Tampilkan postingan dengan label Novel 2005. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Novel 2005. Tampilkan semua postingan

Review Daddy's Little Girl: Putri Kesayangan Ayah

Kamis, 29 November 2012


Daddy's Little Girl: Putri Kesayangan Ayah
Daddy's Little Girl: Putri Kesayangan Ayah
Top of Form
Bottom of Form
Top of Form
Bottom of Form



Ada tiga tersangka: Rob westerfield, pemuda tampan dari keluarga kaya setempat, yang diam-diam menjalin hubungan dengan Andrea; Paulie Stroebel, teman sekelas yang diam-diam mencintai Andrea; dan Will Nebels, pekerja serabutan yang suka menawarkan jasa kepada para tetangga.

Kesaksian Ellie membuat pria yang ia yakini pembunuh kakaknya, dipenjara selama 22 tahun. Namun si terhukum tak pernah mengakui kesalahannya. Ketika orang ini dibebaskan bersyarat, Ellie memprotes pembebasannya. Namun si pembunuh tetap dibebaskan, dan kembali ke Oldham. Tak ingin nama orang ini dipulihkan, Ellie juga kembali ke Oldham dan melakukan penyelidikan untuk membuktikan orang ini memang bersalah.
Penyelidikan itu ternyata mengungkap peristiwa yang lebih mengerikan, yang selama ini tidak diketahui.

440 halaman
Gramedia pustaka utama 2005

Gwe: Kisahnya benar-benar menyentuh. Kisah sebuah keluarga yang memiliki 2 orang putri. Diawali dengan terbunuhnya seorang gadis di sebuah gudang. Kejadian ini pada akhirnya membawa dampak yang sangat mempengaruhi keutuhan sebuah keluarga berhubung gadis yang terbunuh itu adalah putri sulung kesayangan sang Ayah. Pelaku pembunuhnya masih belum tersingkap dan hal inilah pemicu hancurnya sebuah keluarga.
Kini yang tertinggal hanyalah si putri bungsu yang pada usia mudanya harus menghadapi banyak perubahan-perubahan yang tidak seharusnya dia alami.
Kematian sang Kakak telah mengubah segalanya. Ketika dia menyadari bahwa kematian tidak akan memindahkan kasih sayang sang Ayah dari si Kakak ke dirinya, malah justru dia harus kehilangan sosok Ayah itu sendiri.
Perceraian tak terelakkan lagi karena sang Ayah tidak pernah bisa memaafkan sang Ibu yang mengijinkan putri kesayangannya keluar rumah pada malam dia terbunuh. Tidak ada kata yang terucap selain semua itu adalah kesalahan sang Ibu.
Sejak perceraian itu dia (si bungsu) pindah bersama Ibunya yang mengalami depresi berat dan beralih pada minum-minuman keras.
Setelah bercerai, sang Ayah menikah lagi dan memiliki seorang putra yang pada akhirnya harus berhadapan dengan si putri bungsu.
Sementara Ibunya sendiri, sejak perceraian itu, mengalami depresi berat dan beralih ke alkohol dan klab-klab malam.
Hingga suatu hari setelah dewasa, dia memutuskan untuk meninjau kembali kasus pembunuhan kakaknya dan mulai melakukan penyelidikan dengan cara kembali ke kampung halamannya, tempat dimana dia dan kakakknya pernah hidup bahagia dalam suatu keluarga yang sempurna, jauh sebelum pembunuhan itu terjadi.
Penyelidikan ini mengalami banyak halangan dan rintangan, dimulai dari tidak adanya pendukung, kamar yang sengaja dibakar, hilangnya berkas-berkas dan kartu-kartu penting lainnya, namun dia tidak pernah putus asa. Tekadnya hanya satu : mempertaruhkan apapun untuk bisa menemukan pelaku pembunuhan kakakknya.
Pada akhirnya dia memang berhasil menemukan pelakunya, baca deh... Pasti seru..
Ceritanya sangat menyentuh, mendidik dan membuat kita berpikir untuk bersikap lebih bijaksana, bahwa tidak selamanya pengalaman pahit itu membawa kehancuran dalam hidup. Hanya kita sendiri yang bisa melawan itu semua .

Doris: This enthralling story is a first person narrative told by Ellie Cavanaugh, the 30-year-old survivor to a murder that devastated her family when she was only 7. She is now an investigative reporter, and has twice gone to the parole board to fight the parole of the man convicted of the brutal murder of her big sister Andrea. For 23 years, she had been convinced her sister's murderer was in prison, but now he, and his extremely wealthy family, are fighting to prove her wrong.

