Tampilkan postingan dengan label Sindhunata. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sindhunata. Tampilkan semua postingan

Review Anak Bajang Menggiring Angin

Jumat, 09 Maret 2012



Anak Bajang Menggiring Angin

by Sindhunata

"Terimalah perhiasanku ini, Nak," kata Dewi Sukesi. Dan perempuan tua ini pun mengalungkan untaian kembang kenanga di dada Kumbakarna! Mendadak alam pun membalik ke masa lalu. Tanpa malu-malu. Jeritan kedukaan menjadi madah syukur sukacita. Bermain-main anak-anak bajang di tepi pantai, padahal kematian sedang berjalan mengintai-intai. Gelombang lautan hendak menelan anak-anak bajang, tapi dengan kapal kematian anak-anak bajang malah berenang-renang menyelami kehidupan. Hujan kembang kenanga di mana-mana, dan Dewi Sukesi pun tahu, penderitaan itu ternyata demikian indahnya. Di dunia macam ini, kebahagiaan seakan hanya keindahan yang menipu. Sukesi terbang ke masa lalunya, ke pelataran kembang kenanga. Ia tahu kegagalannya untuk memperoleh Sastra Jendra ternyata disebabkan oleh ketaksanggupannya untuk menderita. Ia rindu akan kebahagiaan yang belum dimilikinya, dan karena kerinduannya itu ia malah membuang miliknya sendiri yang paling berharga, penderitaannya sendiri. Dan pada Kumbakarna lah kini penderitaan itu menjadi raja.

Sejak penerbitannya yang pertama, buku Anak Bajang Menggiring Angin ini sangat disukai para pembaca. Oleh banyak pengamat sastra, buku ini dianggap sebagai kisah wayang yang bernilai sastra. Pengarang menimba ilham penulisan buku ini dari kisah Ramayana, yang hidup dalam masyarakat Jawa.

Karena gaya bahasa sastranya yang khas, karena imajinasi simboliknya yang kaya, dan karena penggalian makna-makna filosofis yang dalam, buku ini tak dapat dianggap sebagai sekadar salah satu versi dari kisah Ramayana, melainkan sebagai penciptaan kembali kisah tradisional Ramayana ke dalam bentuk sebuah kisah sastra. Buku ini menampilkan suatu kisah, yang mengandung sesuatu kemustahilan, sesuatu yang asing bagi pengalaman biasa, sesuatu impian kosong bila dipandang dari kenyataan harian manusia. Tapi kekuatan dari karya sastra ini justru terletak dalam menampilkan impian-impian itu menjadi suatu jalinan kisah insani, yang membuat impian-impian itu tampil sebagai cita-cita yang dirindukan manusia. Siapa dapat memastikan : apakah kenyataan itu sesungguhnya impian dan impian itu justru sesungguhnya kenyataan? Karya sastra ini memberi harga yang mahal dan nilai yang tinggi terhadap impian manusia.

Gramedia Pustaka Utama 1983

Gilang: Salah satu cerita kolosal tentang Rama dan Shinta yang dibalut dalam sebuah cerita pewayangan. Layak untuk dijadikan sebuah koleksi sepanjang masa yang pernah ditulis oleh penulis indonesia, meskipun terkadang kita sangat sulit untuk mendeskripsikan suasana dalam buku tersebut yang penuh dengan fantasi dalam duni perwayangan. Klo suka Wayang dan Ramayana, Hukumnya wajib memiliki buku ini

Nuning: Janganlah terheran-heran jika melihat bahasa sastra tingkat tinggi yang mampu meruwetkan pikiran Anda yang hendak membacanya. Hal itu dapat terlihat hanya dari sebuah judulnya saja.

Pembacanya juga harus mampu menginterpretasikan maksud-maksud kalimat dari Sindhunata, yang menceritakan kembali mengenai Ramayana dengan gaya bahasanya sendiri.

