Tampilkan postingan dengan label Penerbit Qanita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Penerbit Qanita. Tampilkan semua postingan

Review A Thousand Splendid Suns

Selasa, 20 Maret 2012






A Thousand Splendid Suns

by Khaled Hosseini, Berliani M. Nugrahani (Translator)

Indonesian version of A Thousand Splendid Sun

Translator: Berliani M. Nugrahani

Penyunting: Andhy Romdani

Hati pria sangat berbeda dengan rahim ibu, Mariam. Rahim tak akan berdarah ataupun melar karena harus menampungmu.

"Hanya akulah yang kaumiliki di dunia ini, dan kalau aku mati, kau tak akan punya siapa-siapa lagi. Tak akan ada siapa pun yang peduli padamu. Karena kau tidak berarti!"

Kalimat itu sering kali diucapkan ibunya setiap kali Mariam bersikeras ingin berjumpa dengan Jalil, ayah yang tak pernah secara sah mengakuinya sebagai anak, Dan kenekatan Mariam harus dibayarnya dengan sangat mahal. Sepulang menemui Jalil secara diam-diam, Mariam menemukan ibunya tewas gantung diri.

Sontak kehidupan Mariam pun berubah. Sendiri kini dia menapaki hidup. Mengais-ngais cinta di tengah kepahitan sebagai anak haram. Pasrah akan pernikahan yang dipaksakan, menanggung perihnya luka yang disayatkan sang suami. Namun, dalam kehampaan dan pudarnya asa, seribu mentari surga muncul di hadapannya.

Qanita 2007

Iyut: dapet dari GRI Book Challenge :)
baru sampai di Jogja tgl 14 April 2011.. waktu untuk membaca tinggal 16 hari..512 halaman >,<
semangaaaat..

-----------------------------------------

Mendapat buku ini dari GRI Book Challenge membuatku dihadapkan pada 2 pilihan, menyelesaikan membaca dengan batas waktu akhir April dan membuat resensi, atau di-black list tidak boleh ikut GRI Book Challenge lagi untuk seterusnya. Paket buku tiba di Jogja tanggal 14 April, berarti hanya ada waktu sekitar 16 hari untuk membaca buku setebal 500an halaman ini. Bagiku yang akhir-akhir ini kesulitan mencari waktu untuk membaca, ini cukup menantang. So, kutetapkan target minimal membaca 35 halaman per hari. Tidak sulit ternyata, karena kisah yang ditulis Khaled Hosseini ini alur ceritanya mengalir, tidak membuatku bosan mengikuti runtutan kisah hidup tokoh utama buku ini, Mariam dan Laila, sejak kecil hingga dewasa. Kisah ini berlatar situasi Afghanistan saat negara itu dikuasai kaum komunis, dijajah Soviet, kemudian masa-masa di bawah kekuasaan Mujahidin dengan pertikaian antarfaksinya, hingga kemudian Taliban menguasai Afghanistan dan penerapan hukum berdasarkan Syariah-nya, ditutup dengan situasi Afghanistan tahun 2003, setahun setelah Taliban diusir dari kota-kota besar Afghanistan.

Bagian pertama buku ini diawali dengan kisah Mariam, tentang masa kecilnya di Herat sebagai anak haram Jalil, pengusaha kaya, yang memilih “membuang” Mariam dan ibunya Nana, menempatkan mereka di sebuah kolba di suatu tempat agak di luar kota, hingga kemudian hidup Mariam berubah drastis saat usianya menginjak 15 tahun, ketika ia menjadi piatu kemudian dijodohkan dengan Shareed yang jauh lebih tua darinya, dan harus pindah ke Kabul mengikuti suaminya. Manis pahit hidup Mariam sebagai istri diceritakan hingga tahun 1978, saat terjadi kudeta kekuasaan dan pihak komunis mulai berkuasa.

