Tampilkan postingan dengan label Ayu Utami. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ayu Utami. Tampilkan semua postingan

Bedah [Sederhana] Buku Pengakuan Eks Parasit Lajang Karya Ayu Utami #1

Kamis, 14 Februari 2013





Bedah [Sederhana] Buku
Pengakuan Eks Parasit Lajang
Karya Ayu Utami
I

Tujuh tahun yang lalu, sewaktu saya tanpa sengaja mengambil sebuah buku dari rak perpustakaan Wisma Ordo Religius CICM, di Jalan Gotong Royong, Jakarta Timur, saya tidak pernah menyangka akan membaca lagi karya Ayu Utami [setelah itu saya harus menunggu dua tahun untuk bertemu secara tidak sengaja dengan Saman milik Antonius Padua Djuwa dan Dee Berliana] yang kemudian saya putuskan untuk mengoleksi buku-bukunya [kecuali Soegija] dengan alasan yang saya sendiri tidak mengerti: banyak gambar di dalamnya.
Bersama Dee Berliana [saya akan menyingkat namanya menjadi DB], sayang pun mulai memantau pergerakan buku-buku Ayu Utami [yang kebetulan di tahun 2012 meluncurkan Cerita Cinta Enrico, yang merupakan bagian dari Trilogi otobiografi sang penulis sendiri] baik di twitter maupun di toko buku. Karena menyukai cara bertutur Ayu Utami dalam Cerita Cinta Enrico, saya pun menunggu dengan tak sabar kapan buku ketiganya akan diluncurkan, dan dipajang di rak toko buku. Saya bertanya pada Ayu Utami lewat twitter [inilah perbedaan penulis ini dan penulis lainnya] dan ia dengan senang hati menjawab saya.
            “8 Februari akan tiba di toko buku.”
            “Terima kasih atas infornya, Mbak @BilanganFu”   
Kesibukan membaca The Host karya Stephenie Meyer, Cerita Di Balik Noda karya Fira Basuki dan Bliss karya Kathryn Littlewood [lihat betapa perempuan sangat produktif dan merupakan penyumbang terbesar dunia sastra modern; apakah tanpa sadar saya membeli buku yang ditulis seorang perempuan?] membuat saya melupakan penantian hadirnya buku terakhir Trilogi otobiografi seksualitas dan spiritualitas pertama di Indonesia ini. Hari itu saya berangkat pagi-pagi sekali ke Jakarta, tanggal 10 Februari 2013, Imlek, sebab salah satu Oma saya seorang Tionghoa. Mendung. Saya diantar paman dan bibi saya yang baik hati sampai ke Stasiun Kereta Tebet. Semuanya normal. Tidak ada yang berbeda bagi saya di Imlek kali ini, selain bahwa saya tidak bisa berbicara bahasa Mandarin meskipun belajar dari bertumpuk-tumpuk kamus pintar [apakah saya bodoh?].
            “Saya sedang di Botani Square. Di Gramed,” begitu bunyi pesang singkat yang masuk ke ponsel Nokia tua saya [tidak ada kamera, tidak ada radio, bahkan hanya punya tiga game yaitu: Catur, Sodoku dan Ular.
            “Sudah lama di situ?”
            “Baru sampe. Tadi makan dulu.”
            Entah kenapa saya berharap DB tidak makan di restoran berlabel asing. Mungkin saya sedang kesal karena kereta penuh, dan dua pemuda di depan saya ini terus mengoceh seperti berlatih akting. Kereta sering tersendat, berhenti sebelum sampai ke stasiun [tanggung banget] dan diluar hujan pula. Bogor pasti lebih besar tiga kali lipat dari Universitas Indonesia atau Depok Lama. Barangkali saya sedang kesal karena di hari Minggu masih harus bekerja dua jam lagi setelah tiba di Bogor nanti, sementara itu, orang-orang sepertinya asyik membicarakan rencana jalan-jalan mereka, memacetkan dan mengotori Bogor [seperti syair lagu yang sering dinyanyikan pengamen di angkot Bogor akhir-akhir ini, tentang segala sesuatu yang khas Bogor namun sekarang menghilang entah kemana].
            “Masih mau lama?” Sebab saya sangat ingin melihat-lihat buku bersama DB. Kebersamaan melihat-lihat buku baru di toko buku adalah kegiatan paling romantik bagi saya, hanya bisa dikalahkan oleh momen dimana saya memegang payung ketika kami menunggu angkot di pinggir jalan, hujan sedang turun.
            Tapi DB tidak menjawab dengan relevan. “Ada tiga cover baru Agatha. Dia memang mengoleksi novel-novel Agatha Christie dengan cover baru yang terkesan kontemporer [abstrak] itu.
            “Wah, bagus.”
            “Tahu nggak? Pengakuan Eks Parasit Lajang sudah ada. Saya beli buat kamu.”
            Apakah ada yang lebih romantis dari pada dua orang berlaianan kelamin yang saling memberi dan menerima buku yang mereka tahu pasangan mereka sukai? Saya menjadi lebih sabar di dalam kereta meski lengan telah pegal bergelantungan mirip paha sapi di pasar daging. Sampai Stasiun Bogor, hujan gerimis, beruntung. Tapi manusianya minta ampun. Koridor 1, 2, 3, dan 4 ditutupi manusia, dari bayi sampai jompo. Menariknya, tidak banyak Tionghoa di antara mereka. Nah, siapa yang hari raya, siapa yang liburan? tanya saya dalam hati. Tapi tahukah kamu bahwa inilah salah satu bentuk toleransi beragama di negeri ini yang sangat saya banggakan? Merangsek pelan-pelan, akhirnya sampai juga di pintu keluar. Menyerahkan karcis lalu berjalan dengan gegas menuju tempat angkot 03 ngetem. Pagar-pagar itu bagai penjara. Saya naik ke sebuah angkot 03 yang masih kosong dan tak berapa lama, bangkunya segera penuh. Bogor gerimis, ramai sekali jalanan, tapi tidak macet parah. Inilah yang membuat saya menyukai kota kecil ini. Sempur padat merayap. Saya harus kejar jadwal. Beruntung si supir orang Padang ini memotong lewat perempatan Taman Kencana, melintasi resto-resto berkelas di belakang Hotel Pangrango [nomor berapa?]. Padat merayap di Jl. Padjajaran dari PTC sampai lampu merah [ini bisa disebut macet? Lampunya sedang merah.] Selepas itu lancer, hingga saya stop di Giant Padjajaran, minta diantarkan ojek ke Padjajaran Regency. Saya turun, langsung membayar Rp. 8.000 dan mengelos pergi karena sudah telat dari janji kerja sebelumnya.
            “Bang!”
            Tukang ojek itu memanggil sambil tertawa.
            “Kurang ini, Bang!”
            Ha? Saya nyaris membuka mulut lebar-lebar. Dua tahun saya pakai ojek bolak-balik dengan rute yang sama, bayar Rp. 6.000 saja tukang ojek sudah berterima kasih berulang-ulang [sebab harusnya Rp. 5.000 saja] kok kali ini dia merasa kurang? “Saya biasa bayar begitu, Bang.”
            “Harusnya sepuluh ribu, Bang.”
            “Ah, saya sering dari kompleks sini ke Giant bayarnya enam ribu, bahkan.”
            “Tapi ojek Giant lain, Bang?”
            Ha? Apa bedanya ojek yang di sini dan yang di depan Giant? Rutenya sama. Tapi saya karena tidak mau berlama-lama, mengeluarkan Rp. 10.000 lalu menyodorkan kepada tukang ojek yang nyengir itu. Saya ambil Rp. 8.000 lalu bergegas pergi tanpa tersenyum padanya. Dia memutar setir dan cabut, mungkin sambil tertawa girang karena berhasil membohongi saya. Tidak akan pernah saya pakai jasa ojek di depan Giant itu lagi, kata saya dalam hati, tidak akan lagi. Bagaimana bisa orang hidup dari jasa tapi menipu pengguna jasa secara terang-terangan? Kasihan sekali tukang ojek itu.
           