Tika: Saat 'mengawal' Ki Enthus Susmono di Surabaya, seorang kawan bertanya pada beliau, "Pak, buku pewayangan yang enak dibaca itu apa ya?". Singkat, padat, dan jelas, Ki Enthus menyebutkan buku ini: Anak Bajang Menggiring Angin.

Rasanya tidak salah kalau buku ini direkomendasikan oleh dalang sekaliber Ki Enthus. Tidak hanya gaya bahasanya yang apik dan mudah dimengerti, penambahan dan sedikit reduksi kisah pewayangan dilakukan dengan rapi. Efeknya ya jadi enak dibaca, nggak berbelit-belit karena cerita pewayangan yang sesungguhnya tidak sesimpel yang dituturkan Sindhunata.

Ilustrasi-ilustrasinya juga unik dan artistik, tidak asal tempel seperti buku-buku pada umumnya. Five-star deh pokoknya!

Anton: Ketika membeli buku ini, saya sama sekali tak melihat ulasan di sampul belakang. Jaminannya cuma satu, Sindhunata. Pemimpin Redaksi Majalah Basis ini penulis yang bernas. Saya juga pernah baca dua bukulnya yang lain, Tak Enteni Keplokmu dan Pasar. Maka, saya yakin buku Anak Bajang Menggiring Angin ini juga bagus.

Tapi, ternyata dugaan saya tidak sepenuhnya tepat. Buku yang sudah diterbitkan sepuluh kali sejak tahun 1983 ini tak sebagus yang saya kira. Saya juga kemudian baru sadar, cerita di buku ini berasal dari epik Ramayana. Kalau dalam bahasa anak muda sih ini cerita tetang zaman bahuela.

Cerita dalam buku setebal 467 halaman ini tentang kisah klasik Rama merebut istrinya, Dewi Sinta, yang diculik Rahwana. Ya, intinya seputar itulah. Rama bersama pasukan kera dipimpin Sugriwa dan Anoman kemudian menyerbu Alenhka di mana Rahwana berkuasa.

Tapi, kiasan dan metafora dalam buku ini tak melulu tentang cinta tapi juga ketamakan manusia, kemauan untuk berkorban, cinta kasih, godaan hidup, dan seterusnya. Banyaknya tema yang diceritakan dalam buku sami mawon dengan banyaknya tokoh dan alur dalam buku ini. Membingungkan.

Namun, hal yang justru tak saya suka adalah akhir cerita. Setelah akhirnya Rama bisa mengalahkan Rahwana, dia masih saja rag dan cemburu. Maka, dia pun memerintahkan agar Sita menguji kesuciannya dengan membakar diri. Atas nama kesetiaan, Sinta pun membakar diri.

Lalu, karena cemburu, Rama pun kehilangan istrinya. Ah, lelaki kalau cemburu memang suka buta mata. Cemburu memang melahirkan sendu. Saya benci itu.

Ayanapunya: Prabu Danareja, penguasa kerajaan Lokapala jatuh cinta pada Dewi Sukesi, putri Raja Sumali dari Alengka. Rasa cintanya yang begitu besar membuat Lokapala dirundung muram. Sayangnya untuk bisa mendapatkan Dewi Sukesi, Danareja harus bisa mengalahkan Arya Jambumangli, paman Dewi Sukesi. Berceritalah Prabu Danareja kepada Begawan Wisrawa, ayahnya. Rasa cinta yang begitu besar kepada putranya membuat Begawan Wisrawa menawarkan diri untuk turun tangan. Berangkatlah Begawan Wisrawa menuju Alengka, menemui Raja Sumali yang juga adalah sahabatnya, dan menyampaikan keinginannya melamar Dewi Sukesi untuk anaknya.