This story twists as Ellie researches the murder, with several episodes along the way that could have turned out much nastier. The episodes only convince her that her research is bearing fruit, and it comes to a powerful conclusion.

There was only one area that was never cleared up for me, but it would probably have been a dangling teaser regardless. (view spoiler)
Overall though, my reaction when I finished was to say out loud "Wow!"
A masterfully told story from the "Queen of Suspense", which helps to show the ways that murder and violent crime don't affect just the victim. There is a ripple effect that takes a toll on everyone.

Jerry: We're not likely to skip a novel by (mama) Clark, but this -- her 21st -- is far from her best. A good start leads into an absolute slug of a middle book, with most of the exciting action reserved for the three-page epilogue. Ironically, there is a reasonable degree of suspense to the plot, but our interest ebbed and waned so severely we might have put this down if we hadn't lined up for the hardback.
The plot revolves around Ellie Cavanaugh, a 30-year-old investigative reporter, fighting unsuccessfully the parole of Rob Westerfield, convicted some 20 years earlier for the murder of Ellie's sister Andrea. Though only seven at the time, Ellie's testimony in court weighed heavily in the guilty verdict. But Rob is being sprung on parole, and his wealthy family is pursuing all means, including illegal ones, to have him retried and acquitted. The rest of the book is basically the war between Rob's antics and Ellie's fact finding, and in the end Andrea's murder plus another one from long ago are all neatly re-solved and tied up with ribbons. In between, Ellie is harassed and followed and injured, etc. yet never succumbs, like virtually all of Clark's leading ladies, no matter the hurdles or the challenges. Some all too convenient helpers bail Ellie out of more than one predicament.
So what we find is not really the recipe for a whopping best seller. A dash of suspense is overwhelmed by plodding story lines, improbable action, implausible developments, and a leading lady who after all is said and done is not that easy to really care about. Clark's innately good story crafting and writing are not enough to make this cake rise and shine.

Review Miss Cupid

Minggu, 07 Oktober 2012




Miss Cupid


Siapa yang nggak kenal Tinka, mak comblang tenar seantero sekolah. Dengan kecanggihannya yang selalu sukses menjodohkan siapa pun yang meminta jasanya, Tinka pun tersohor sebagai Miss Cupid dan selalu siap menerima klien.

Siapa sangka order tiba-tiba sepi gara-gara Rocky. Anak baru yang pendiam dan berkacamata, tiba-tiba berubah drastis setelah ditunjuk jadi kapten sepakbola. Dari Clark Kent yang canggung dan berkacamata, jadi Superman yang kuat dan keren abis! Orderan pun datang bertubi-tubi, semua pengin dicomblangin dengan Rocky.

Yang lebih ajaib lagi, setelah Tinka menolak semua orderan itu dengan alasan keadilan sosial bagi seluruh pelanggan dan profesionalisme kemakcomblangan, tiba-tiba Maya, sobatnya yang supercantik, ikut-ikutan minta tolong dicomblangin sama Rocky! Sepanjang sejarah, Maya nggak pernah butuh jasa siapa pun juga buat cari pacar. Tapi buat Rocky?

Dengan alasan persahabatan, Tinka pun menerima job dari Maya. Padahal, ada rasa suka yang sudah lama tumbuh di hati Tinka, bahkan sebelum Rocky berubah jadi Superman

Gramedia Pustaka Utama 2005

Syell: suka banget sama novel ini . keren untung ukuran teenlit ! selain itu pas aku baca masih jaman SMP jadi cocok banget sama aku yang waktu itu juga masih tomboy2nya! persis sama tokoh cewek yang tomboy! selain itu juga tokoh cowok nya ganteng (hampir semua novel tokoh cowok nya ganteng sihh). karakter tiap tokoh juga bagus ! (sayang nya novel selanjutnya yg "satria november" kurang begitu bagus :(( )

Septianing: Tinka, makcomblang sukses mempunyai orderan nyomblangin Maya temannya dengan Ricko (cowok yang diam-diam) disukainya juga.Pokoknya ceritanya happy ending. heheheBaca novel ini dulu jaman SMA.

F.J: Buku yang fun! Meski akhirnya udah bisa ditebak gimana, tapi cara menuju akhirnya itu bikin penasaran :D
Karya: bagus bangeeeett emang sih ceritanya klise banget khas anak SMA, tapi entah kenapa gak pernah bosen baca berulang-ulang apalagi ngeliat tokoh utama yang ga biasa, didalem ceritanya disisipin hal-hal kocak, kaya waktu Tinka nyomblangin temennya, Mila ituu, ngebayanginnya lucu aja..



