twilight Saga, TH menjadi buah bibir. Tapi tidak banyak yang membeli buku tebal dan mahal ini, sama seperti The Casual Vacancy. Apakah penggemar Meyer di daerah Bogor begitu sedikitnya, ataukah mereka sudah terlanjur menonton cuplikan filmnya dan yakin akan menontonnya kelak. Jadi TH fenomenal, popular, terkenal, tapi tidak laris di Bogor.
            “Apa manfaat kepopuleran sebuah buku tanpa embel-embel laris?”
            “Mungkin bukan uang yang dibutuhkan?”
            “Jadi?”
            “Sebuah konsep berpikir di dunia yang modern.”
            “Apa?”
            “New Age. New World Order.”
            “Kok bisa?”
            “Mari kita lihat satu persatu.”
            [Dan Anda harus tahu ini hanya spekulasi saja. Sama seperti spekulasi saya mengenai Pengakuan Eks Parasit Lajang, Harry Potter dan The Casual Vacancy. Bisa saja benar, tapi bisa saja salah. Dan jika benar, kebenarannya hanya sedikit. Semuanya kembali pada pengakuan dari penulisnya sendiri: apa sih sebenarnya maksud dia menulis bukunya itu? Kita hanya bisa menebak.]
           
            Cover depan dan cover belakang. 100 halaman pertama TH saya baca dalam keadaan tidak nyaman, merasa diperhatikan, diintimidasi. Kenapa? Ada seseorang yang senantiasa mengawasi, melihat dengan mata. Bukan dua mata tapi sebelah mata, seakan meremehkan? Ingat, dipandang sebelah mata? Tapi ini bukan hanya dipandang sebelah mata. Ini dipandang sebelah mata, yang kiri, bukan yang kanan. Dari kisah di dalamnya, saya kira sebelah mata kiri yang memandang ini punya Melanie Stryder dan kemudian disisipi menjadi Wanderer, yang punya banyak nama selain itu. Alias, alias, alias. Aka aka aka. Seakan teroris yang punya banyak KTP, banyak identitas, banyak nama?
            “Apakah kita yakin itu mata seorang Melanie/Wanderer?
            “Siapa lagi memangnya?”
            “Bagaimana kalau mata itu bukan mata perempuan?”
            “Kenapa?”
            “Jaraknya terlalu dekat sehingga kita tidak pasti.”
            “Jarak dekat yang member efek dramatik, intimidatik, dan fokus pada mata kiri saja.”
            Saya mulai bertanya-tanya, alasan apa Meyer memasang cover sebelah mata kiri ini padahal Melanie disisipi jiwa Wanderer dan matanya berubah tampak seperti cincin perak. Dua-dua matanya, perlu dicatat. Bukan sebelah kiri saja. Berbeda halnya jika sebelah mata milik Mel dan sebelah milik Wanda. Ada sesuatu yang hendak ditonjolkan.
            “Apa itu?”
            “Mite intimidatif. Mata Horus.”

Dalam hadits Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Artinya : Dajjal itu buta matanya sebelah kiri dan lebat rambutnya. " [Shahih Muslim. Kitabul Fitan wa Asyrothis Sa'ah, Bab Dzikrid Dajjal 18: 60-61].
Dalam hadits Anas Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Artinya : Dan di antara kedua matanya termaktub tulisan "kafir" [Shahih Bukhari, Kitabul Fitan, Bab Dzikrid Dajjal 13: 91; dan Shahih Muslim, Kitabul Fitan wa Asyrothus Sa'ah, Bab sa'ah, bab Dzikrid Dajjal 18: 59].
Dan dalam satu riwayat disebutkan: "Kemudian beliau mengejanya -kaf fa ra- yang dapat dibaca oleh setiap muslim. " [Shahih Muslim 18: 59]. Dan dalam satu riwayat lagi dari Hudzaifah: "Dapat dibaca oleh setiap orang mukmin, baik ia tahu tulis baca maupun tidak. "[Shahih Muslim 18: 61].
            Horus adalah sosok dewa yang berhubungan dengan matahari. Ia merupakan putra dari Isis dan Osiris. Horus adalah salah satu dewa paling penting dalam agama Mesir Kuno, ia dipuja sejak kurun pra-dinasti hingga masa Yunani dan Romawi. Dalam pantheon Mesir, Horus dipuja sebagai dewa langit, dewa perang, dan dewa pelindung.