II

            Enam kurang sepuluh menit saya keluar dari kompleks Padjajaran Regency. Saya pakai ojek di pangkalan langganan saya [di sini saya kasih Rp. 7.000 tukang ojek-nya bersyukur setengah mati] dan meminta berhenti jauh dari pangkalan ojek depan Giant. Saya tidak ingin melihat wajah tukang ojek penipu tadi. Saya menyeberang ke Giant, melewati Gramedia dan meluncur terus ke swalayan ADA. Kekasih saya sudah menunggu di sana, sedang melihat-lihat pinsil yang lucu-lucu di lantai dua. 
            “Makan dimana?”
            “Pakuan,” jawab saya riang.
            Lima belas menit perjalanan dengan angkot. Kami tiba di Pakuan, masuk ke rumah makan langganan kami. Pemilik rumah makan itu, lelaki Padang tambun, sedang menonton Barcelona versus Getaffe. Kedudukan 1:0. Ah, saya penggemar Madrid. Tapi saya menonton juga sambil makan. Saat jedah istirahat setengah main, DB mengeluarkan bungkusan dari tasnya.
            “Ini.”
            Dikeluarkannya satu persatu buku. Dan Cermin Pun Reta, Pembunuhan Atas Roger Ackroyd  dan Kubur Berkubar karya Agatha. Yang paling akhir dikeluarkannya Pengakuan Eks Parasit Lajang. Saya menatapnya, pura-pura tidak kegirangan, makan sambil melirik ke layar televisi, mendengar komentator bicara sok tahu [memang tugas mereka untuk menjadi sok tahu ya?].
            “Tumben Imlek hujannya nggak gede.”
            Saya tidak terlalu mengerti soal femomena ini. “Gitu ya?”
            “Kan tahun naga air?”
            “Biar dia semburkan api saja,” ujar saya berusaha melucu.
       Kami berpisah di pintu masing-masing. DB pasti langsung tidur. Saya akan mandi, menyetrika pakaian lalu membaca The Host atau Bliss. Tapi kira-kira pukul satu subuh saya tak tahun untuk tidak membuka bungkus plastik Pengakuan Eks Parasit Lajang. Harganya Rp. 60.000 kata DB tadi. Lebih mahal dari buku sebelumnya tapi tidak terlalu mahal jika dibandingkan dengan buku-buku terjemahan [salah satu cara mencintai produk dalam negeri kan?] dari Amerika atau Eropa.