Review Kamu Sadar Saya Punya Alasan Untuk Selingkuh Kan Sayang?

Senin, 02 Januari 2012


Kamu Sadar Saya Punya Alasan Untuk Selingkuh kan Sayang?

by Tamara Geraldine

1st book of Tamara Geraldine - a wellknown Indonesian Presenter

2005

Saya: lumayan bagus, brani, tpi brani karena mungkin sang penulis sudah cukup populer...bisa nangkis serangan dr otoritas tertentu. Tapi, memang bisa membantu perempuan merubah konsep :belenggu diri sendiri" mreka.

An : kumpulan cerpen yg g nyangka banget seorang tamara bisa nulis dengan tingkat tinggi (versi rhe) seperti itu.

Victoria : Hehhee...ini buku nyentrik, nyeleneh. Dan kalo mikir bahwa it happens in real world, di jakarta, bahkan mungkin tetangga sebelah yang melakukannya...wuiihhh....extrakurikuler...i mean, spektakuler...^_^

Meinar: Hmmm, sebenarnya saya tidak terlalu tertarik mebaca buku yang ditulis oleh seorang entertainer, karena saya malas membayangkan bila nantinya saya akan menemukan cerita yang tidak jauh-jauh dari kehidupan artis-artis yg sudah terlalu sering diulas oleh infotainment dan tabloid (pengecualian untuk karya2 Dee). Namun entah kenapa, setelah melihat buku ini di toko buku, saya tiba2 saja memutuskan untuk membeli dan membacanya.

Ternyata...prediksi saya ada benarnya dan juga adanya salahnya. Mengapa benar? Karena di buku ini saya masih menemukan terlalu banyak cerita2 yg khas artis ;perselingkuhan, sex life, orientasi sex. Kenapa salah? Karena ternyata Tamara mampu menghadirkan cerita 'biasa' tersebut menjadi cukup luar biasa. Tamara mampu menyajikan kisah tersebut dengan gayanya yg khas Tamara, penuh sentilan, sinisme, dan blak-blakan.

Hanya saja, saya merasa agak terganggu dengan pemilihan cerita yg hampir melulu mengenai sex (kecuali untuk Sehari Bersama Ronaldo dan Wanita Yang Bisa Melihat Hantu). Mengapa Tamara tidak mengekslore hal-hal lain? Atau memang sengaja diset seperti itu, karena judulnya mungkin?

Endah:Tamara Geraldine menulis buku.Tepatnya buku kumpulan cerpen. Ini berarti menambah panjang deret daftar selebritis kita yang mencoba profesi baru sebagai penulis (fiksi). Sebelumnya telah ada nama Dewi "Dee" Lestari yang sukses dengan ketiga novel serial Supernova-nya. Menyusul di belakangnya, Rieke Dyah Pitaloka yang menerbitkan buku kumpulan puisi berjudul Renungan Kloset. Dan yang paling akhir adalah Melly Goeslaw dengan cerpen-cerpennya yang terangkum dalam Arrrrrgh..

Tamara yang selama ini kita kenal sebagai presenter acara infotainment dan olahraga di beberapa stasiun TV swasta nasional, ternyata diam-diam memendam bakat dan hasrat menulis. Menurut pengakuannya, ia telah mulai menulis puisi sejak kanak-kanak. Jadi, kalau sekarang terbit cerpen-cerpennya dalam Kamu Sadar, Saya Punya Alasan Untuk Selingkuh ' Kan Sayang? (sebuah judul yang panjang dan lumayan provokatif), itu bukanlah karena latah atau ikut-ikutan teman-temannya yang telah lebih dulu menulis.

Lingkungan sosial dan pekerjaan yang digeluti cewek cerewet kelahiran 21 Mei 1974 ini, tampak sangat mendominasi pemilihan tema - yang sayangnya nyaris seragam - kedua belas cerpen di buku ini.

Tema seragam itu adalah perselingkuhan. Dari kedua belas cerpen yang ada, sebelasnya bicara ihwal perselingkuhan dengan racikan bumbu khas kota besar : lesbianisme, homoseksual, seks bebas, aborsi, keluarga broken home, clubbing, alkohol, wine, diskotik, kafe...

Entah karena terinspirasi oleh maraknya kasus perceraian di kalangan teman-temannya para artis, Tamara terlihat begitu fasih menuturkan soal perselingkuhan beserta sebab dan akibatnya. Bahkan, ia sering mengutip beberapa nama (seleb) dan peristiwa aktual sebagai bumbu pelezat tulisannya ini. Gayanya dalam membawakan acara di televisi, terbawa sampai ke tulisan. Ceplas-ceplos, blak-blakan, segar, dan gaul banget gitu loooh.