Kemudian kisah bergulir ke bagian kedua, kisah Laila kecil, pada tahun 1987 saat Afghanistan masih dijajah Soviet yang menduduki negara itu satu setengah tahun sejak kudeta 1978, hingga Laila remaja, di tahun 1992 saat kaum Mujahidin berhasil menguasai Afghanistan. Kisah hidup Laila bersama Babi (ayahnya) yang suka membaca dan selalu mengajari Laila berbagai hal, dan Mammy (ibunya) yang depresi karena kedua kakak lelaki Laila pergi berjihad melawan Soviet dan kemudian gugur. Kisah Laila bersama Tariq, sahabat lelakinya yang berkaki satu akibat terkena ranjau darat. Kisah Laila bersama Giti dan Hasina, sahabat-sahabat perempuannya.

Saat Laila berusia 14 tahun, perang saudara meletus di Afghanistan. Di sini kisahnya mulai menguras hati, ada kehilangan, ada kesedihan, ada perpisahan. Bagian kedua ditutup dengan serangan roket, yang meluluhlantakkan rumah Laila dan membawa kisah hidupnya terjalin dengan kisah Mariam pada bagian ketiga.

Membaca bagian ketiga buku ini berefek samping pegal hati (haha, di sini mungkin perlunya jamu pegal linu :D). Kisah Laila dan Mariam diceritakan secara bergantian. Bagian yang paling bikin capek, selain KDRT yang mereka alami, adalah masa-masa kekuasaan Taliban dengan hukum Syariahnya di tahun 1996. Membaca undang-undang yang ditetapkan Taliban membuatku hampir tidak bisa menahan diri untuk merobek-robek halaman tersebut saking gemasnya (lebay..hehe, sayang bukunya kalau dirobek). Terutama bagian peraturan untuk perempuan: tidak boleh keluar rumah tanpa ditemani muhrim laki-lakinya, tidak boleh menunjukkan wajah, tidak boleh berbicara kecuali diajak berbicara, tidak boleh tertawa di depan umum, anak perempuan tidak boleh bersekolah, perempuan tidak boleh bekerja. Hadeeeh..rasanya perempuan tidak dianggap manusia. Dan mungkin memang demikian, mengingat kata-kata ayah Laila sebelumnya (halaman 169): Perempuan tidak pernah dianggap di negeri ini, Laila, tapi sekarang, di bawah rezim komunis, perempuan mungkin lebih mendapatkan kemerdekaan dan berbagai macam hak lain yang tak pernah mereka dapatkan sebelumnya. .. Tentu saja, kemerdekaan perempuan juga menjadi salah satu alasan bagi orang-orang di luar sana untuk mengangkat senjata lantaran kebakaran jenggot.

Pada masa berkuasanya Taliban, fasilitas untuk perempuan semakin minim, rumah sakit khusus untuk perempuan tidak dilengkapi dengan baik, tidak ada air bersih, listrik, suplai peralatan dan obat-obatan terbatas. Membaca bagian operasi Caesar yang terpaksa dilakukan tanpa obat bius beneran membuat ingin meng-khitan para Taliban itu berkali-kali tanpa suntikan obat bius juga.

Bagian ketiga meski menyayat hati tapi juga paling seru menurutku. Klimaksnya ada di sini, karena setelah itu, bagian keempat terasa hanya sebagai tempelan untuk menutup kisah ini dengan manis.

Salah satu poin yang bisa kutarik dari buku ini adalah: jangan menyimpan amarah terlalu lama, karena pada akhirnya nanti kita juga yang akan menyesal, mengapa tidak memaafkan saat masih ada kesempatan untuk itu (teringat hubungan ayah anak yang penuh kepahitan, kekecewaan dan penyesalan antara Jalil dan Mariam).