Namun meskipun keduanya bersahabat, Raja Sumali tetap tak bisa meluluskan permintaan Begawan Wisrawa. Hal ini disebabkan karena Dewi Sukesi hanya bersedia menyerahkan dirinya kepada orang yang bisa menguraikan makna Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu kepadanya. Demi kecintaannya kepada putranya, Begawan Wisrawa akhirnya menyetujui syarat tersebut. Sayangnya keduanya gagal dalam upaya menguraikan Sastra Jendra tersebut. Kegagalan yang akhirnya melahirkan sosok yang dikenal dengan nama Rahwana.

***

Retna Anjani, Guwarsa dan Guwarsi adalah putra-putri Resi Gotama. Ketika sedang bermain dengan burung dara, Retna Anjani mengeluarkan sebuah benda pusaka. Kedua kakaknya tanpa sengaja melihat benda pusaka tersebut dan menanyakannya kepada Retna Anjani. Takut rahasianya ketahuan, Retna Anjani berlari mendatangi ayahnya. Rupanya benda pusaka tersebut adalah cupu manik astagina, cupu milik leluhur para dewa. Mengetahui hal tersebut, Guwarsa dan Guwarsi pun mengingikan cupu tersebut. Resi Gotama pun bertanya dari mana Retna Anjani memperoleh benda tersebut. Dan setelah mengetahui kalau Retna Anjani memperoleh cupu tersebut dari ibunya, Resi Gotama pun menanyakan hal yang sama kepada istrinya tersebut. Sayangnya Dewi Windradi tidak bersedia memberi tahu dari mana ia memperoleh cupu manik astagina tersebut. Marah, Resi Gotama pun mengucapkan sumpah kepada Dewi Windradi yang membuatnya berubah menjadi batu, kemudian tugu batu jelmaan Dewi Windradi tersebut dilemparkannya ke Alengka. Belum cukup, dilemparkannya cupu manik astagina ke udara, yang kemudia menjadi Telaga Nirmala dan Telaga Sumala.

Singkat cerita, Guwarsa dan Guwarsi pergi mengejar cupu manik astagina, sementara Retna Anjani mengikuti mereka. Sesampai di Telaga Sumala, ketiganya berubah menjadi kera. Dalam rupa kera tersebut mereka bertiga diminta untuk bertapa. Guwarsa -yang berganti nama menjadi Subali- melakukan tapa ngalong, Guwarsi -yang juga berganti nama menjadi Sugriwa- melakukan tapa ngidang, sedang Retna Anjani melakukan tapa nyatuka. Dalam tapa nyatuka-nya inilah Retna Anjani akhirnya dianugerahi seorang anak berwujud kerap putih yang diberi nama Anoman.

***
Dasarata, raja Ayodya berburu ke hutan. Dalam perburuannya tersebut tanpa sengaja ia membunuh seorang lelaki yang menjadi tulang punggung kedua orang tuanya. Dengan penuh penyesalan, Dasarata membawa mayat anak lelaki tersebut ke hadapan orang tuanya. Namun rupanya penyesalan yang besar tak cukup untuk menebus kesalahan yang dilakukan Dasarata. Dalam kesedihannya, kedua orang tua tersebut akhirnya menyusul kematian putra satu-satunya. Sesaat sesudah menghilannya jasad tiga orang tersebut, terdengarlah suara dari langit yang menyebutkan bahwa Dasarata kelak akan dipisahkan dari putranya yang tercinta, bukan oleh pedang atau panah, melainkan karena seorang wanita.

Usai peristiwa tersebut Dasarata kembali ke Ayodya, memerintah negerinya dengan bijaksana. Sayangnya meski sudah bertahun-tahun memerintah, Dasarata belum juga dikaruniai seorang anak pun dari ketiga istrinya. Maka dilakukanlah pemujaan besar kepada Dewa. Pemujaan berhasil. Ketiga istri Dasarata, Dewi Sukasalya, Dewi Kekayi dan Dewi Sumitra secara bersamaan mengandung. Kelak dari ketiga istri Dasarata tersebut lahirlah Ramawijaya, Barata, dan si kembar Laksmana dan Satrugna.