III

         Saya senang menghubungkan Ayu Utama dengan sesuatu yang esoterik sejak saya membaca Saman dan banyak buku karyanya lainnya. Yang paling menggugah saya adalah Manjali dan Cakrabirawa kemudian dilanjutkan dengan Lalita. Ada kesan Ayu Utami menarik lingkaran esoteriknya lebih besar, keluar, menjangkau ke Eropa. Terbukti bahwa cover Manjali dan Cakrabirawa memiliki sebuah gambar semacam piramida yang belum selesai [Masonic?] yang kelihatannya juga mirip piramida-piramida yang terdapat di Amerika, bukannya di Mesir. Jadi ketika saya melihat harganya Rp. 60.000, otomatis saya langsung terhubung dengan konsep Mason, betapa pentingnya angka 6 itu. 600, 60, 6=666. Tapi ini hanya spekulasi, seseorang bisa menulis sesuatu diluar kesadarannya akan konsep sebuab angka dan inisial. Atu apakah Ayu Utami sama halnya Dan Brown, yang “suka” pada konsep-konsep esoterik Masonik? Siapa yang tahu? Dan ini tentu tidak salah, bukan berhala dan sesat. Ini hanya konsep untuk membangun dunia yang lebih baik, terlepas dari konspirasi yang beredar di luar sana.
         Saya sering mengkeramatkan buku karya Ayu Utami sejak saya membaca Saman pada tahun 2007. Dan itu berlaku pula pada Pengakuan Eks Parasit Lajang. Jadi saya tidak terburu-buru membuka-buka lebarnya tapi melihat-lihat covernya dulu. Cover yang menarik dengan bingkai putih yang belum pernah tampil pada cover buku Ayu sebelumnya. Gambar pada cover depan langsung mengingatkan saya pada tampilan ikon Maria di Guadalupe [orang Katolik pasti langsung engeh]. Namun bagi saya agak menyeramkan karena wajah Ayu tidak diwarnai secara jelas seperti dalam foto-foto. Lalu semacam magma/lava yang membingkai tubuh Ayu tanpa lengan dan kaki. Pita bertulisan yang menutupi payudara dan areal di bawah perutnya sangat artistik dan menggelitik, namun juga mengingatkan saya akan karya seni jadul yang menggunakan tali berpita ini [sekarang jarang sekali digunakan, dianggap sudah kuno, seperti halnya teknik mencuci foto yang dikatakan Lalita]. 
      “Saya teringat pita yang dicengkeram Burung Garuda, bertuliskan Bhineka Tunggal Ika. Juga pita bertulisan pada lambing sekolah Horgwarts”
         Kekasih saya hanya tersenyum.
        Ada tujuh bintang di sekeliling Ayu. Jika dibandingkan ikon  Maria di Guadalupe, telah banyak variasi untuk ikon ini, namun jumlah bintangnya jauh lebih banyak [ada yang 50 buah] dan kaki Maria seperti menginjak bulan sabit atau sebuah tatakan yang kelihatan seperti tanduk banteng, yang dipikul oleh seorang malaikat kecil [cupid?].