Tamara menangkap fenomena menarik dari kejadian-kejadian yang dialami kawan-kawannya sesama artis itu. Kehidupan perkawinan mereka yang belakangan sering diberitakan berantakan rupanya telah menjadi sumber ide cerpen-cerpennya ini. Misalnya saja, dengan gaya berkelakar, ia menyebut perkawinan sebagai tidak lebih sebuah perangkap offside dalam permainan sepak bola (mentang-mentang presenter sepak bola) atau penjara. Banyak yang kemudian terjebak di dalamnya. Maka, beruntunglah Ayu Utami yang memilih hidup melajang (Toilet Shower, Good Idea! hal.141)

Mencermati karyanya, kita akan segera menemukan gaya penulisan Djenar Maesa Ayu di situ. Mestinya hal tersebut tidak mengherankan, oleh karena selain mereka berdua memang bersahabat, pun karena kesamaan latar belakang sosial tempat mereka tumbuh besar, bekerja, dan melakukan aktivitas sehari-hari : metropolitan. Aroma chicklit cukup keras terendus menguar.

Lagi pula, urusan pengaruh-memengaruhi dalam tulisan itu boleh dibilang biasa. Sastrawan sekaliber Dostoyevsky pun pada awal-awal kariernya konon meniru Gogol. Well, apa pun penilaian segi kualitas (sastra) buku ini, upaya Tamara menulis patutlah disambut dengan baik. Biarlah nanti para pembacanya saja yang menjadi "juri" paling adi

Aninda: Beberapa cerpen di dalam buku ini berkisah tentang kompleksitas cinta dalam hubungan suami-istri ("Kamu Sadar, Saya Punya Alasan untuk Selingkuh Kan Sayang?", "Punggung Caska dan Berto", "Pengantar Bunga yang Tertahan Pemeriksaan"). Perselingkuhan menjadi hal yang tidak tabu dan biasa saja di dalam cerpen-cerpen ini. Tamara juga menulis tentang orientasi seksual yang berbeda dalam cerpen "Toilet Shower, Good Idea!" dan "Nobody Knows ...". Di cerpen-cerpen ini bisa terbaca bahwa homoseksual dan perilaku seksual yang variatif (jika tidak boleh dibilang berbeda) bukanlah barang haram yang patut disembunyikan. Tema lain yang diusung Tamara adalah kematian dan kehidupan setelahnya ("Maaf, Kita Harus Kenalan dengan Cara Seperti Ini", "Perempuan yang Berteman dengan Hantu", "U Turn", dan "Mengajari Tuhan"). Kehidupan setelah mati menjadi hal yang membuat Tamara bereksplorasi dengan permasalahan eksistensi manusia. Di cerpen "Mengajari Tuhan", ia lancar mencitrakan Tuhan dalam perspektif personalnya. Dalam "Bahasa yang Dimengerti Hati" dan "Sehari Suntuk Bersama Christiano Ronaldo" ia bermain-main dengan bentuk dalam menyampaikan kisahnya. Realitas ekstrem seperti aborsi, seks bebas, pecandu narkoba juga ia ceritakan dengan dingin. Tak ada pretensi, semua cerpen dalam buku ini ia sajikan dengan lugas, blak-blakan, witty, serius tanpa kehilangan rasa humornya yang kadang terbaca perih.

Anis: Maaf mbak Tamara, aku cuma ngasih bintang satu soalnya menurutku semua cerpen di buku itu temanya sama, gak bervariasi. Jadi, maap ya....

Agustina: Membeberkan realitas lugas bagaimana hati hati yang terlukai mampu berbalik menjadi pisau bermata dua yang jauh lebih mengerikan bagi jiwa.

Vinny: it's truly an enjoyable book. When you read this book - i warn you - not to think, don't use your brain, instead - leave it to somewhere, just fully enjoy it. Yet, Tamara is good at taking this cheating behaviour as its topic. She successfully take up the moral story of CHEATING in marriage.

SO, keep an eye on your spouse :D

Ella: Bahwa selingkuh itu....hehe....silakan jawab sendiri dech.. Oya, buat sang penulis, maafkan aku karena sempet meremehkanmu (kan seleb-seleb seakan latah nulis tuh), tapi Tamara beda. Keliatan banget dia kandidat penulis andal dan bertangan lihai. Sukses buat Tam, ayo mana lagi novel keduanya nih??