***

Saya mengetahui kisah Ramayana ketika serial versi Indianya ditayangkan di salah satu televisi swasta belasan tahun lalu. Tak banyak yang saya ketahui tentang kisah Ramayana kala itu. Yang saya ketahui Ramayana bercerita tentang upaya Rama dalam membebaskan istrinya, Sinta dari cengkeraman Rahwana.

Pertama kali saya mengetahui buku ini adalah ketika membaca salah satu MEME milik Ardi, yang menyebutkan kalau buku ini adalah buku Indonesia terbaik yang pernah ia baca. Beberapa bulan kemudian, saya akhirnya menemukan buku ini di Gramedia. Namun karena keterbatasan dana membuat saya mengurungkan niat untuk membeli buku tersebut. Sampai akhirnya ketika sedang mengisi waktu menunggu pemutaran Harry Potter, saya menemukan buku ini dalam keadaan tak bersampul. Tanpa pikir panjang saya duduk di salah satu bangku yang disediakan di Gramedia dan mulai membaca.

Sejak halaman pertama saya disuguhi kalimat-kalimat dengan penuh perumpamaan yang ajaibnya membuat saya jatuh cinta. Halaman demi halaman berlalu tanpa saya sadari. Sampai pada bab ketika Rama menikahi Sinta, saya memutuskan berhenti dan mengembalikan buku ini ke raknya. Siapa sangka dua minggu kemudian saya kembali ke Gramedia untuk membeli buku ini.

Banyak filosofi menarik yang saya dapatkan selama membaca buku ini. Tentang kepemimpinan, kebijaksanaan, juga tentang cinta. Misalnya ketika Rama memberi wejangan kepada Barata adiknya, yang dengan terpaksa menggantikan kedudukannya sebagai raja Ayodya selama Rama dalam pengasingan.

"Barata, apakah satu-satunya milik rakyat yang paling berharga dan bernilai, kalau bukan kebebasannya. Kalau mereka mengangkatmu menjadi raja, berarti mereka rela menyerahkan sebagian dari milik mereka satu-satunya itu. Janganlah kau sia-siakan pemberian rakyatmu itu, hargailah dan hormatilah. Dengan demikian tugasmu sebagai raja bukan pertama-tama untuk memerintah, melainkan untuk menyuburkan hidup mereka sebagai manusia, yakni manusia yang berkembang kebebasannya." (hal. 130)

Atau ketika Laksmana menasehati kakaknya yang sedang bersedih karena kehilangan Sinta.

"Kakakku, adakah kelopak bunga mekar kalau belum musimnya? Dan masakan mega mengisi angkasa kalau tiada maksudnya? Siapakah yang mempertemukan cinta lelaki dan perempuan kalau bukan perpisahan? Hidup ini beredar Kakakku, bagaikan angin Dewa Bayu. Dalam kehidupan yang berjalan inilah pertemuan dan perpisahan beradu." (hal. 172).

Sisi menarik lainnya, Rama, yang selalu saya anggap sebagai tokoh utama Ramayana digambarkan sebagai sosok yang penuh keraguan dan agak sedikit gegabah. Jika saja tak ada Laksmana di sampingnya, juga Anoman serta Wibisana, mungkin Rama takkan pernah berhasil dalam menjalankan tugasnya.


Lutfi: Kayaknya aku pernah baca buku ini waktu SD. Tapi waktu itu aku nggak terlalu tertarik.
Sindhunata menulis ulang Ramayana versi Jawa dengan gaya bahasa yang puitis. Tokoh2 di sini digambarkan seperti tokoh wayang jawa. Tidak ada orang yang benar-benar baik dan juga tidak ada orang yang benar-benar jahat. Rama yang jadi simbol kebaikan pun di sini digambarkan sebagai orang yang peragu.