        Kemudian sebagian besar cover depan didominasi oleh warna suram yang menurut saya seperti pola-pola ukiran bunga tak beraturan pada sebuah dinding batu. Mengingatkan saya akan kisah Lalita mengenai pahatan pada tingkatan Borobudur. Cover belakangnya sendiri tidak mengejutkan karena di beberapa buku lainnya pun Ayu memasang fotonya dengan pose [sensual, menurut DB] demikian.
            “Buku ini hebat!”
      Belum membaca saja saya sudah bilang begitu. Bukan karena saya terlalu menyanjung Ayu, tapi karena saya menganggap semua buku yang menyeratakan pembatas buku adalah buku hebat. Kenapa? Alasannya sederhana: penulisnya sangat memperhatikan pembacanya dan kelangsungan buku itu sendiri. Tanpa pembatas buku, orang akan melipat halaman dan membuat buku itu berpeluang sobek. Dan Ayu menyertakan pembatas buku di semua buku karyanya. [Saya lupa, apakah Bilangan Fu dan Lajang Parasit punya pembatas buku].
            “Wah, benar-benar menarik!”
            “Apanya yang menarik?”
            “Dimana pembatas buku itu bisa ditemukan.”
            “Maksudnya?”
            “Buka sendiri.”
           Pada halaman 87 dengan judul bab: Dosa Asal. Apakah Ayu hendak menggiring pembacanya dari konsep Dosa Asal ini? Semuanya berasalah dari Dosa Asal? Tuhan menciptakan manusia [majemuk, laki dan perempuan, sesuai gambaran Tuhan] lalu menempatkan mereka di taman yang di Eden [bukan taman bernama Eden] tapi ular, binatang yang paling cerdik dari antara semua binatang [apakah ular ini adalah penis laki-laki?] menggoda salah satu manusia, Hawa/Eva/Perempuan dan ia memberikan buah itu [kuldi/apel/apel emas/buah dada?] kepada manusia yang lain, Adam/Lelaki dan terbukalah mata mereka, menjadi berpengetahuan seperti Tuhan tapi mereka menjadi malu karena mereka telanjang dan bersembunyi. Ketika Tuhan mengunjungi kebun itu, manusia-manusia itu bersembunyi dan Tuhan tahu mereka telah melanggar peraturan. Mereka pun diusir keluar dari taman itu, Tuhan menempatkan sepasang kerub [malaikat bersayap/manusia dengan pedang api/semburan gunung berapi/sepasang naga?] untuk menutup jalan masuk menuju taman di Eden. Manusia dibuang ke tanah tandus dan mereka harus mengusahakan kehidupan sendiri, bekerja, membuat rumah, dan menghasilkan keturunan.
          “Pelanggaran Adam dan Hawa itulah yang kemudian dikonsepkan menjadi Dosa Asal, dosa yang melekat kepada semua keturunan manusia [dikhususkan kepada orang Yahudi dan Kristen?].”
            “Tidak bisa hilang?”
            “Bisa hilang dengan Pembaptisan versi Yesus?”
            “Dan perbuatan baik?”
            “Ya.”
            Selain itu, pemikiran yang kemudian berkembang adalah Dosa Asal itu bukan semata-mata pelanggaran aturan di taman di Eden, kepalabatunya sepasang manusia itu, atau memakan buah dari pohon pengetahuan, tapi lebih khusus menyangkut ketelanjangan sepasang manusia itu dan apa yang kemudian diakibatkan oleh pengetahuan itu: hubungan seks [seks bebas?]. Karena buku ini tentang seksualitas dan spiritualitas, bisa jadi Ayu ingin memberikan cara pandang yang agak berbeda dengan cara pandang umum tentang Dosa Asal dan hubungan seks [seks sebelum/di luar pernikahan resmi secara agama].

                                           IV          

            “Mari kita mulai dari satu halaman ke halaman lain.”
            Lembar ketiga, Ayu menulis begini [seperti semua bukunya, ia menulis untuk seseorang atau lebih, sebuah dedikasi?]: Untuk Ibuku yang membuatku percaya ada cintakasih. Saya bertanya-tanya seperti apa ibu Ayu? Dari kalimat Ayu di atas, saya menyimpulkan sedikit bahwa ibunya adalah wanita yang menerima Ayu apa adanya, tidak menolak Ayu, meskipun Ayu telah melakukan banyak yang yang salah. Bukankah seorang ibu selalu begitu? Pada lembar keempat, Ayu menyertakan juga sebuah keterangan singkat: Untuk Santo Agustinus yang pertama kali, 1600 tahun silam, menulis Pengakuan. Kenapa Ayu menulis ini? Saya adalah “penyuka” konsep Mason dan langsung tergerak melihat angka 1600 yang saya jadikan 600, angka yang mirip harga buku ini kan? 600, 60, 6=666 [ini hanya angka yang ditulis di Kitab Wahyu dan tidak menunjuk pada apapun selain yang dimaksud oleh penulis Kitab Wahyu sendiri, jadi tidak ada hubungannya dengan angka setan, iblis, Lucifer atau apapun].
            Saya mengenal Ayu Utama, namun nama baptisnya adalah Agustina, Santa Agustina. Menarik sekali bahwa Pengakuan Eks Parasit Lajang ini bisa dikatakan Pengakuan seorang Agustinus versi perempuan yaitu Agustina “Ayu Utami”. Sekarang semuanya jadi mudah dimengerti jika dihubung-hubungkan, bukan? Saya saja sampai terkejut dan girang bukan main, seakan saya baru saja memecahkan salah satu kode/symbol yang diberikan Dan Brown dalam salah satu bukunya tentang Robert Langdon.
            “Keren juga kalau Ayu melakukan hal yang sama.”
            “Betul juga, pembaca bisa memecahkan symbol, bukan hanya mencari jawaban dari google atau Wikipedia.”
            “Berarti Ayu sangat interaktif dengan pembacanya, sama seperti Brown.”
            “Boleh dikatakan demikian.”
            Lembar kelima berisi Daftar Isi dengan pola yang masih sama seperti beberapa buku Ayu terakhir: tiga subjudul. Menarik juga bahwa dua buku terbitan KPG dari penulis lain [Bre/Gitanyali] juga memiliki pola daftar isi yang sama. Sehingga sewaktu membeli buku Gitanyali [Blues Merbabu dan 65] saya langsung berpikir Bre plagiat gayanya Ayu.
            “Hahahaha…”
            Lembar keenam, dimulailah halaman satu, dengan Prolog.


Review Bilangan Fu

Rabu, 18 Januari 2012




Bilangan Fu

by Ayu Utami

Yuda, seorang pemanjat tebing dan petaruh yang membenci kota, sinis dan skeptis. Toh ia memiliki mimpi-mimpi intim dan ganjil yang membuat ia terobsesi pada sebuah bilangan bukan rasional bernama bilangan fu.

