Tampilkan postingan dengan label Kumpulan Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kumpulan Cerpen. Tampilkan semua postingan

Review Sang Nabi

Sabtu, 31 Desember 2011



Sang Nabi

by Khalil Gibran, Sri Kusdayantinah (Translator)

Sang Nabi adalah sebuah novel-puisi yang bercerita tentang seseorang yang bernama Al-Mustafa—yang dalam bahasa Arab berarti "Yang Terpilih". Setelah mengasingkan diri di sebuah pulau terpencil selama dua belas tahun, Al-Mustafa pergi menuju sebuah kota kecil Orphalese dan mengajari manusia tentang berbagai hakikat kehidupan.

Pustaka Jaya

Saya: Mengajarkan semua keutamaan hidupmu..

Katie: "The Prophet" is a beautiful and timeless work of art. From the mouth of an old man about to sail away to a far off place, we hear the simple and lyrical wisdom of life and all its components, such as love, work, materialism, crime, freedom, friendship, pleasure, and death. This is a classic guide book for life, full of philosophical eloquence. It is a profound and poetic serman that puts much into perspective without feeling dogmatic or religious. Especially poignant were the writings on Marriage, Children, and Joy and Sorrow. The book can be read in less than an hour, but I'd suggest spending more time with it, allowing yourself to fully absorb this masterpiece. Ten stars.

Malynda: A surrogate Bible, this prophetic book looks forward to every corner of our experience and gives words of simple guidance and celebration. Written in 1925 by Lebanese author Khalil Gibran, The Prophet is a blend of Arabic philosophy and Christian Doctrine. In the novel, the Stranger Almustafa is about to depart the city of Orphalese on a ship. The people of the city crowd before him, asking for council before his assumption. He addresses such issues as Work, Marriage, Death and Love with clarity and compassion.

Gibran is often compared to blake in his poetic prose/prosey poetry and combination of drawings and text. The rule on this book is that it must be given to you, preferably a second-hand copy. The more loved and filled with cryptic enscriptions, the better.

Natalie: A few years ago my husband was in a van pool. The people in this D.C. bound van pool took turns driving the van while the others rode in the back. One day my husband's friend was driving and got a speeding ticket. (He was going 80 in a 65, just like everyone does on Interstate 95). Well, the guy was upset that he got caught doing what anyone else would have been doing if they had been driving so he asked if people could help him pay the ticket. My husband was one of two people in the pool of 15 people that contributed to the ticket. So in thanks for his gesture the friend gave us this book.

This book was also featured in the movie Walk the Line. It reads like scripture- and has 28 sections on things the people asked the 'prophet' and I'll give you a little taste of section 4 entitled Children: You may give them your love but not your thoughts, For they have their own thoughts. You may house their bodies but not their souls, For their souls dwell in the house of tomorrow which you cannot visit, not even in your dreams.

This Kahlil Gibran was pretty cool in the 50s I guess. His writings are cool now. My mom had a Kahlil Gibran journal she wrote in in the 70s. How cool is that?

Irinina: This book was given to me as a gift from my director in the last show that I did. I carried it with me everywhere and read it on the train, anytime I was waiting or bored. It brought me such immense comfort and inspiration. When I would read it’s pages before a long day at work, I came to work much more peaceful, than crabby. It’s messages are simple, yet profound and there is room in them to interpret them and hear them according to wherever you are in your life. I think that this book came into my life at the right time, it was a gift, then both my boyfriend and my mother highly praised it while I was reading it.

Ryan: a book for anyone willing to step outside of the insitutionalized perspective of life that most of America and the world finds itself in. Every line is an intuitive and insightful proclamation of the gut feelings we all have about the way life can be lived and should be lived. I have heard the quote on marriage being like two trees standing near each other with a little space between them so the wind (God) can come between them. it's an extremely popular and inspirational book!

Karye: Now that I'm reading The Prophet again, words that I read twenty-seven years ago still ring clearly in my mind as I read them again today. It was a wonderful moment a few evenings ago to find myself reciting aloud and from memory passages that had struck me then--and now--to the very core. Kahlil Gibran spent a couple of years revising The Prophet. Since it is a short book, the concepts come across as distilled. The influences of his native Lebanon as well as his love for scripture, come through in the scriptural-like language. I am savoring this book slowly this time, taking little sips at a time.