Novel ini bagus, tapi waktu baca aku jadi inget sama film India. Kenapa? Terlalu banyak adegan banjir darah dan bunga-bunga bertebaran dari langit (India banget nggak sih?)

Ada banyak kata-kata petuah dalam novel ini yang engga menggurui. Inti dari novel ini adalah selama ada kejahatan pasti masih ada kebaikan. Kejahatan muncul akibat keserakahan seseorang untuk memiliki sesuatu. Salah satu kalimat yang aku suka:

“Cahaya itu adalah Sastra Jendra dalam hatimu sendiri. Maka, jangan camkan aku. Camkan hatimu sendiri. Tak ada manusia atau pribadi. Yang ada hanyalah manusia dan pribadi dalam hatimu. Kebijaksanaan manusia tersembunyi dalam hatimu sendiri seperti malam yang bersayapkan terang, seperti kehidupan bersayapkan kematian. Kebijaksanaan hati itulah Suksesi, yang seharusnya bicara dan kaupatuhi.”

Preview Novel PUTRI CINA

Sabtu, 27 Agustus 2011

Putri Cina

by Sindhunata

Kita datang ke dunia ini sebagai saudara,

tapi mengapa kita mesti diikat pada daging dan darah,

yang ternyata hanya memisahkan kita?


Itulah tragika anak manusia yang digeluti oleh novel Putri Cina ini. Novel ini melukiskan, bagaimana anak manusia itu ingin mencintai bumi tempat ia berpijak. Tapi ternyata bumi tersebut tak mau menjadi tanah airnya yang aman, damai dan tentram. Ia yakin, dengan dilahirkan di dunia, semua manusia adalah saudara. Tapi mengapa manusia-manusia di bumi tempat ia berpijak itu tak mau menerima dirinya sepenuh-penuhnya?

Sindhunata berhasil menerjuni tragika itu dalam pelbagai lika-likunya. Ia menggeluti tragika itu lewat pengetahuannya yang luas dan kaya tentang filsafat dan mitos, baik Jawa maupun Cina. Tragika itu juga ditelusurinya lewat babad dan sejarah. Lalu dijalinnya semua itu dalam sebuah sastra tentang Putri Cina.

Putri Cina adalah sebuah sastra tragedi yang indah dan kaya akan permenungan hidup. Dengan cara bertuturnya yang khas, novel ini akan membawa pembacanya ke dalam sebuah alam, di mana mitos dan kenyataan historis sedemikian bersinggungan tanpa pernah terpisahkan. Di sini sejarah seakan hanyalah panggung, tempat tragika mitos mementaskan dirinya.

Dengan amat menyentuh, novel ini berhasil melukiskan, bagaimana di panggung sejarah

yang tragis itu cinta sepasang kekasih yang tak ingin terpisahkan oleh daging dan darah pun akhirnya hanya menjadi tragedi yang mengharukan hati.

Preview

Saya: MEMBACA PUTRI CINA INI, KITA MULAI BERPIKIR BAHWA TERNYATA NENEK DARI RAJA-RAJA JAWA ITU ADA YANG BERASAL DARI NEGERI CINA/ORANG CINA...JADI TOLONG, INDONESIA BUKAN MILIK ORANG PRIBUMI DONG (seperti kata penjajah BELANDA itu)

I'm on page 120 of 304 of Putri Cina: Putri Cina menyaksikan bagaimana sukubangsa mereka ditumbalkan oleh pribumi yang saling bertikai.. pribumi2 yang menyedihkan, yg hanya bisa isi dan dengki tanpa berusaha...itulah pribumi INDONESIA

Gonk Bukan Pahlawan Berwajah Tampan: 2 tahun ini tiap tujuhbelasan kok ya mesti kepengen membacai buku ini....

An: Sejarah or fiksi? Dongeng lebih tepat na.

Dlm bagian setengah awal buku ini dpt mpkaya dongeng or legenda yg tjd d tnh jawa.