Parang Jati, seorang pemuda bermata bidadari berjari dua belas. Sejak pertemuan mereka, ia seolah memiliki misi untuk membuat Yuda berganti agama dari “pemanjat kotor” menjadi “pemanjat bersih”.

Persahabatan itu melibatkan mereka pada cinta segitiga dan petualangan yang menuntut pengorbanan. Di dalamnya, dengan latar pegunungan kapur di pantai Selatan Jawa, bilangan bukan rasional fu samar-samar menampakkan diri.

Kepustakaan Populer Gramedia 2008

Saya: pengakuan kepercayaan belum manusiawi...agama2 besar seakan lebih unggul n benar jika melihat aliran kepercayaan yg akarnya menjelma negri ini

Ariyati: -- akhirnya selesai juga, setelah terhenti sesaat --
alur cerita.. menarik..memainkan emosi..ada saat senang,serem2,sedih,gemes, was-was,marah,patah hati, prihatin..sampe mati rasa

Semakin lanjut dalam cerita, Bilangan Fu jadi gak terlalu penting lagi dan gak terlalu misterius, dibanding usaha Parang Jati dalam menyelamatkan pegunung karst itu dan merengkuh pihak2 yg sadar akan penting nya hal tsb.
Ini mungkin pesan yg paling penting dari novel ini.

Teori2 yg diambil dari kitab suci, babad tanah jawi etc.. jadi menambah wawasan juga meski gak semuanya bisa dimengerti..

tokoh2nya sendiri, kyknya masih seperti buku2 terdahulu..
muda, ada yg skeptis, ada yg idealis...punya hobi/profesi yg eksentrik, liberal, sembrono Yg gak penting tapi dibahas dgn detail tuh ttg mahluk2 halus..duuh paling gak suka yg ini..sumpah! ini yg bikin jadi 3bintang.
beberapa bagian diulang2, malah ada yg kalimatnya sama persis.. trus ada vagina Nyai Gulliver segala, setau aku Gulliver cowo' kan? (yg di novel Jonathan Swift..atau mungkin Gulliver lainnya). trus orang gunung kidul dibilang muka pre-sejarah..halah, bapakku ganteng, orang2 kampungnya jg lumayan2 lho! (gak terima gitu..he2x, emang rese' si Yuda)
so..menunggu novel berikutnya ;D
moga2 jagoannya gak ngisep ganja, bodo dech kalo Yuda, tapi Parang jati..aduhh, you broke my heart dear!

Endah: Setelah Saman terbit (1998) dengan segala kehebohannya, citra penulis vulgar seolah-olah melekat pada diri pengarangnya, Ayu Utami (40). Citra ini bahkan tersiar sampai ke luar Indonesia. Fakta ini baru saya ketahui kira-kira dua minggu silam dari percakapan saya dengan 6 orang teman dari Malaysia yang mengaku sebagai “ulat buku”, sebutan di negeri jiran itu untuk kutu buku. Saat mereka berkunjung ke Jakarta pada acara Pesta Buku Jakarta 2008 yang lalu, mereka emoh menuruti saran saya untuk juga membeli (dan membaca) novel-novel Ayu Utami selain tetraloginya Pram lantaran kabar yang mereka dengar buku-buku Ayu itu porno.

Citra porno yang telanjur menempel pada perempuan lajang bertubuh ramping ini juga sempat membuat teman-teman saya yang hendak membeli (dan membaca) buku ini mempertanyakan : masih sejenis nggak ya buku ini dengan Saman?

Setamat saya membaca novel setebal 500-an halaman ini, saya baru bisa mengatakan, bahwa buku ini berbeda dengan karya Ayu terdahulu, Saman dan Larung.

Bilangan Fu barangkali akan menjadi sebuah cerita yang “berat” seandainya Ayu tidak menuliskannya dengan bahasa yang gurih, sebab ia, novel ini, memuat gagasan dan kritik Ayu pada tiga hal yang dianggapnya sebagai ancaman kebebasan dan demokrasi, yakni 3 M: modernisme, monoteisme, dan militerisme. Tema yang serius, bukan? Namun, secara cerdik Ayu menyiasatinya melalui jalinan kisah dua pemuda pendaki tebing yang tampan dan cerdas: Yuda dan Parang Jati.

Kedua lelaki muda yang sehat itu menjadi simbol dan sekaligus para pahlawan di novel ini yang memerangi segala bentuk penzaliman dan penganiayaan kepada alam dan manusia. Yuda dan Parang Jati tidak berdiri berseberangan sebagai dua orang seteru, tetapi justru saling bahu-membahu menjadi protagonis melawani musuh bersama: ya 3 M itu.

M yang pertama, modernisme, menurut Ayu menjadi penyebab utama rusaknya lingkungan akibat eksploitasi manusia modern yang kelewat batas dan lupa menghormati alam. Manusia modern tak percaya lagi pada segala bentuk keramat dan cerita-cerita takhayul ihwal roh-roh halus penunggu pohon besar, sungai, gunung, dan samudera. Padahal kepercayaan pada takhayul dan keberadaan roh-roh halus yang dahulu “diimani” oleh masyarakat adat telah mampu menyelamatkan alam dari kebinasaan. Kerena percaya bahwa setiap benda dan tempat ada yang punya, mereka tak berani berlaku sewenang-wenang. Tetapi kini seiring dengan semakin lunturnya kepercayaan tersebut, semakin parahlah perusakan yang terjadi.