Catatan terkait editan buku: tidak banyak typo kutemukan di buku ini, atau mungkin aku saja yang kurang memperhatikan karena terlalu asyik tersedot dalam ceritanya. Yang kudapati hanya 2 kesalahan saja. Yang pertama di halaman 146 paragaraf nomor 2 dari bawah, tertulis: “Biji-bijian, Sayang,” kata Hasina. “Kalian harus ingat. Kecuali , tentu saja”—sekarang dia menyeringai dan menyikut Mariam—, semestinya bukan Mariam, melainkan Laila karena di bagian ini kisah sudah beralih ke Laila, dan yang sedang diceritakan adalah percakapan Laila dengan dua temannya, Hasina dan Giti. Typo satu lagi aku lupa mencatat di halaman berapa letaknya :P
Yang sedikit mengganggu adalah banyaknya kata asing yang tidak disertai keterangan ataupun catatan kaki untuk menjelaskan artinya. Tidak sampai mengganggu kenyamanan membaca tapi kadang cukup membuat bertanya-tanya.

Yippppieeee.. reviewnya kelar, walau seadanya. Aneh rasanya membuat review karena di-wajib-kan, biasanya membuat review itu tergantung ‘panggilan’ bagiku, hihihi. Semoga tidak di-blacklist untuk ikutan GRI Book Challenge berikut berikut berikutnya :)

Otis: I'm not sure if I love Khaled's characters (see my review of The Kite Runner), but the man can tell a story. I think all Americans need to read this book, as it helps to understand and sympathize with what the people in Afghanistan have gone through. Particularly interesting as the book spans 30+ years and paints a very graphic picture of how Afghanistan changed in that time. From Russian communists to warlords to the Taliban to US Army, there have been no shortage of invaders and wars, and victims. Khaled leaves out little of the misery and death, but also focuses on how life invariably always finds a way.

So a little sad, but I liked it. I think the thing I liked most was that I've read so few books about that area of the world, and now I feel like I've gotten to know it, just a tiny bit.

LeAnn: I requested A Thousand Splendid Suns from my local library, and after waiting four months, I decided to request The Kite Runner since it was Hosseini's first book. I ended up getting both at the same time, but I listen to TKR in the car while commuting to my daughter's school,so I finished ATSS first. Perhaps that's the right order because several readers on GoodReads have worried that the second novel couldn't compare favorably to the first.

I liked Laila and Maryam's story a lot and I'm grateful for the opportunity to get to know Afghanistan's recent history through the eyes of a gifted storyteller. I have so much more compassion for the Afghan people now that I know in intimate detail what they have suffered. I notice news stories about Afghanistan more. Yesterday, I saw that the Afghan government released survival rates for children under 5, saying that now there is improved health care nearly 90,000 children have survived to their fifth birthdays. Under the Taliban, 85% of the population had no health care at all.

I thought his storytelling was exceptional. However, having two main characters made it a bit tricky. There can only be one climactic moment in a novel, and it felt like it came at the end of Maryam's last chapter. I stayed up late reading right up until that point in the story; it was like a thriller. But after the climax, I had to read several chapters and I found my interest waning.

Normally, I'm the first one to want a novel to offer hope at the end. I just debated this issue with friends. One friend complained that a novel she had read ended up too neat and happy after all the tragedy in the story. While I hadn't felt that way about the novel she mentioned, I almost feel that way about A Thousand Splendid Suns. That's why I rated it a 4. But I feel bad for doing it.

Hosseini is definitely someone to keep reading. His first novel is amazing (at least as far as I've gotten) and his second nearly so. We need more novelists like him.

Weni: Selesai juga akhirnya, meski dengan kecepatan membaca seperti kura2 (mengutip kalimat Syl) :D

Sepertinya saya paling setuju dengan komentar USA Today tentang buku ini: "perut serasa diaduk, emosi terkoyak".