Berbagai bentuk perwujudan Horus tercatat dalam sejarah tetapi dianggap sebagai dewa-dewa berbeda oleh Egyptolog. Bentuk perwujudan paling awal dari Horus adalah Rajawali yang merupakan dewa pelindung Nekhen di Mesir Atas dan juga merupakan salah satu dewa nasional pertama Mesir. Dewa ini secara khusus dikaitkan dengan raja firaun yang ketika hidup dianggap sebagai manifestasi Horus di muka bumi dan sebagai Osiris ketika sudah wafat.




Mata Horus merupakan simbol mistik dari kekuatan gelap yang bermakna ‘Maha Tahu’ dan ‘Maha Melihat’. Biasanya ia dilukis dalam hieroglips (Tulisan Mesir kuno) di dinding-dinding Piramid.



All seeing eye, istilah ini berarti “mata yang melihat semua,” yaitu sebuah mata (mata Iblis) yang melihat segala sesuatu terutama untuk melihat dan mengontrol semua manusia di dunia ini. Iblis suka meniru apa yang Allah kerjakan dan all seeing eye juga adalah tiruan Iblis yang diambil dari lambang supreme being-nya bangsa Israel, namun agak berbeda sedikit dimana mata yang sebelumnya ada dua (sepasang) sekarang menjadi satu mata saja. Ke-Maha Melihatan Tuhan dan kepercayaan bangsa Israel bahwa mereka adalah biji mata Allah ditiru oleh Iblis. Sebab Antikristus hendak membuat dirinya menjadi “maha melihat” dengan membuat sistem kontrol global pada dunia ini.


Mata yang Iblis gunakan diambil dari mata kepercayaan orang Mesir kuno yang bernama Horus (eye of Horus). Dalam mitos Mesir diceritakan bahwa pada waktu Horus bertarung dengan Seth-dewa gurun, badai dan kekacauan- salah satu matanya terluka parah, yang kemudian disembuhkan oleh Isis ayahnya. Namun sejak ia menjadi dewa langit mata Horus dianggap mewakili Matahari pada mata kanannya dan bulan pada mata kirinya. Mengapa bulan ? karena mata kirinya pernah terluka sehingga menjadi lebih redup dibanding yang satunya. Oleh sebab itu Iblis menggunakan mata kanan Horus/matahari (Ra) sebagai lambang ke-maha melihatan versi Iblis. Sedangkan segitiga adalah tiruan dari tritunggal Allah (Allah Bapa, Yesus Kristus, dan Roh Kudus) menjadi tritunggal Iblis diakhir jaman : Lucifer, Antikristus, dan Nabi palsu, yang memandang dan mengawasi seluruh dunia. 


Terlepas dari pemaknaan atas Mata Horus [setiap kebudayaan berbeda-beda, dan penghayatannya pun pasti berbeda-beda, meskipun symbol yang dipakai sama], bukan baru kali ini saja symbol ini “kelihatan” dalam buku dan juga film [film TH akan rilis Maret mendatang]. Bisa kita perhatikan pada The Lord of The Ring dimana ada menara dengan sebuah mata yang menyorot bagaikan mercusuar, Sang Mata, yang jahat dan mempengaruhi Frodo Baggin secara fisik. Sesuatu yang jahat. Apakah ini juga mengacu pada Menara Eiffel dan menara-menara masonik lainnya?
Saya kemudian bertanya-tanya lagi, apakah Stephenie Meyer [St dan Meyer adalah ciri khas penamaan seorang Yahudi atau berdarah Yahudi, apapun agama dan kebangsaannya sekarang] hendak mengatakan pada dunia bahwa seseorang atau sesuatu sedang mengawasi kita dari suatu tempat? Bukankah itu sangat mengintimidasi, menakutkan? Mengawasi untuk apa? Sekalipun tidak bermaksud apa-apa, TH telah berhasil menakuti saya, dan mungkin banyak orang diluar sana, yang lewat di sebuah toko buku dan terkejut karena sebuah mata yang sangat besar sedang memperhatikannya.
“Tapi juga mungkin Meyer hendak bikin sensasi.
“Supaya bukunya laris atau terkenal?”
“Seseorang biasanya meminjam symbol terkenal untuk mendongkrak sesuatu.”
“Semoga hanya itu maksudnya.”