Mansoor: The Prophet made me feel profoundly spiritual when I was nineteen. It was a great way to experience spirituality and romance as a teenager, but as I got older, its lusty descriptions of the true meaning of love, marriage, and life just seem like pretty, but shallow, wordplay.

Now, don't write to me and prove me wrong on this, because I like the idea very much. I believe that Khalil Gibran was quite the player. The Prophet has a seductive tone that avoids making any concrete statements, which is the strategy used by career players (see SNL's The Ladies' Man).

Nonetheless, I still recommend everyone read The Prophet. Whether you take the prose as deep advice or empty rhetoric, it is beautiful wordplay.

Cerpen Selli

Jumat, 14 Oktober 2011

**Cerpen itu dibuat untuk keperluan Projects11days dari @nulisbuku.com. Pada hari #3 kemarin, saya telat, sehingga tidak mendapatkan e-mail balasan. Tapi hari ini saya tidak telat. Kalau tidak ada e-mail balasan berarti ada yang salah.

Judul: Salli

Nama: Antonini Ramon

Sejak kecil aku diajarkan berdoa sebelum tidur—itu aku lakukan setelah menggosok gigiku, berkumur, membasuh wajah dengan wewangian, mencucu kaki agar aku bersih, tidak cacingan—meski sekarang aku tinggal denganmu—seorang lelaki yang tak jelas apakah sudah melupakan mantan istrinya atau malah masih menyanjungnya.

Malam ini malam Jumat, aku tak ingin berdoa. Biarlah Tuhan marah padaku. Hanya sekali saja aku tidak mengucapkan syukur, bukankah banyak orang di luar sana, beribu-ribu malam tidak mengucapkan syukur?

Kalau ular yang menggoda Hawa itu benar-benar ada, biarlah malam ini dia menggodaku—perempuan 25 tahun, dengan fisik bak model, dengan karier mulai cemerlang di bidang perbankan. Jika di taman Eden ular itu menggoda Hawa dengan menyruhnya makan buah Kuldi, biarlah dia menggodaku menyalakan rokok mild-mu dan mengisi gelas persegi-mu dengan anggur-mu.

Di luar dingin, tapi aku selalu menyukai harum kamboja di dekat teras. Di luar tak ada bintang tapi aku selalu menyukai kegelapan, sebab padanya selalu ada ketenangan.

Kupaksakan menghabiskan sebatang mild-mu dan membawa gelas persegi-mu ke dalam. Pintu kukunci dan tirai kubuka sebab aku ingin duduk di depan komputer yang berdengung lembut dan menuli apa saja yang kupikirkan tentangmu.

L, itu huruf pertama yang kulihat pada papan tuts komputer. Di sebelahnya ada angka 3, jika angka itu disandingkan dengan angka 4, maka menjadi jumlah umurmu 34. Umur yang selalu kamu banggakan karena menurutmu kamu kelihatan perkasa, begitu jantan di umurmu yang sekarang. Apakah aku juga akan merasakan hal yang sama di umurku yang ke-34 meski aku seorang perempuan?

Dengkur lembutmu menerobos lewat celah bawah pintu jati. Kubuka MS Word dan kuketik sesuatu di halaman blank itu. Aku mulai dengan kalimat:

Aku sedih sebab kamu tak pandai berbohong.

***

Pernah aku menjadi wanita yang paling berbahagia ketika umurku menginjak angka 24. Telah setahun kita bersama, meski kita hanya menikah di Catatan Sipil. Pernah aku menjadi wanita yang paling berbahagia ketika kamu menarikku ke ranjang yang lembut. Kamu lepas semua pertahananku dan kamu mencintaiku seperti aku wanita paling sempurna di belahan bumi bagian timur ini.

Kamu tidak mendengarkan ibumu,” aku bicara.