Rasanya saya nggak akan mengulang membaca buku ini. Bukan karena kisahnya tidak menarik tapi karena ketika membaca buku ini ada beberapa halaman yang pengen saya robek saking sebalnya. Seolah dengan merobek saya bisa memberi pelajaran pada orang2 kejam itu hehe. Orang2 yang dengan semena2 menyakiti wanita, fisik dan jiwanya, hanya karena dia wanita. Orang2 yang merasa berhak memukuli wanita sampe berdarah2 hanya karena dianggap melawan, dianggap melanggar peraturan, dll.

Astaga, mereka pikir mereka itu lahir dari mana? pohon ? Mereka pikir siapa yang membesarkan mereka sampai punya tangan dan kaki yang kuat yang akhirnya mereka gunakan untuk memukuli dan menendang wanita ?

*Emosi*

Asma: It's been a while that i didnt read a novel. Since i write nonfiction more lately than fiction, i use most of my time reading by reading nonfiction books.

A Thousand Splendid Suns, a book that i was forced to read, because my reading book club (Klub Buku Anadia, Jakarta) had chosed this as one we would discuss in our first book discussion.

think i became slowly in reading, hehehe. It took few hours for me to complete this book. Early pages didnt really impress me. But when the writer makes the characters impression went upside down (who is the evil one? is it the father that her mother hates so much, or the mother who always take everything in negative way?), that was the first time i really think... damn it's a good book!:)

i love the setting. The characters. The fact that Khaled Hosseini really quoted parts of Al Qur'an with a style. In Indonesia we have writers who write islamic fiction (some mentioned i m one of this kind of writer:)) , and the problem especially to young writers, is when they put parts of Al Qur'an the writing became too verbal... and more like khutbah instead of a fiction. The message becomes too heavy for the readers.

But it doesnt happen that way with this book.
And i like the message from the author. Think i understand why the author dedicated this book to all afghanistan women, for the life they live.

Last but not least, i like the honesty that the author put in his writing. Personally i want to congrats the author... and look forward to reading his upcoming book.

thank you for writing such a moving story. thank you for sharing afghanistan with us.

(ps: my english is bad... i know! hehehe)

Hasanuddin: Setiap orang Afghan selalu menemukan cara untuk bertahan di tengah kematian, kehilangan dan duka yang tak terbayangkan. Bertahan untuk melanjutkan kehidupan. Dan Mariam pun melakukan hal itu.

Mariam tumbuh menjadi wanita yang tidak memiliki banyak tuntutan dalam kehidupan, tidak membebani orang lain dan tidak pernah mengungkapkan bahwa dirinya memiliki kesedihan dan kekecewaan. Impiannya telah lama hancur terinjak-injak. Dan itu semua ditampung oleh Mariam dan menanggungnya seolah peran yang harus dilakoni.

Keanggunannya ada bukan karena bawaan, namun terbentuk oleh tempaan tekanan yang selalu menderanya. Kehidupan keluarga yang indah hanya setetes untuk dinikmati. Selebihnya berada dalam bayang-bayang gelap supremasi Rasheed, suaminya.

Itulah kehidupan Mariam yang menyandang cap harami sepanjang hidupnya. Harami seorang wanita desa miskin, anak yang tak diinginkan. Seperti rumput liar. Kehidupannya nyaris tak pernah memberikan kebahagiaan dirinya.

Mariam juga menorehkan guratan yang dalam kepada Laila --istri muda Rsheed. Mariam telah menjadi teman dan kakak bagi Laila dan anak-anaknya. Mariam telah menjadi pelindung dari kebuasan Rasheed. Dan Mariam adalah ibu yang menentramkan setiap lembar nyawa yang berada dalam "genggaman" Rasheed.

Kebaikan Mariam seperti halnya puisi yang ditinggalkan oleh ayah Laila terhadap Kabul, "Siapa pun takkan bisa menghitung bulan-bulan yang berpendar di atas atapnya, Ataupun seribu mentari surga yang bersembunyi di balik dindingnya". Cinta dan pengorbanan Mariam... Sangat mengagumkan!!!