Review Tokyo (The Devil Of Nanking)

Jumat, 21 Desember 2012




Tokyo (The Devil Of Nanking)
by Mo Hayder, Rahmani Astuti (Translator)


1937. Tentara Jepang melakukan pembantaian besar-besaran di Nanking saat mereka melakukan invasi ke China. Mereka melakukan pemerkosaan, perampasan, pembakaran, serta eksekusi terhadap tawanan perang dan penduduk sipil. Ini merupakan peristiwa paling tragis yang dialami bangsa China. Karena kekejamannya di Nanking, seorang letnan Jepang bernama Junzo Fuyuki mendapat julukan yanwangye—si Iblis.
1990. Fuyuki menjadi pemimpin sebuah geng Yakuza. Ia dipercaya biasa menyantap daging manusia agar tetap sehat dan panjang umur. Fuyuki selalu didampingi oleh tangan kanannya, Suster Ogawa, yang dijuluki Jahanam Saitama karena kesadisannya. Suster Ogawa telah menjadi mitos di dunia bawah tanah Jepang.
Shi Chongming, profesor di Universitas Todai, beserta Grey, seorang mahasiswa dari London, bekerja sama untuk mengungkap rahasia Fuyuki dan Pembantaian Nanking. Ketika satu per satu fakta terungkap, Grey berada dalam bahaya karena telah membangunkan kembali Iblis yang pernah merajalela dalam tragedi di Nanking dahulu...

496 halaman
Dastan Books 2009

Sybill: I just finished listening to The Devil of Nanking. Because it is about Japanese atrocity in Nanking during WWII, it is not surprising that the theme is the terrible things humans do to others. It is perhaps surprising that it is more about the terrible things we do to ourselves. It is hard to review this without spoilers. The story unfolds small bits at a time. The pacing is excellent with the story moving between a young mentally scarred English woman and an elderly Chinese scholar. Their stories intertwine with poignancy, raw emotion and grace. I think I this book will stick with you long past the end.

Samantha: This book centers around the Nanjing Massacre that has happened a long time ago. In thsi book, an Englishwoman named Grey comes to Japan to look for a document or footage the captures the horrifying event of the Nanking massacre. This book literally broke my heart because of the gruesome things the Japanese soliders had done to many of the Chinese civilians/people. They raped them in the streets and murdered thousands of people. I think many people should be informed about this genocide which is a mass murdering of many people because we need to make sure that history does not repeat itself- even though it has known to do so. This book brings out the horrors of humanity and I would reccommend this book to the young adults and mature age group.

Kathrina: I can't stand to read a thriller that contains nothing more than a bag of cheap tricks the author must construe a plot around, so I read mass market thrillers with a huge degree of trepidation. I want to be compelled, not manipulated. Hayder hits the mark; she's intelligent, does her homework, and writes with dexterity and skill. She's woven a contemporary mystery that runs sidelong with an historical atrocity, and both are compelling and thrilling. As far as I can tell, this is her only novel with an Asian setting (too bad, because she's very knowledgeable, having lived in China for a portion of her life), but I'd be confident enough in her skill to try one of her British settings, just because I like her style.

Teresa: "Tóquio” é um livro que me manteve em permanente angústia durante toda a leitura.
É baseado num episódio da história da humanidade – o massacre e tortura de milhares de chineses, pelo exército imperial japonês, durante a invasão da cidade de Nanquim, em 1937. A acção desenrola-se, capítulo a capítulo, entre a cidade chinesa e Tóquio 50 depois, onde encontramos Grey, uma jovem inglesa, que procura um filme que relata um episódio do massacre.
É um livro muito bem escrito e muito complexo, que expõe o lado mais negro do ser humano, até dos inocentes.
O final é inesperado e avassalador. Não é fácil de ler. Até porque fala de amor: “...sempre foi para mim claro que o coração humano se vira do avesso para pertencer a alguém, que tenta aproximar-se do primeiro e mais próximo afecto...”

Veronika: Haunting... gave this book 4stars because I couldn't put it down...it had a good transition between wartime Nanking & present day Tokyo...I will say that the "magic elixir", once I found out what it was, gave me nightmares days after I finished the book. I will not be able to read it again, and really can't find myself recommending the book because the nature of the massacure in Nanking bothered me so much. It bothered me the most when I kept thinking that really could have happened. Even though the characters are fiction, the war was not...the massacure was not....I guess the evil that man can inflict on each other will never cease to amaze me.
If you have lost a child, I strongly recommend you NOT READ THIS BOOK!!! It has haunted me for days....I can not even begin to describe the horrors inflicted....
However, like I said, I did give it 4stars because it was a well told story, that had my heart racing and on the edge of my seat.
 