Kamu tahu, apa yang kulakukan hari ini dan besok, semuanya karena aku ingin kamu di sini, tepat di sampingku, tidak kemana-mana. Tahukah kamu bahwa hanya namamu dalam benakku? Mendengung seperti lebah. Suaranya indah. Bunginya memabukkan.”

Lalu kamu peluk aku dan kamu cium aku pada mulutku yang harum. Rasanya tak ingin aku pergi dari sisimu. Akan kukirim surat sakit ke bank karena besok kamu cuti dan aku ingin bergelung di ketiakmu seharian.

***

Aku berhenti. Langit masih gelap tetapi lampu teras merambat ke dalam. Kutatap jemariku yang tergantung di depan tuts komputer. Kulihat akata terakhirku:

Igau.

Aku suka bergelung di ketiakmu. Aku suka merasakan wangi tubuhmu. Di saat kamu lelah setelah kita bercinta dengan begitu manis. Kamu terlelap dan lenganmu memelukku erat. Lalu kamu sebut nama itu:

Salli. Salli. Kemarilah. Aku sangat mencintaimu.

Lalu kamu eratkan pelukmu pada tubuhku. Seperti tak mau melepaskan pergi.

***

Salli.

Namaku Eva. Tapi kamu suka memanggilku Salli. Salli kemarilah. Aku sangat mencintaimu. Kamu peluk aku. Kamu tatap mataku dalam temaram lampu tidur. Jam di meja berkelip-kelip biru, menunjukkan pukul 23.11.

Salli.

Namaku Eva. Usiaku 25 tahun lebih 2 bulan. Karierku mulai cemerlang di bidang perbankan. Aku pindah 1 tahun yang lalu ke rumah yang kamu belikan untuk kita. Kita telah menjadi suami-istri sejak setahun yang lalu. Meski aku lebih merasa seperti kekasihmu.

Salli.

Namaku Eva. Gelas persegi-mu nyaris kosong. Kunyalakan sebatang mild-mu lagi. Rasanya ringan. Melayang. Kuhapus airmata yang mengalir pelan, sepelan perih hatiku, yang tak kamu rasakan. Karena kamu mengigau memanggil Salli. Salli. Meski namaku Eva. Apakah kamu mencintai wanita itu? Apakah kamu masih mencintainya?

***

Salli meneleponmu pagi ini, menyatakan bahwa anak kalian masuk Play Group hari ini dan kamu harus mengantarkannya sebab Salli sakit diare, dan mungkin guru Play Group ingin kamu mengisi beberapa formulir tetek-bengek dan mengenal orangtua dari anak kalian.

Dia yang menghasut ibuku.” Kamu menjelaskan, ketika aku hanya diam, menyiapkan sarapanmu.

Aku benci wanita itu. Hari ini dia pura-pura sakit. Aku tahu dia pura-pura. Dia pasti sibuk mengurusi butiknya dan lebih suka bergosip ria dengan kawan-kawannya itu.” Kamu menambahkan, meski aku tidak butuh penjelasan.

***

Jemariku sudah letih mengetik. Tapi aku ingin menambahkan beberapa baris kalimat penutup untuk menyempurnakan ketikanku ini.

Salli.

Pernahkah kamu katakan pada Salli, bahwa kamu mencintainya dan terpaksa harus tidur denganku?

Fine.

Cerpen Selli

**Cerpen itu dibuat untuk keperluan Projects11days dari @nulisbuku.com. Pada hari #3 kemarin, saya telat, sehingga tidak mendapatkan e-mail balasan. Tapi hari ini saya tidak telat. Kalau tidak ada e-mail balasan berarti ada yang salah.

Judul: Salli

Nama: Antonini Ramon

Sejak kecil aku diajarkan berdoa sebelum tidur—itu aku lakukan setelah menggosok gigiku, berkumur, membasuh wajah dengan wewangian, mencucu kaki agar aku bersih, tidak cacingan—meski sekarang aku tinggal denganmu—seorang lelaki yang tak jelas apakah sudah melupakan mantan istrinya atau malah masih menyanjungnya.