Thata: Sangat suka dengan kejujuran ungkapan rasa di bagian Ucapan terima kasih. Sayangnya cerpen-cerpennya kurang bisa membuat saya berteriak karena orgasme :-)padahal judulnya sangat mengundang.
Tapi salut buat Tamara yang mampu membuat cerpen yang tidak picisan dan penuturannya cerdas

Review Soe Hok Gie







Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran

by Soe Hok Gie

Pustaka LP3ES Indonesia 2005

Saya: Gw ampe terobsesi pergi jln2 di rel kreta api jati negara sm Julius dan menyanyikan lagu...Tak pernah berhenti berjuang pecahkan teka teki malam.... gila, bisa mewujudkan teks dlm dunia gw, yg tentu beda dgn dunia Gie. Gw baca ampe 2 kali.

Dhani: Salah satu buku yang 'mendewasakan' saya. Dikemas dalam bentuk catatan harian,..buku ini adalah media perkenalan dengan seorang mahasiswa angkatan '66 yang kritis dan vokal dalam menentang rezim orde lama dan anomali anomali dalam dunia politik Indonesia saat itu (yah wajarlah nih orang musisi favoritnya aja Joan Baez..hehehe).
Sayang versi filmnya kurang digarap dengan total

Maddy: Ini adalah buku catatan harian dari aktifis '66 Soe Hok Gie. Seorang anak negeri yang peduli terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. Buku ini merupakan sebagian dari catatan hariannya mulai dari SMP hingga hari2 terakhirnya. Kesemua catatan itu cukup menggambarkan siapa Soe Hok Gie sebenarnya dan bagaimana pandangan dia terhadap kejadian di sekitarnya, seperti G30S, jatuhnya Soekarno dan naiknya Soeharto. Kita bisa melihat bahwa kepedulian Soe Hok Gie dimulai sejak dia masih duduk di SMP.

Buku ini bener2 inspiratif. Kayaknya di jaman sekarang orang seperti Soe Hok Gie bener2 jarang. Apa yang ditulisnya juga masih relevan seperti sekarang. Contoh mutakhir,betapa para aktifis mahasiswa yang dulu berdemo menentang sistem ternyata pas lulus malah menjadi bagian dari sistem yang dulu mereka tentang. Ibaratnya, berdemo di kampus adalah CV untuk masuk ke jajaran birokrasi pemerintahan, bukan lagi berlandaskan idealisme. Inilah yang ditentang Soe Hok Gie, idealisme mahasiswa dijual. Ironis sekali, sejarah berulang dengan sendirinya...

Kekurangan, kenapa juga harus pasang muka Nicholas Saputra??? Pemasangan ini menurut gw bener2 mengaburkan fakta sejarah... Selebihnya, no comment apa2 lagi tentang isinya...

Vetri: '...keberuntungan yang pertama adalah tidak dilahirkan, yang kedua adalah mati muda....''...semua perjuangan yang kita lakukan ini sia-sia, tapi kita harus tetap berjuang...'(maaf kalau salah kutip, bukunya sudah tak di tangan lagi) Gie memang tokoh yang mampu menginspirasi dengan idealisme-idealismenya. Tapi kesan yang saya tangkap di buku ini, diumurnya yang masih muda Gie menjadi seorang yang 'sinis' dan 'gelisah' terhadap dunia (atau skeptis ya? maaf saya belum bisa menemukan kata2 yang tepat). Mungkin dikarenakan perlakuan yang ia terima waktu muda, atau mungkin karena faktor buku2 yang ia baca. Entahlah. Tapi yang saya tangkap 'kesinisan'nya itu tidak menghalangi ia untuk tetap berjuang.

Kesan kedua yang saya tangkap dari Gie adalah Gie dengan idealisme dan intelektualitasnya sulit sekali untuk memberi ruang kesalahan, yang pada akhirnya sulit sekali untuk memberi ruang pada orang lain. Gie selalu merasa benar.

Kesan yang ketiga. Dari foto yang terdapat di buku ini, Gie sangat berbeda dari Nicholas (Nikolas?) S. Gie di buku ini tersenyum dan terlihat ramah, bukan cowok supercool.

Anne: Untuk sebuah diary non fiksi, ini salah satu buku terbaik yang pernah kubaca. Well, yang pasti aku kagum dengan kecerdasannyannya, pemikiran2nya, ide2 yang terbersit di benaknya, kecintaannya pada orang2 di sekelilingnya, keperduliannya pada lingkungan di sekitarnya. Bisa dibilang, aku jatuh cinta kepada pria yang satu ini meskipun dia sudah berpulang ke alam baka ;D

Aku tergila-gila dengan puisinya yang ditujukan pada salah satu wanita yang sering disebut2 dalam diarynya itu: "...aku ingin mati dalam pelukanmu sayang..." sedih sekali membaca puisi itu. Hatiku terenyuh, Gie...hiks...hiks..