Awal na tampak spt pcarian identitas si putri cina, menarik utk diikuti. Sayang tlalu ribet pencarian tsb sampe penulis kebingungan sdr seakan menyebut semua cewe’ cina dsb purti cina. Identitas tokoh tampak buram, jadi siapa putrid cina? Dia makluk abadi yg hidup sepanjang jaman or memang benar semua cewe’ cina? Trus mana putri yg asli, yg bukan putra kli ya….. hehehehe…

Sampai akhir na bkisah ttg giok tien. Nah di sini baru mapan. Mungkin smua awal na spt debu yg g m’akar. Mulai dr sni crita bs tampak jelas juntrung na.

Smua dongeng mengisahkan sejarah or mitos ptikaian yg tjd antar manusia. Apakah ini seakan membenarkan smua ptikaian slm ini tjd? Ntah, rhe juga g tau. Tserah dongeng itu mw diinterpretasikan spt apa.

Mitos yg menetaskan diri dari sejarah shg hny tampak spt lakon wayang saja. Jk mmg sejarah pudar sebagai mitos, pantas saja kaum muda g mengenal sejarah bangsa na cz mereka sdh tlalu dicekokin dongeng. Jadi antara fakta sejarah tersamarkan ma imajinasi mitos. Sedih… melihat sejarah hilangan akar ‘n digantiin mitos ma dongeng semata.

Lepas dr dongeng yg mengaburkan sejarah, keberadaan na dianggap sumber permenungan bagi pendengar na. Spt tema yg diangkat putrid cina ttg pbedaan etnis dan ketidak adilan yg ditimpakan pd mereka sbg kambing hitam kekuasaan. Memberitahu kita spy jangan semena” thadap etnis cina cz selama ini mereka hny boneka yg dpelakukan g adil. Namun disamping itu, ntah knp dkisahkan seakan org cina adl org lemah thd ktidakadilan tsb cz mrk g mlakukan plawanan ‘n pasrah dg ketidakadilan yg mereka terima. Nah, dr sisi ini rhe juga g setuju cz menampakan bahwa orang jawa tampak sangat arogan, tukang semena”. Benarkah?

Toh fakta na, g semua orang cina baik ‘n g smua org jawa jahat dalam kasus pselisihan antar etnis ini. Sama” manusia yg dlahirkan k dunia, mengapa kita bukan saudara???

Franditya: Sindhunata, seorang penulis novel yang menjadi karya sastra klasik: “Anak Bajang Menggiring Angin” (1983), terinspirasi dalam sebuah pameran lukisan dan berkenan hati untuk menuangkan imajinasinya ke dalam tulisan apik berjudul “Putri Cina” (2007). Kepiawaiannya dalam menafsirkan mitologi Jawa dalam berbagai serat dan babad, terutama Babad Tanah Jawa, nampaknya menjadi sumber utama dalam menarasikan kisah Giok Tien, tokoh utama dalam cerita itu. Babad Putri Cina yang sedianya menjadi katalog pendamping pameran lukisan itu, dengan tangan dingin, dibuatnya menjadi karya sastra kritis tentang ‘genealogi’ kekerasan minoritas etnis Cina di Indonesia. Bukan sekadar catatan sejarah yang ia telusuri, namun cerita-cerita pewayangan ia refleksikan sebagai basis nilai. Menurutnya, sumber kekerasan yang menimpa etnis Cina di Indonesia erat kaitannya dengan moral ekonomi dan tradisi sebagian masyarakat Tionghoa sebagai perantau, yang dijiwai semangat taoisme: sebuah pencapaian harmoni antara kebutuhan material dan spiritual. Namun pada praktiknya, mengapa orang-orang Cina di perantauan kerap menjadi korban kekerasan dan pembantaian? Sindhunata mencoba menjawabnya dengan melacak akar kekerasan dengan menafsirkan sebuah mitologi jawa tentang kisah awal mula penciptaan dunia Jawa.