Malam ini malam Jumat, aku tak ingin berdoa. Biarlah Tuhan marah padaku. Hanya sekali saja aku tidak mengucapkan syukur, bukankah banyak orang di luar sana, beribu-ribu malam tidak mengucapkan syukur?

Kalau ular yang menggoda Hawa itu benar-benar ada, biarlah malam ini dia menggodaku—perempuan 25 tahun, dengan fisik bak model, dengan karier mulai cemerlang di bidang perbankan. Jika di taman Eden ular itu menggoda Hawa dengan menyruhnya makan buah Kuldi, biarlah dia menggodaku menyalakan rokok mild-mu dan mengisi gelas persegi-mu dengan anggur-mu.

Di luar dingin, tapi aku selalu menyukai harum kamboja di dekat teras. Di luar tak ada bintang tapi aku selalu menyukai kegelapan, sebab padanya selalu ada ketenangan.

Kupaksakan menghabiskan sebatang mild-mu dan membawa gelas persegi-mu ke dalam. Pintu kukunci dan tirai kubuka sebab aku ingin duduk di depan komputer yang berdengung lembut dan menuli apa saja yang kupikirkan tentangmu.

L, itu huruf pertama yang kulihat pada papan tuts komputer. Di sebelahnya ada angka 3, jika angka itu disandingkan dengan angka 4, maka menjadi jumlah umurmu 34. Umur yang selalu kamu banggakan karena menurutmu kamu kelihatan perkasa, begitu jantan di umurmu yang sekarang. Apakah aku juga akan merasakan hal yang sama di umurku yang ke-34 meski aku seorang perempuan?

Dengkur lembutmu menerobos lewat celah bawah pintu jati. Kubuka MS Word dan kuketik sesuatu di halaman blank itu. Aku mulai dengan kalimat:

Aku sedih sebab kamu tak pandai berbohong.

***

Pernah aku menjadi wanita yang paling berbahagia ketika umurku menginjak angka 24. Telah setahun kita bersama, meski kita hanya menikah di Catatan Sipil. Pernah aku menjadi wanita yang paling berbahagia ketika kamu menarikku ke ranjang yang lembut. Kamu lepas semua pertahananku dan kamu mencintaiku seperti aku wanita paling sempurna di belahan bumi bagian timur ini.

Kamu tidak mendengarkan ibumu,” aku bicara.

Kamu tahu, apa yang kulakukan hari ini dan besok, semuanya karena aku ingin kamu di sini, tepat di sampingku, tidak kemana-mana. Tahukah kamu bahwa hanya namamu dalam benakku? Mendengung seperti lebah. Suaranya indah. Bunginya memabukkan.”

Lalu kamu peluk aku dan kamu cium aku pada mulutku yang harum. Rasanya tak ingin aku pergi dari sisimu. Akan kukirim surat sakit ke bank karena besok kamu cuti dan aku ingin bergelung di ketiakmu seharian.

***

Aku berhenti. Langit masih gelap tetapi lampu teras merambat ke dalam. Kutatap jemariku yang tergantung di depan tuts komputer. Kulihat akata terakhirku:

Igau.

Aku suka bergelung di ketiakmu. Aku suka merasakan wangi tubuhmu. Di saat kamu lelah setelah kita bercinta dengan begitu manis. Kamu terlelap dan lenganmu memelukku erat. Lalu kamu sebut nama itu:

Salli. Salli. Kemarilah. Aku sangat mencintaimu.

Lalu kamu eratkan pelukmu pada tubuhku. Seperti tak mau melepaskan pergi.

***

Salli.

Namaku Eva. Tapi kamu suka memanggilku Salli. Salli kemarilah. Aku sangat mencintaimu. Kamu peluk aku. Kamu tatap mataku dalam temaram lampu tidur. Jam di meja berkelip-kelip biru, menunjukkan pukul 23.11.

Salli.

Namaku Eva. Usiaku 25 tahun lebih 2 bulan. Karierku mulai cemerlang di bidang perbankan. Aku pindah 1 tahun yang lalu ke rumah yang kamu belikan untuk kita. Kita telah menjadi suami-istri sejak setahun yang lalu. Meski aku lebih merasa seperti kekasihmu.