Rizky: Setelah memasuki jenjang pendidikan Universitas, saya setengah "dipaksa" untuk sesegera mungkin membaca buku ini. Berada dekat dengan lingkungan aktivis kampus membuat saya cukup mudah mendapat akses gratis ( pinjam ) atas buku ini.

And hell, buku ini mebuat saya terperangah. Soe Hok Gie mulai menulis bahkan sebelum dia genap berumur 10 tahun. Walaupun saat itu yang ditulis masihlah mengenai kehidupan dia di sekolah, namun kita sudah bisa melihat "warna" dasar Gie : idealis, berpegang teguh pada pendiriannya.

Di usia yang kira-kira sama dengan saya ketika membaca buku ini, Gie sudah mulai mengupas permasalahan bangsa dan mencernanya dengan cara dia sendiri. Kenyataan bahwa Gie merupakan WNI keturunan Tionghoa justru membuat buku ini semakin legit, karena kita bisa melihat sebagaimana parahnya represi terhadap golongan minoritas di masa lampau.

Usaha editor untuk mempertahankan keaslian catatan ini patut diacungi jempol, sayangnya justru ini yang membuat buku ini agak sulit dibaca dan dipahami karena ejaan dan tata bahasa yang digunakan merupakaan ejaan lama.

Ali: Samarinda, tanggal Julai-Ogos, 2007 - Saya, Saiful dan Sahrunizam A Talib terpilih menyertai acara menggilap puisi kami di Mastera. Kami sama-sama menyertai peraduan sayembara puisi itu, lalu saya dapat tempat kedua, Sahrunizam tempat ketiga sementara Saiful meraih hadiah saguhati.

Dalam hala menuju pulang ke ibu kota Kuala Lumpur, kami singgah sehari dua di Jakarta. Di sana, ada sebuah jalan yang meletakkan gerai-gerai buku lama. Saya tidak begitu pasti adakah ia sah atau haram. Apakah penjaja buku itu berlesen ataupun tidak. Sahrunizam menyambar sebuah buku- (yang kemudiannya baru saya tahu, ia memberi kesan dan pengaruh besar kepada saya hari ini).

Maka, dalam jalanan pulang ke hotel (mungkin), Sahrunizam mengeluarkan bukunya yang baharu dibelinya tadi. "Ini Soe Hok Gie, seorang aktivis mahasiswa bersama timbunan catatan diari hidupnya," kata beliau kepada saya.

Tapi, saya tidak mengambil endah peduli. Pemandangan di luar yang luar daripada kebiasaan dengan cewek-cewek Jakarta yang hangat mempesona di jalanan itulah yang ternyata lebih menangkap perhatian. Masa berlalu. Sejak kembali dari Samarinda, saya terfikir betapa indah jika punya catatan diari sendiri. Lalu blog Karya Fansuri yang asalnya hanya memuatkan rencana, tiba-tiba diubah kepada catatan hidup. Di situ bolehlah pecah segala rahsia hidup, kenangan masa lalu, cinta dan apa-apa sahaja yang boleh dicerap oleh manusia dari seluruh dunia.

Masa berlalu. Suatu petang, ketika di rumahnya di Ampang, saya berbual dengan Ahmad Lutfi Othman, ketua pengarang Harakah dan beliau turutlah bercakap hal yang sama mengenai sosok Gie. Betapalah dia ini istimewa!"Enta tahu tak Catatan Seorang Demonstran?" dia bertanya. Saat itu dia masih belum tenat, walaupun sakit demam berputar berulang-ulang. Saat itu, beliau belum lagi dibedah melalui kaedah pintasan jantung."Gie!?" saya menduga, kenangan terhadap buku Sahrunizam di Jakarta dan Samarinda itu melantun-lantun semula dalam ruang kenangan.

Bualan itu hanya menyentuh perihal buku catatan itu secara sekilas dan tiada yang serius sangat dibualkan panjang-panjang. Masa berlalu. Revolusi hadir seperti petir. Saya melihat kesakitan dan kematian demi kematian di sekelilingku. kematian Amirul Fakir malahan penderitaan Alo sendiri dan khabarnya Azizi Abdullah sudah menerima rawatan mencuci buah pinggang!