Review Konser

Senin, 06 Agustus 2012

Konser

by Meiliana K. Tansri

Fajar, pianis andalan Simfoni Bintang, sangat berambisi mengadakan konser tunggal. Sayangnya, dari segi finansial sangat tidak mungkin. Karena itu dia merasa seperti mendapat durian jatuh ketika Elise, putri seorang konglomerat, jatuh cinta padanya. Mereka pun menikah: Elise yang mencintainya dengan sangat tulus, Fajar yang berharap mertuanya akan membiayai konsernya.

Namun skenario Tuhan berjalan ke arah lain. Setelah menikah, Fajar menemukan cinta sejatinya di orkestra tempatnya bekerja. Gadis belia itu, Kirana, datang dengan keluguannya yang memesona, dengan gesekan biolanya yang menjadikannya bintang simfoni sekelas Fajar dalam sekejap.

Fajar pun bimbang, dia ingin meninggalkan istrinya, melupakan konser yang sudah di ambang mata, demi mengejar cintanya pada Kirana. Namun Elise tahu dan tidak rela melepas suaminya. Dia bertekad mempertahankan rumah tangganya, walaupun berarti mengorbankan nyawanya sendiri....

Gramedia Pustaka Utama 2009

Thesunan: "Do not pray to marry the one that you love, but to love the one that you marry."
"— Spencer Kimball

novel ini bercerita tentang Seorang pianis muda bernama Fajar, yg menikahi seorang anak konglomerat, menikah bukan karena cinta, menikah untuk memenuhi ambisi pribadinya, agar mertuanya mau membiayai konsernya.

pernikahan tanpa cinta tetap saja sebuah pernikahan, ada komitmen yg mesti dijaga dan dijunjung tinggi, saya gak akan terlalu jauh membahas tentang pernikahan, karena saya belum pernah mengalaminya. Seseorang di asa lalu saya yg sekarang sudah menikah, pernah bilang "marriage is not always about love, it is about acceptance". Kalo tidak bisa cinta cobalah menerima apa adanya pasangan kita.

Fajar tokoh utama di novel ini tidak mencintai istrinya dan tidak bisa menerima istrinya apa adanya, padahal istrinya (Elise) sangat mencintai Fajar. malah Fajar menemukan cinta sejatinya di orkestra tempat dia bekerja. Kirana nama gadis itu yg bisa mendapatkan cinta Fajar. Fajar pun tergoda oleh keluguan Kirana yang mempesona dan menguaplah sudah komitmen yg dibuat pada waktu dia menikahi Elise. Cinta datang menghampiri Fajar disaat Fajar sudah menikah dengan Elise.

Elise, begitu besar cintanya terhadap Fajar, dia tidak rela melepas suaminya. Dia bertekad mempertahankan rumah tangganya bersama Fajar walaupun berarti mengorbankan nyawanya sendiri.

begitu banyak di dunia ini orang2 seperti Fajar dan Elise, orang seperti Fajar yg menikah tanpa cinta tapi demi ambisi pribadi, saya yakin orang seperti fajar ini suatu saat merasa 'kosong' di dalam dirinya dan butuh siraman cinta (aduh bahasa gw, njiji'i) dan sayangnya cinta tadi datang bukan kepada istri nya, tapi kepada orang lain dan orang di posisi Elise lah yg akhirnya tersakiti.

ah., mudah2an saya tidak termasuk kepada golongan Fajar dan Elise..
-kuningan 05022010 disaat hujan rintik2. seseorang yg sedang galau
nb : di novel ini juga saya jadi tahu ternyata ada biola bernama stradivarius yg harganya sangat mahal dan bernilai sejarah tinggi serta ada juga biola bernama Guarneri

Niratisaya: Terus terang saja, saat pertama kali menemukan novel ini di antara tumpukan novel2 new arrival, saya tidak jatuh cinta pada sinopsis yang ada di back cover. Sebaliknya, saya dibuat jatuh cinta oleh covernya yang sederhana: piano yang dipotret sebagian, tanpa satu tokoh manusia yang terpotret di sana, meskipun cerita ini tidak melulu tentang konser ataupun kehidupan seluruh anggota pemain orkestra. Sebelum saya memulai review, ijinkan saya memasang sinopsis yang ada di bagian belakang sampul:

Fajar, pianis andalan Simfoni Bintang, sangat berambisi mengadakan konser tunggal. Sayangnya, dari segi finansial sangat tidak mungkin. Karena itu dia merasa seperti mendapat durian jatuh ketika Elise, putri seorang kkonglomerat, jatuh cinta padanya. Mereka pun menikah: Elise yang mencintainya dengan sangat tulus, Fajar yang berharap mertuanya akan membiayai konsernya.