Dan entah apa yang besemayam dalam pola pikir Rasheed. Selalu menyanjung nang (kehormatan) dan namos (kebanggaan). Sementara di sisi lain dirinya lah yang menginjak-injak dengan kakinya sendiri. Dan baginya, pria adalah kebenaran mutlak. Layaknya jarum penunjuk kompas yang selalu mengarah utara dan selatan...

Novel ini memiliki setting waktu dan tempat yang hampir sama dengan The Kite Runner, Afghanistan. Sekali lagi Khaleed Hosseini berhasil mengaduk-aduk perasaan ku. Sisi personal dalam cerita fiksi ini begitu kuat dan menyentuh hati.

Lambatnya tempo penuturan pada novel ini, aku anggap refleksi dari lambatnya kehidupan Mariam dan Laila yang dihabiskan bersama Rasheed. Merayap pelan melewati hari ke hari. Menempuh hidup dalam bayang-bayang ancaman.

Review The Girl With The DragonTattoo

Rabu, 14 Maret 2012







The Girl With the Dragon Tattoo (Millennium #1)

by Stieg Larsson, Nurul Agustina (Translator), Nur Aini (Editor)

Harriet Vanger, putri salah satu keluarga paling berpengaruh di Swedia, hilang 40 tahun lalu.

Kasusnya tak terpecahkan. Tak ada mayat. Tak ada saksi. Tak ada bukti. Semua petunjuk mengarah ke jalan buntu.

Henrik Vanger, sang paman, yakin keponakannya itu dibunuh dan pelakunya adalah salah seorang keluarga Vanger. Ia menyewa Mikael Blomkvist, seorang jurnalis investigatif sekaligus pemilik majalah Millenium, untuk menyelidiki kasus Harriet.

Dalam investigasinya Blomkvist mendapat bantuan dari Lisbeth Salander, gadis punk asosial yang jenius dan memiliki memori fotografis serta keahlian hacking.

Mereka menemukan kaitan antara hilangnya Harriet dengan sejumlah kasus pembunuhan berantai yang tak terpecahkan. Berdua mereka berupaya menguak rahasia kelam keluarga Vanger yang hampir membuat nyawa Blomkvist hilang.

Pernah diterbitkan dengan judul yang sama pada tahun 2008 dengan cover yang berbeda.

Qanita 2012

Allison: Stieg Larsson was so passionate about the things he wrote about, his entire belief system is laid out for the world to see. What a shame he isn't here to see the success of his "magnum opus." It makes me really sad to think about.

This is quite a book. It demands a lot of its readers. You have to be able to deal with some financial talk, and you have to be patient. The story is not a powerhouse thrilling story that catapults you through the pages. Instead, it puts down countless layers of suspense, and then begins to weave them together. I was never for a second put off by any of the financial jargon, I thought it was very interesting. It is, after all, one of the layers of this pretty much perfect story.

I feel very emotionally drained after reading it. The Swedish title, "Men Who Hate Women" is apt. There were several things that were painful to read. Several times I started backing up, almost physically unable to keep reading. I cared a lot about this story, I feel so personally invested in it, I think at one point I was turning the pages half expecting to find myself an actual character in the story.

I don't want to delve into any of the specifics, the brilliance of the story is having no idea what is coming. Let me just say...its brilliant.

Imas: Seruuu...lumayan tebal tp ngebut bacanya krn pengen tau kelanjutannya..dengan karakter tidak biasa alias kurang umum,cerita yang disajikan membuat ingin baca terus..menghibur yang jelas...go to the next book..yay..