Salli.

Namaku Eva. Gelas persegi-mu nyaris kosong. Kunyalakan sebatang mild-mu lagi. Rasanya ringan. Melayang. Kuhapus airmata yang mengalir pelan, sepelan perih hatiku, yang tak kamu rasakan. Karena kamu mengigau memanggil Salli. Salli. Meski namaku Eva. Apakah kamu mencintai wanita itu? Apakah kamu masih mencintainya?

***

Salli meneleponmu pagi ini, menyatakan bahwa anak kalian masuk Play Group hari ini dan kamu harus mengantarkannya sebab Salli sakit diare, dan mungkin guru Play Group ingin kamu mengisi beberapa formulir tetek-bengek dan mengenal orangtua dari anak kalian.

Dia yang menghasut ibuku.” Kamu menjelaskan, ketika aku hanya diam, menyiapkan sarapanmu.

Aku benci wanita itu. Hari ini dia pura-pura sakit. Aku tahu dia pura-pura. Dia pasti sibuk mengurusi butiknya dan lebih suka bergosip ria dengan kawan-kawannya itu.” Kamu menambahkan, meski aku tidak butuh penjelasan.

***

Jemariku sudah letih mengetik. Tapi aku ingin menambahkan beberapa baris kalimat penutup untuk menyempurnakan ketikanku ini.

Salli.

Pernahkah kamu katakan pada Salli, bahwa kamu mencintainya dan terpaksa harus tidur denganku?

Fine.

Cerpen: SEMU

Kamis, 13 Oktober 2011

**Cerpen ini dibuat dalam satu jam, untuk keperluan projects dari @nulisbuku.com. Tidak seperti selama ini saya menulis cerpen atau puisi, kali ini tergesa-gesa, harus mendengarkan lagu SALAH dari POTRET dulu, itu lagu jadul banget. Cerpen kali ini keluar dari jalur genre saya yang cenderung filsafat, teologi, dan mistik. Saya posting ke blog ini karena cerpen itu dalam rangka pembuatan buku (11 buku menurut janji @nulisbuku.com).



Judul: Semu

Nama: Antonini Ramon

Klakson mobil kamu berbunyi dua kali. Itu kebiasaan kamu, entah kenapa. Dulu aku suka, sekarang aku merasa kamu kekanak-kanakkan. Memangnya rumahku ini pohon beringin tua atau makam angker sehingga kamu memencet klakson untuk menyapa dan menolak bala? Sudah aku kirim sms sepuluh kali mengabarkan bahwa aku sedang tidak enak badan, tidak panas, tidak dingin, tapi ada yang aneh dengan otakku, pasti. Dan otakku mengirimkan signal ke hatiku bahwa ada sesuatu yang tak beres dengan dirimu. Kamu pasti punya selingkuhan. Aku tahu. Aku tahu tanda-tandanya. Sikapmu yang aneh dan selalu tak nyambung jika kita berbicara di telepon. Memangnya kamu sedang apa dengannya, hah?

Tapi kamu memencet klakson Audi-mu juga. Apa yang bisa aku lakukan?

Seperti istri tentara Amerika yang menanti dalam cemas, aku berhamburan ke gerbang, membukan untukmu. Kamu selalu begitu, tidak memasukkan mobilmu ke halaman, tapi kamu malah bergegas mendekatiku, memegang kedua lenganku dan mengucapkan kata-kata manis. Apakah yang kamu harapkan, bisa kukatakan?

Setelah kamu melihat haru di mataku—haru yang kupaksakan untuk menyambut kepulanganmu—baru kamu merasa cukup, puas. Kamu kembali ke sedanmu. Kamu masukkan ke halaman, stop di sampingku. Kamu matikan mesin yang menderu pelan. Kamu buka pintu belakang, dengan senyum yang bisa kulihat di sudut bibirmu yang berkedut, kamu keluarkan bawaanmu. Oh, itu pasti upeti untuk reuni kita. Kamu ajak aku masuk, meski ini rumah orangtuaku. Orangtua yang memaksamu memanggil mereka Papi dan Mami, alih-alih memanggil Om dan Tante. Orangtua yang menganggap kamu satu-satunya calon mantu terbaik yang pernah mereka temui. Aku harus bagaimana? Aku tidak bisa mengganti panggilanmu untuk mereka. itu hak kamu dan itu hak mereka.