Kalau tidak dihimpunkan riwayat hidup ini dalam bentuk catatan diari ini termasuk bahan fikiran saat menukang revolusi menggulingkan Najib ini, maka mati kita adalah sia-sia. Orang yang tidak sempat dilahirkan itu ternyata lebih berbahagia dibanding sebuah kematian yang sia-sia. Ekoran itu, sebuah catatan yang mirip Soe Hok Gie dengan judul Catatan Seorang Demonstran itu memang pantas diusahakan sekarang. Gie, saudara tidak keseorang dan tidak pernah kesepian. Saya penerus usaha-usaha anda walau kita berbeza agama, negara, bangsa, bahasa dan budaya. Dalam perjuangan, ternyata perbezaaan ini boleh disatukan! Maka, di balik coretan kata-kata ini, aku merenung fikiran Gie...

1. “Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau.”

2. “Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”

3. “Saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan.”

4. “Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi ‘manusia-manusia yang biasa’. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia.”

Gie, seorang manusia adalah seorang pemburu ilmu dan menggalinya lewat pembacaan yang berterusan dan seterusnya menyebarkan tentang isi makna hidup lewat penulisan. Inilah yang saya faham sebagai seorang Muslim apabila fikiranku terpandu, dibancuh melalui kalam Tuhan rabbani dalam Surah Al-'Alaq - Tuhan menyeru kita membaca, mengajar kita lewat PENA!

Dan, jari-jemari bersama pena ini kan terus-menerus mengalir dakwatnya sehingga degup jantung dan nadinya berhenti berdetak! 8:01 pagi, pejabat Harakah, 28 Jun, 2011

Muhammad: Mungkin banyak orang menyesal kenapa catatan hidup Soe Hok-gie harus difilmkan. Tapi jika film itu tidak pernah ada, entah kapan saya bisa mengetahui sosok mahasiswa Indonesia yang satu ini. Ya, berkat promosi film GIE di media, rakyat Indonesia menemukan kembali Soe Hok-gie, setidaknya dalam karakter yang diperankan Nicholas Saputra. Saya pribadi jadi penasaran dan bersemangat mencari buku ini sampai ke Bandung (waktu itu saya masih tinggal di Bengkulu).

Beruntung Hok-gie waktu itu memulai catatan hariannya di masa SMP, di usia yang kira-kira sama dengan usia saya saat mulai membacanya. Sedikit banyak, saya merasa ikut terlibat dengan kegundahan yang ia rasakan sebagai remaja di tengah remaja lainnya dan hegemoni guru-guru sekolah. Saya merasa hal yang paling berpengaruh dari buku ini pada diri saya adalah minat terhadap kebudayaan, apakah itu sastra, musik, film, puisi. Ia ikut andil meluaskan perbendaharaan sastra saya, bahkan saya jadi ikut-ikutan bereksperimen membaca buku filsafat di usia semuda itu (lebih karena sok-sokan, saya kira). Saya kira Hok-gie masih tetap menjadi ideal, karena kemelekbudayaan di usia semuda itu kini sudah jarang saya temui, bahkan ketika akses untuk itu sudah jadi lebih mudah.

Saya masih sering membaca ulang buku ini sampai sekarang, terutama kehidupan mahasiswanya. Banyak hal yang baru bisa terkupas setelah semakin banyak keterkaitannya dengan kemahasiswaan saya sendiri. Alangkah mengherankannya, apa-apa yang diperjuangkan sejak dulu masih saja belum terwujud sekarang. Ah, waktu berjalan, tapi manusia memang begitu adanya, saya kira.

Ratih: buku pinjeman seorang teman, yang sebenernya punya bapaknya. tapi entah gimana mendarat di rak buku saya dan belum terkembalikan sampai sekarang.
(sori ya edo, salahkan andre! :D)terbitan 85 jauh sebelum diperankan ama niko, jadi ya sudah agak rapuh, tapi tetep, isinya yang penting.kadang jadi miris sendiri, jaman itu mahasiswa betulan jadi motor penggerak perubahan. sedangkan apa yang saya lakukan, selalu berlindung di balik jargon 'kami bergerak langsung ke bawah dengan baksos kesehatan gigi', walaupun sebenernya dalam hati, saya cuma takut kena pentung.

Effendi: Gie, pejuang muda yang kurang dikenal di jaman orde baru karena kekritisan dia mengritik baik orde lama maupun orde baru. Ditambah lagi karena dia adalah keturunan Cina, yang tentunya kurang disukai pemerintah orde baru untuk menjadi teladan bagi anak2 muda Indonesia lainnya. Seorang nasionalis tulen, penampilan boleh Cina...tapi hatinya 100% buat Indonesia...sedari muda sudah sangat suka membaca buku-buku yang berat-berat dan ini akhirnya membentuk pribadinya yang tangguh dan tak kenal menyerah melawan penguasa2 yang lalim lewat penanya yang tajam...