Kritik dan kampanye anti-perusakan lingkungan ini disampaikan Ayu dengan memilih dunia panjat tebing sebagai latar kisahnya. Yuda dan Parang Jati mengenalkan agama baru mereka : pemanjatan bersih atau yang lebih ekstrem lagi sacred climbing, yaitu teknik memanjat dengan sesedikit mungkin atau sama sekali tidak melukai tebing-tebing dengan alat-alat panjat modern seperti bor dan paku.

M yang kedua adalah monoteisme. Ayu meyakini, bahwa agama-agama langit yang monoteis memiliki persoalan mendasar dalam menerima perbedaan. Ayu menggambarkannya melalui permusuhan antara Kupukupu dan Parang Jati. Kupukupu adalah lambang mereka yang merasa diri paling benar dengan agama yang mereka peluk dan lalu merasa berhak mengadili serta mengkafirkan orang lain yang menganut kepercayaan yang berbeda dengannya. Mereka tak menyisakan ruang bagi perbedaan. Fundamentalis, begitulah tepatnya. Pada bagian inilah Ayu memperkenalkan filosofi bilangan fu yang lebih bermakna metaforis ketimbang matematis. Ini menyangkut pengertian akan Tuhan yang satu yang sering diartikan secara matematis.

Dan M yang ketiga adalah militerisme. Pendapat Ayu bahwa militerisme merupakan musuh utama demokrasi berangkat dari masa Orde Baru, di mana peran militer sangat dominan. Dengan kekuatan dan caranya sendiri, militer menebar teror, ketakutan, dan kekerasan di masyarakat demi mempertahankan kekuasaan. Kebebasan pers dibungkam, acara-acara seni dan sastra dimata-matai, diskusi dan kumpul-kumpul dianggap makar, sebversi. Kita yang sempat mengecap hidup di masa gelap tersebut tentu tahu betul rasanya.

Novel dengan beban gagasan seberat itu tentu akan terasa membosankan jika tak pandai-pandai mengemas dan menyajikannya. Bilangan Fu nyaris terjerumus menjadi novel demikian seandainya Ayu hanya fokus pada ide besarnya itu dan melupakan unsur-unsur “hiburan” dalam bukunya ini. Unsur-unsur hiburan itu di antaranya bumbu seks, asmara, dialog-dialog yang bernas, plot yang tidak linear, dan humor. Kendati saya sempat terserang jenuh juga oleh banyaknya kutipan kliping surat kabar dan majalah, “artikel” serius Parang jati, serta dialog panjang lebar Yuda dan Parang Jati yang sangat ilmiah, namun secara keseluruhan novel ini enak dibaca.

Lantas, bagaimana dengan cinta segitiga seperti yang diiklankan dalam sinopsis di sampul belakang buku ini? Ah, rasanya saya tidak menemukan adanya asmara tiga sisi di novel ini. Ayu tidak pernah secara terang-terangan menampilkan percintaan segitiga antara Yuda, Marja, dan Parang Jati. Marja itu pacar Yuda yang dengan tersirat dan samar-samar–melalui dugaan-dugaan Yuda–diceritakan juga menaruh hasrat kepada Parang Jati. Jadi, jika Anda berharap akan bertemu kisah cinta segitiga yang menggelora dalam novel ini, siap-siaplah kecewa.***

Nuni: walaupun dahsempet larut di cerita jari...tapi belm selese baca buku ini karena keburu ke salip sama buku dan jurnal orangorang insomnia yg iseng yg suka ngaku ahli hukum internasional ---awal desember--- Stlh pnguasaanku atas buku ini memasuki akhir semester ketiga..stlah buku ini menemaniku melintas benua dan batas negara.. Akhirnya mata dan sel kelabuku beranjak dari hlaman duapuluhtiga... -so far:tba2 sel kelabuku yg hari ini kehijaubiruan(haha mgkn trpngaruh seragamku) ingin menambahkan pujian reviewers pada sang pengarang..

Setelah lelah menikmati beberapa halaman berisi arogansi yuda yg luarbiasa..sel2 super kecil dikepalaku terperangah dengan pikiran yuda yg mau menyenangkan marja dengan itikad memberi nama tumang..reaksiku:Hah..voila... Lanjut ah...
---awal januari--- ya ampunn...biasanya cuma bacaan wajib kuliah sama kerja yg ada 'buku penyela' nya.... kali ini sampe 2 buku...ck ck ck ...nuniii..nuni... ga berarti ga bisa nikmatin buku ini....tapi mungkin diawal emang agak2 abundant sama gaya sinism yg bertebaran di buku ini
masih lanjut though... --mid januari--- selesai baca dan sedih karena kehilangan parang jati..... huuuu uuu masih berduka niy [lebay:] jadi reviewnya nanti aja deh...