Namun skenario Tuhan berjalan ke arah lain. Setelah menikah, Fajar menemukan cinta sejatinya di orkestra tempatnya bekerja. Gadis belia itu, Kirana, datang dengan keluguannya yang memesona, dengan gesekan biolanya yang menjadikannya bintang simfoni sekelas Fajar dalam sekejap.

Fajar pun bimbang, dia ingin meninggalkan istrinya, melupakan konser yang sudah di ambang mata, demi mengejar cintanya pada Kirana. Namun Elise tahu dan tidak rela melepas suaminya. Dia bertekad mempertahankan rumah tangganya, walaupun berarti mengorbankan nyawanya sendiri….***Seandainya saya membaca sinopsis itu lima tahun yang lalu, jantung saya akan berdebar-debar dan dengan impulsif akan langsung mengambil novel yang masih mengusung tema abadi (tentang cinta) ini, tapi tidak. Mengandalkan intuisi, saya akhirnya memutuskan untuk mengambil novel ini dan memasukkannya ke dalam tas belanja.

Dan syukurlah, karya Tansri ini memang tidak mengecewakan saya. Awalnya, tentu saja seperti cerita dan film lainnya yang pernah saya tonton, cerita berjalan dengan lamban…umum dan mudah ditebak. Tapi beberapa kali intuisi saya terpatahkan oleh beberapa twist yang dibuat oleh Tansri—yang kebetulan saya suka. Bahwa perempuan tidak melulu hidup dengan romantismenya, bergantung pada debaran hatinya, tapi juga dengan logis. Keyakinan bahwa dia bisa memilih.

Mengenai karakter….jujur, saya tidak dibuat langsung jatuh hati dengan karakter karangan Tansri, sampai akhirnya saya membaca kedua kalinya dan menemukan indah alunan cerita yang disampaikan oleh keempat karakter. Cinta yang terlarang antara Fajar dan Kirana, api cemburu dan cinta yang dikobarkan Elise, serta kesepian Sastro.

Sebenarnya apa arti cinta? Apakah sebatas debaran dan hasrat? Sebatas rasa kepemilikan yang mewujud dalam cincin yang melingkar di jari manis? Benarkah cinta akan selalu selaras dan sejalan dengan kesetiaan?

Silahkan temukan dalam novel karya Tansri ini.

Mery: Why did they fallin love with person that they should never fallin love with?

Bintang 4 dari aku.

1. Untuk Sinopsis yang mengecoh ;DKalau kita baca sinopsis, pasti kita berpikir "waah tokoh utamanya laki-laki, si Fajar."Ternyata sudut pandang yang diambil bukan hanya sisi Fajar, tapi juga Kirana.

2. Untuk tokoh Kirana yang kuat di balik kerapuhannya :)Gadis belia yang punya bakat luar biasa. Pemain biola. Yang secara tidak sengaja jatuh cinta pada Fajar, lelaki 18 tahun lebih tua dari dia.Kirana kehilangan ayahnya yang meninggal karena kecelakaan beberapa tahun lalu. Bisa jadi sosok Fajar adalah sosok yang mirip dengan ayahnya, sehingga Kirana jatuh cinta padanya.

3. Untuk penyajian cerita mengenai konser. Musik klasik. Dan Alat-alatnya =))Jujur saja, aku gak suka tokoh Fajar :P
pengen cincang-cincang tuh manusia. Pengen lempar buku kalo baca bagian dia. huahahaadegan paling merinding pas duet. :)
terasa banget kayaknya tuh lagu dilantunin bersamaan piano dan biola. :DDuh jadi pengen memiliki Antonio.... *buat pajangan doang*Di rumah ada 2 biola punya adik aku, sayangnya bukan Antonio. =))jenisnya pun beda.... :P
DAN
Hei, aku gak butuh otak prima loh buat bisa mengerti isi konser dan musik klasik ini walau aku buta dengan beginian, bahkan belum pernah ke konser musik klasik :P

Sakura: aku teringat saat membeli buku ini, hendak membayar komik dan ayah bertanya, "kamu nggak beli novel?" berarti aku boleh beli karena itu aku tidak melewatkan kesempatan itu. tiba-tiba mataku langsung tertuju pada novel ini. langsung saja aku beli setelah melihat review-nya. dan aku terkejut mengetahui bahwa ini adalah novel Indonesia. novel ini adalah novel pengarang Indonesia pertama yang kubeli. and I don't regret to bought this novel. (and I just have one day to finish it)