Harblue: bagi pembaca novel yang terbiasa dengan alur yang lurus, seperti saya, mungkin akan sedikit kesulitan jika kurang fokus membaca novel ini. tapi, jika sabar menguntit ceritanya dan coba memahami, maka akan terasa kenikmatannya.

tak jelas siapa Putri Cina, tokoh utama dalam novel ini, bahkan, untuk sekedar menggambarkan kecantikannya. Abstrak. tapi, kurasa Sindhunata, sang penulis, bukannya tak mampu, melainkan sengaja membuatnya demikian, karena kekuatan novel ini justru pada ceritannya.

Putri Cina dalam novel ini, tafsirku, mewakili etnis Cina di negeri ini (termasuk Sindhunata yang juga merupakan keturunan cina), Indonesia. Sindhunata, dalam novel ini, seperti hendak mengatakan bahwa etnis Cina juga merupakan bagian dari negeri ini, bukan orang asing yang selama ini sering terpatri dalam otak dari kebanyakan orang indonesia. Etnis Cina telah sejak lama menjadi bagian dalam pembentukan negara Indonesia.

namun, Sindhunata tidak memperlihatkan keberpihakan berlebih pada etnis Cina. Ia juga mengkritik etnis Cina yang kini terjerumus dalam kenikmatan duniawi. padahal, sifat orang cina sesungguhnya seimbang antara rohani dan duniawi. kepincangan inilah yang membuat orang cina menjadi lupa dengan keadaan orang disekitarnya. mereka begitu asik menikmati kehidupan masing-masing

tokoh Putri Cina dalam novel ini melampaui ruang dan waktu. sesekali ia berada dalam jaman kerajaan (majapahit, misalnya), lalu melompat ke tahun 1740, 1916, 1946, dan 1947, masa ketika orang-orang Cina mengalami kekerasan. Putri Cina juga sempat berada di negeri dongeng. Di masa ini Sindhunata mengobrak-abrik mitos Semar yang selama ini disanjung oleh kebanyakan orang Jawa sebagai tokoh baik, ternyata adalah tokoh utama, sang pencipta, semua kekerasan yang terjadi di tanah Jawa.

meskipun novel ini sarat dengan kritik terhadap kehidupan orang Indonesia, tak terasa sama sekali bahasa orasinya. Sindhunata menuliskan cerita ini seperti dongeng, sehingga membuat novel ini sangat menarik untuk dibaca. TOTAL!

manusia ini tak punya akar
dia diterbangkan ke mana-mana
seperti debuyang berhamburan di jalanan.
ke segala arah, bertumbukan dengan angin
ia jatuh terguling-guling.
memang hidup kita ini sangatlah pendek.
kita datang ke dunia ini sebagai saudara;
tapi mengapa kita mesti diikat pada daging dan darah?

(sajak T'ao Ch'ien dala Putri Cina, hal:9)

Irma Dana: menceritakan kenapa banyak orang cina di Indonesia, Sejak ada Putri Cempa.... bener gak ya:)

Ra’to+r: ternyata perulangan stereotipe itu ada dan berbahaya....

Amarilldo: cerita dalam buklu ini sangat bagus dan sangat bersinggungan dengan mitos, kenyataan dan juga fantasi dari penulis, membuatnya enak untuk dibaca dan penuh dengan dinamika kehidupan manusia, tetap cinta yang menjadi fokus utama, memang rasanya tidak ada artinya hidup ini tanpa cinta.

Gunawan Rudy: Tragedi, cinta, berbalut dalam sebuah novel dengan gaya bahasa yang sangat-sangat indah. Tentang identitas manusia yang dimampatkan dan dipertanyakan.

Sian: Seperti biasanya, Sindhunata mumpuni dalam mengemukakan suatu fakta tragis dengan balutan nuansa filosofis-budaya yang kental.

Anni: Terus terang saya kurang suka buku ini karena bahasanya membosankan dan bolak balik.