Ndari : Saya sudah jadi fans Soe Hok Gie sejak saya masih kelas 1 SMP. Saya masih ingat dulu saya mulai jatuh cinta pada sosoknya ketika Papa memutar film Gie di ruang keluarga. Meski di tengah film Papa akhirnya jatuh tertidur, saya tetap lanjut menonton tanpa bergeming. :)

Masih lekat pula di ingatan saya ketika dulu saya disuruh untuk membuat biografi tokoh yang dikagumi, dan saya menulis biografi Soe Hok Gie. Ketika itu hanya saya dan dua teman saya yang lain yang mengumpulkan tugas, jadi makalah saya yang sudah saya kerjakan dengan susah payah itu akhirnya tidak terbaca. Sepulang sekolah saya mengurung diri di kamar, menangis. Sejak saat itu saya sungguh membenci guru Bahasa Indonesia saya XD

Jadi ketika suatu kali saya menemukan buku ini, saya tidak berpikir dua kali untuk membelinya. Walau akhirnya bukan saya orang pertama yang baca, tapi malah kakek saya, setelah adu mulut yang lumayan menghibur :p

Buku ini berisi jurnal kehidupan Soe Hok Gie yang terangkum dalam kurun waktu beberapa tahun. Dimulai dengan kata pengantar dari beberapa tokoh (yang kadang membosankan, tapi tetaplah membaca karena kata-kata mereka banyak yang patut digaris-bawahi), lalu dilanjutkan dengan jurnal Gie ketika masih remaja. Tutur katanya masih begitu polos saat itu. Lalu kita seperti diajak naik mobil bersama dengan Gie, yang menunjukan kepada kita kerikil-kerikil dalam hidupnya, sambil berkomentar tentang apa yang terjadi di negeri ini. Lalu puisi-puisinya yang indah dan pemikirannya yang misterius, sinis namun haus didengar. Di buku ini banyak sekali kata-katanya yang patut dikutip, digaris-bawahi lalu disimpan.

Sampai kapanpun saya tidak akan bosan membaca buku ini. Selalu ingin menangis ketika saya sampai di penghujung buku, jurnal yang bagian akhirnya seolah tercuri. Saya selalu akan merasa sedih karena saya tahu satu-satunya hal yang tidak dia ketahui, tidak dia tuliskan dalam jurnalnya: kematiannya. Selamanya akan merasa haru karena sampai kini namanya ada di hati beberapa orang, salah satunya saya, dan bahwa eksistensinya bermakna, dan langkahnya menjadi panutan. Terima kasih, Gie.

Azia: Soe Hok Gie...mahasiswa legendaris..pertama kenal waktu jadi maba...karena pengen tahu mengenai seluk beluk dunia politik kampus..apalagi filmnya baru keluar .jadinya lah gw pinjam buku ini dari ketua senat waktu itu...thanks to kak gaffari.

Lembaran-lembaran dunia mahasiswa nya penuh dengan sensitivitas terhadap kehidupan sosial saat itu...masa-masa akhir 50an dan awal 60-an, Sang Proklamator mulai menancapkan kuku diktatornya...dengan proyek2 mercusuar dengan pernyataan ganyang Malaysia dan berbagai tindakan fenomenal yang bikin heboh satu dunia membuat kondisi Indonesia tidak stabil...hyperinflasi yg gokil abis..pemberontakan disana sini..betul-betul membuat Indonesia semakin carut marut..

Belum lagi ia juga membidik teman-temannya sendiri..yang setelah Soekarno berganti Soeharto sudah keluar jalur..setelah aksi mahasiswa besar2an 1966, Gie berpendapat peran mahasiswa sudah sampai disitu...saatnya kembali ke bangku kuliah..namun tak sedikit aktivis yang akhirnya berada di kursi senayan dan menikmati fasilitas wakil rakyat...makanya keluar quotes nya ; "lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan" karena saat itu dia merasa sendirian dan tak satu pun yang mengerti akan pandangannya..pemikirannya..dan perasaannya..

Jika saja Gie masih hidup...mungkin ia akan menangisi almamaternya...penerus-penerusnya....junior-juniornya...atau ia akan tertawa akan naifnya mahasiswa jaman sekarang yang mengincar karir politik masa depan atau ia hanya menggeleng-geleng kepalanya melihat hedonisme ria mahasiswa sekarang
atau ia bahkan mencemooh jakun-jakun yang nongol di TV yg hanya jadi figuran acara. termasuk gw pun tak luput dari kelompok2 diatas