Terserah.

Maafkan aku,” kamu merengek, meski wajahku sudah meleleh.

Aku maafkan. Kan kamu tahu aku selalu begitu.”

Suer?” kamu bertanya, seperti aku ini si pembohong besar.

Aku mengangguk dan menyentuk lenganmu yang berbulu halus. Kamu merinding?

Kita sampai di teras, aku memetik selembar daun sirih yang menjalari teras rumahku. Kita mengambil tempat di teras saja sebab hari masih lembayung, indah, dan aku ingin melihat matahari terbenam untuk hari ini. Kamu tunjukan jejak cahaya matahari dan bulan sabit yang mengintip dari balik awan merah, perlahan-lahan menebarkan cahanya.

Aku melirik. Aku tahu, kamu membawa bunga dan cokelat, sebab itulah kesukaan semua wanita, selain berlian dan spaatangan manis bertabur kacang itu. Kamu berikan mawar merah itu padaku. Aku merasa seperti batu nisan yang dikunjungi seorang lelaki dari masa lalu. Apakah kamu harus membeli yang berwarna merah? Kamu bisa beli yang berwarna biru atau putih, yang penting jangan merah, terkesan mistis. Aku bukan Suzanna.

Kusimpan heranku ketika kamu membawakan cokelat dan mawar itu. Tapi aku yakin, Mami akan mengajakmu ke dalam dan membuatkan kamu minuman dan mungkin mengelus-elus kepalamu, seperti kamu anaknya sendiri. Aku akan menahan kamu selama mungkin di teras ini. Masih kusimpan heranku sebab kamu tak pernah romantis selama dua tahun kita berhubungan. Kamu merasa itu buang-buang ongkos dan tidak relevan. Kamu lebih memilih menabung setiap peser untuk mobil dan rumah baru kita di daerah Padjajaran regency daripada tetek bengek bunga dan cokelat atau jenis pemberian lainnya. Aku tahu. Aku paham. Sejak pertama bertemu, aku tidak menuntut, bukankah itu yang membuatmu lebih memilih aku daripada wanita-wanita yang menurutmu cantik karena berdandan plus berotak sedikit? Tapi kamu agak aneh dua bulan terakhir ini. Kamu lebih banyak menghilang. Bisnis. Bisnis. Itu alasanmu. Semua suami pejabat juga bilang begitu. Apanya yang kali ini membuatmu berbeda?

Kupikir kamu belajar menjadi romantis dengan tetek bengek bunga dan cokelat itu dari kawan-kawanmu. Aku mengenal mereka, sedikit-sedikit, tapi lumayan. Aku tahu mereka seperti kebanyakan lelaki yang suka mengatakan semua kata manis yang mereka baca dari buku dan dari obrolan seputar menaklukan gadis cantik dan bertubuh aduhai.

Kita duduk dalam diam. Aku melemparkan senyum tipis, kamu berpikir aku sedang menggoda, dan itu tandanya sebentar lagi kita berbaikan. Apakah aku terkesan manja?

Aku sakit. Karena lama menunggu kunjungan. Apakah urusan bisnis itu penting sekali dan tidak bisa ditinggal sehari saja?

Sayang, tidakkah kamu mengerti?

Tidak aku tidak mengerti. Semua wanita begitu.

Mami. Mami memang selalu datang di saat yang tidak tepat. Dia mengajak kamu masuk. Membetulkan kerah kemejamu seperti kamu itu putra sulungnya. Kupandangi kalian berdua dan kuyakin, kamu bukan pilihan yang terbaik. Berkat Mami, kita berbaikan. Mami pulalah yang mengusulkan kamu memesan pizza meteran. Mami ingin makan, dan bagimu, calon mertua adalah segala-galanya. Aku ada pada urutan ketiga, tentu saja setelah perempuan brengsek selingkuhanmu itu. Mami tak kuat makan bermeter-meter pizza yang kamu pesan. Jadi kita pindah ke ruang nonton, sambil menonton drama Korea—aku tidak suka drama Korea, aku suka film kolosal--kita ditemani mix-max dan sebotol besar root beer.