Helvi: Bahasanya terpelihara... tapi semua tokohnya Ayu Utami :D

Windy: setelah di interrupt sama 'junk food' akhirnya gue selesai juga baca buku ini. menarik, penggabungan agama, filosofi, gaya hidup, mistis, kebudayaan, munafik dan kebodohan yang di mix jadi satu. well walaupun endingnya kayanya udah bisa gue tebak dari awal tokoh Parang Jati diperkenalkan.

menyikapi hidup bisa dilihat dari banyak sudut. ada baiknya bila kita tidak hanya terpaku pada satu sudut saja.karena kepicikan kita kadang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan orang orang yang berniat buruk.

salah satu kutipan menarik menurut gue adalah statement berikut ini : Bagi Parang Jati kebenaran itu dipanggul, sedangkan bagi Farisi kebenaran itu harus ditegakkan.

cukup bisa membangkitkan kegeraman gue akan tokoh bernama Farisi disini. yang penggambarannya menurut Ayu Utami membuat gue ngakak ngebayanginnya mix Harajuku antara Samurai X sama Pangeran Diponegoro - thats good one-. yang jelas gue gak rela banget jagoan favorite gue Kenshin sama Pahlawan besar Diponegoro ditiru orang macam Farisi ini. orang yang menghujat dan menghakimi kelompok yang dianggap mengagungkan zat lain selain Tuhan tapi menikmati diagungkan oleh pengikutnya.apapun background dan alasannya, he's not smart enough to open his mind i think ( even at the end of this book, he seems evaluating himself just a litle bit )

yang jelas buku ini memang sedikit lebih berisi dibanding Saman dan Larung ( esensinya buat gue masih sama ) salah satu benang merah yang kentara dari Saman, Larung dan Bilangan Fu ini yaitu pandangan penulis tentang Militerisme dan hubungan cinta yang menyimpang.

this book is worth to read.

Santy: FANTASTIC !!! Sangat jarang saya menemukan karya yang begitu 'pas' dengan selera baca saya. Buku ini adalah salah satu dari top 10 list item saya pastinya.
Kisah, plot, karakter, serta bahasa yang digunakan sangat unik. It's like make you 'must-think' but somehow you understand it deep inside. Yah, begitulah saya menggambarkan buku ini.

One of the most thing I like in this book is about the kind of sense of humor reserved. I've gotta admit that most of the times I've gotta paused the reading just to absob the humor and laughing all the way.

Buku ini juga membuka wawasan baru tentang cara pikir saya terhadap sejarah dan politik. Saya tidak pernah tertarik dengan politik, dalam segala hal, saya bahkan menolak mendengar conversation about politics. But damn! this is one helluva thing to strike me right at the core! (maaf jika bahasanya kurang diminati).

Well, one thing for sure, this book is absolutely a must-read-item.

Caution: suitable for open-minded person only!

Ririenz: BILANGAN HU ( )

Ayu Utami

Kepustakaan Populer Gramedia, Juni 2008

573 Halaman

Rasanya lumayan panjang juga jeda yang aku butuhkan untuk menikmati lagi karya lain Ayu Utami ( AU ) selain “ Saman “. Khas AU memang jika dia selalu membuat kening pembacanya berkerut penuh tanya. Kali ini AU datang dengan “ Bilangan Fu “ untuk meneror para penikmatnya. Ia menyuguhkan sebuah konsep spiritual yang boleh jadi hal itu di luar pemahaman kita sebelumnya. Atau kita sebenarnya sudah paham tapi terkadang sulit untuk mengkomunikasikannya dengan orang-orang disekeliling kita.

Bilangan Fu merefleksikan kekecewaan dan keprihatinan AU atas penganiayaan juga kesewenang-wenangan terhadap lingkungan serta budaya yang terjadi di sekeliling kita. Manusia ( yang katanya ) bertindak sebagai khalifah di bumi ternyata tidak mampu menunjukkan rasa hormatnya kepada lingkungan dan budaya yang tercipta di masyarakat, bahkan tega-teganya berusaha untuk mengangkangi demi memantapkan ideologi kapitalis. Hal ini diungkapkan AU pada halaman 452 ;

“ Agama langit terbukti tidak bisa menyelamatkan alam. Agama bumi secara sistematis memelihara alam. Sayangnya agama-agama bumi ini telah terlindas nilai-nilai baru untuk : modernisasi, monotheisme dan militerisme “.

Agama bumi ini maksudnya adalah kepercayaan animisme dan dinamisme yang dianut oleh nenek moyang kita, contohnya kepercayaan yang masyarakat jawa kuno, yang disebut kejawen. Kebudayaan kejawen ada yang masih dilestarikan hingga kini misalnya acara tedak siten dan tujuh bulanan pada bayi.

Lalu AU menawarkan sebuah gagasan baru yang dinamakannya “ Neo-Kejawan “ dengan sinkretisme sebagai teksnya. Gagasan ini menekankan pada pemahaman dan kegiatan yang berupa laku kritis, seperti yang dipaparkan pada halaman 384-385.

“… Perbedaan utamanya terletak pada daya kritisnya. Spiritualitas jawa lama tidak merumuskan daya kritis. Spiritual lama tersedot pada rasa dan cipta tapi mengabaikan logika. Menekankan pada inspirasi tapi tidak analisa sama sekali. Spiritualias baru ini milik orang-orang yang rasional namun sekaligus kritis pada rasionya. Milik orang-orang yang telah mengenal modernisme tapi tidak tertelan pada modernisme. Milik orang-orang postmodernis.”