Kamu terlihat langsing,” begitu katamu. Untuk sesaat aku buta akan pemujaan dan cinta padamu. Setelah semenit lewat, aku sadar bahwa perempuan brengsekmu itu pun mungkin sering kamu puja-puji dengan kalimat yang sama. Tapi aku tetap mengucapkan terima kasih.

Aku sayang kamu. Kamu baik.”

Kamu menatapku dengan bola mata membesar. Aku tahu, itu gaya klisemu ketika berpura-pura terkejut sementara dalam hatimu kamu senang bukan main. Kepalamu membesar. Kamu pikir kamu selamat.

Sewaktu makan, ponselmu berdering, ringtone-mu Bruno Mars. Aku suka. Aku juga suka B.O.B. Ray. Ingin aku ajak kamu ngobrol tentang lagu-lagu yang sedang in di kalangan muda. Ingin aku minta kamu bernyanyi seperti Bruno bernyanyi di depan kekasihnya. Tapi kamu terlihat sibuk, tidak mau diganggu. Kamu bahkan minta izin ke teras dan bicara dengan berbisik-bisik, kadang berpura-pura berbicara bisnis. Lalu kamu masuk, mematikan ponsel. Aku yakin, kamu menonaktifkan ponselmu. Kamu takut sms masuk dan harus membukanya di depan batang hidungku.

Tahukah kamu, aku juga takut?

Kutatap layar ponselku yang menyala, sebuah pesan masuk. Kututup dengan pantatku. Kududuki saja. Kamu tersenyum, memberikan segelas root beer padaku. Kita ngobrol tentang rencana jalan-jalan bulan depan. Kita bertengkar tentang film jelek dan buku jelek. Kita berkompromi kapan waktu yang tepat untuk pergi berakhir pekan bersama. Secepat obrolan kita bergulir, waktu kunjunganmu pun habis. Aku merasa seperti tahanan wanita di Rutan Pondok Bambu. Aku tidak ingin kamu pulang. Aku ingin kamu pulang. Aku terbelah.

Kamu pamit, sudah malam, pukul sepuluh. Kamu pamitan pada Papi dan Mami yang duduk di ruang baca, seorang membaca koran, seorang menyulam. Mami menepuk-nepuk pipimu. Kamu tersenyum. Papi memesankan kamu hati-hati.

Beristirahatlah. Kamu terlalu banyak bekerja.” Papi sempat berpesan.

Kuantar kamu ke depan. Kamu nyalakan mobil. Kamu cium punggung tanganku. Aku tahu kamu baru belajar, seorang pemula yang ingin romantis untuk menutupi sesuatu. Kamu masuk ke mobil dan lampu depan menyala. Kamu berputar, aku menepi. Kamu keluar gerbang, memencet klakson dua kali. Aku masih merasa seperti pohon beringin tua. Kamu turunkan kaca jendela, melambai, tersenyum. Aku berpaling, menutup gerbang dan masuk ke dalam rumah. Ponselku bergetar hebat, membuat pahaku geli. Aku angkat, bukan kamu, tapi dia.

Hai!

Aku senang. “Sedang apa kamu?

Maukah kamu menemaniku ke puncak, Sabtu nanti?

Untuk apa?

Ingin kukenalkan kamu pada Papi dan Mami.”

Wow, cepatnya!

Aku tak kuasa menahan serangan kejut.

Sepuluh meter di depan, lelaki itu, kekasihku, menghidupkan ponselnya. Dia telepon seseorang yang terdengar kesal dan ngambek padanya. Dia melirik ke jok belakang, sebuah buket bunga mawar putih tergeletak rapi. Sepanjang jalan dia berusaha menyamakan suaranya dengan suara Adam Levine yang sedang menyanyikan She Will Beloved. Dia menuju ke selingkuhannya.