“… Spiritualitas baru ini senantiasa kritis pada asal dan tujuan hidup. Karena itu ia menundanya dan memusatkan cipta dan karsanya pada bumi ini.”

“… Spiritualias ini lebih tertarik pada bumi dari pada langit. Lebih wigati pada dunia ketimbang akhirat.”

Aku setuju dengan gagasan AU soal laku kritis ini, tetapi seperti aku tidak sepaham soal cara pandang AU terhadap agama langit. Sebagai muslim yang sejak kecil sudah dijejali doma-dogma yang termaktub dengan pasti dalam Al-Qur’an, aku percaya bahwa Tuhan YME sebenarnya sudah memberikan aturan yang baik untuk bumi dan alam semesta ini beserta isinya hanya saja daya nalar kita sering tidak mampu dan terengah-engah memahami petunjuk Tuhan YME, karena memang kita adalah makhluk-Nya yang sangat berbatas. Dan bagusnya pada novel ini AU tidak terjebak dalam pergulatan dogmatis yang terkadang bisa berujung perpecahan.

Apakah Bilangan Hu ( Fu ) itu ? Bagaimana bentuknya ? Dari mana asalnya ?

Bilangan hu adalah tanda tentang sesuatu yang ketetapannya adalah gerak. Ia mengambil bentuk sesuatu yang berpusar ( ), tidak berbentuk cakra tertutup, seperti nol ( O ) atau berbentuk bindi hitam ( ). Perangkatnya adalah :

Ji Ro Lu Pat Mo Nem Tu Wu Nga Luh Las Sin Hu

Hu adalah bilangan sunyi, dimana satu dan nol menjadi padu. Sebab ia bukan bilangan matematis, melainkan bilangan metaforis. Dia bukan bilangan rasional, melainkan bilangan spiritual.

Ada dua tokoh protagonist dalam novel ini, yang bernama Yuda berkiblat ke kiri sedangkan Parang Jati berkiblat ke kanan. Otomatis visi, misi serta kehendak mereka berdua banyak yang berseberangan meski satu tujuan. Mereka berdua akhirnya bersepakat ingin membangun dunia yang lebih baik dengan Neo-Kejawan yang berbasis sinkretisme. Sedangkan Kupu-kupu --- adik Parang Jati --- dengan paham monotheisme mengambil posisi berseberangan dengan mereka berdua. Diantara Yuda dan Parang Jati ada Marja --- kekasih Yuda --- yang kehadirannya melengkapi dan menjembatanai hubungan antara kanan dan kiri. Dengan lihai AU meramu idenya itu dalam jalinan kisah yang sangat mengagumkan. Novel ini bersetting di sebuah tempat yang kaya akan batuan kapur bernama Watu Gunung.

AU menjadikan Watu Gunung sebagai contoh atau lebih tepatnya potret dari sebuah negara atau dunia beserta permasalahan yang menyelimutinya. Semua kejadian yang terjadi di Watu Gunung adalah gambaran kongkret permasalahan-permasalahan akibat modernisasi dan kapitalisasi yang berujung pada eksploitasi di berbagai bidang kehidupan. Selain bisa mengikis kadar spiritual seseorang atau kelompok, modernisasi dan kapitalisasi membuahkan percikan-percikan api akibat gesekan yang terjadi antara golongan dan kepentingan. Kaum agamis fundamentalis dan moderat saling berhadapan untuk mempertahankan dan menyelamatkan argumennya masing-masing. Modernisasi dan kapitalisasi tentu saja melibatkan peran militer agar bisa lebih berkembang. Jika sudah demikian pasti akan ada pihak-pihak yang terdzolimi lahir – bathin yang akhirnya mau tak mau membebek pada pemenang.

Novel ini banyak menyajikan dialog-dialog cerdas yang memperkaya wawasan pengetahuan kita. AU juga banyak memperkenalkan kosakata bahasa Indonesia yang sepertinya jarang dipergunakan dalam bahasa lisan dan tulisan, misalnya; periferi, menabal, bergoler-goler, miang, terpelecok mendebik, membeting dan masih banyak lagi --- sampai capek bolak-balik buka kamus bahasa Indonesia ---.

Aku suka Bilangan Fu, karena menunya lumayan komplit, ada serius, ada humor, ada romantis, ada kesedihan, ada kebahagiaan, ada yang memuakkan, ada yang “ bunglon “ dan pula ada sex-nya. Sepertinya aku sedikit terganggu dengan kehadiran guntingan-guntingan berita koran di beberapa halaman novel. Tapi aku menyukai artikel yang dibuat oleh Parang Jati yang berjudul “ 3M : Tiga Musuh Dunia Postmodern “ dan 3M itu adalah Modernisasi, Monotheisme dan Militerisme.

Covernya juga unik seperti lukisan kalung etnik padahal sepertinya itu symbol dari Bilangan Fu. Dan ternyata lukisan cover itu karya AU sendiri. Jadi…Baca deh Bilangan Fu…

~* Rienz *~