Annisa: Buku ini punya efek yang sama dengan ketika saya pertama kali baca The Da Vinci Code nya Dan Brown. Saya ngga nyangka kalo ternyata buku ini seru banget !! Ramuan antara crime, mystery, thriller yang bikin saya susah banget untuk berenti baca. Buku ini adalah buku pertama dari Millenium Trilogy yang diterbitkan setelah sang pengarang Stieg Larsson meninggal pada tahun 2004. By the way readers, jangan baca ulasan di wikipedia tentang buku ini ya! Total spoiler, untung saya baca sewaktu selesai baca bukunya or else it will ruin all the fun.

Berlatar belakang di swedia, setiap bagian dari buku ini ( empat bagian plus prolog dan epilog) dibuka dengan informasi-informasi seperti berikut :

“18% of the women in Sweden have at one time been threatened by a man” atau

“46% of the women in Sweden have been subjected to violence by a man”

Statistik tersebut sangat berhubungan dengan isi dari buku yang pada banyak bagian menggambarkan kekerasan atau kejahatan yang terjadi pada kaum perempuan di Swedia. Judul asli dari buku ini “Man who hate Woman” sebenarnya lebih menggambarkan isi buku daripada The Girl With The Dragon Tatoo” walau pastinya saya akan malas membeli buku yang judulnya “Man who hate Woman”

Buku ini bercerita tentang seorang pria tua bernama Henrik Vanger, seorang mantan CEO dari perusahaan keluarga Vanger Coorporation yang ingin melakukan upaya terakhir dalam memecahkan misteri hilangnya Harriet Vanger, keponakannya, 40 tahun yang lalu ketika Harriet masih berusia 16 tahun. Ia lalu mempekerjakan seorang jurnalis yang juga pemilik dari majalah Millenium bernama Mikael Blomkvist untuk mengungkap misteri tersebut.

Mikael sendiri baru saja didakwa dan dijatuhi hukuman atas artikel terakhirnya yang menyerang sebuah perusahaan besar bernama Wennerström Coorporation. Henrik memberikan tawaran untuk bekerja padanya selama 1 tahun penuh dengan samaran membuat biografi dari keluarga Vanger dengan jumlah bayaran yang sangat menggoda, selain dari itu Henrik juga menawarkan bukti-bukti baru yang dapat menjatuhkan Wennerström Coorporation. Tawaran yang sulit ditolak untuk Mikael.

Mikael akhirnya mundur untuk sementara dari majalah Millenium untuk pindah ke salah satu villa di kediaman Hendrik Vanger dan keluarga di suatu pulau bernama Hedeby. Sewaktu Harriet masih hidup, setiap hari ulang tahun Hendrik pada tanggal 1 November Harriet selalu memberinya hadiah berupa bunga yang telah diawetkan dan diletakkan dalam sebuah figura. Setelah menghilangnya Harriet, setiap tanggal 1 November Hendrik menerima melalui pos hadiah yang sama. Hendrik menduga bahwa sang pembunuh sedang mengejeknya, berulang-ulang, selama 40 tahun. Hendrik sendiri mencurigai bahwa salah satu anggota keluarganyalah yang telah membunuh dan menyembunyikan mayat Harriet.

“Mikael, you can ask questions later, but I want you to take my word when I say that I detest most of the members of my family. They are for the most part thieves, misers, bullies and incompetents.”

Sebelum Hendrik mempekerjakan Mikael, ia telah memerintahkan terlebih dahulu kepada pengacara sekaligus sahabatnya Dirch Frode untuk menyelidiki latar belakang Mikael. Tugas jatuh kepada seorang wanita muda bernama Lisbeth Salander. Penyelidik profesional yang antisosial, memiliki photographic memori, cerdas dan tidak beremosi. Lisbeth lah The Girl With The Dragon Tatto yang dimaksud dalam judul buku.

Setelah berusaha untuk membuat biografi keluarga dan berusaha untuk menemukan fakta baru dalam setumpuk dokumen penyelidikan hilangnya Harriet, Mikael menemukan bahwa keluarga Vanger adalah keluarga unik dimana banyak sekali “kegilaan” di dalamnya. Mikael akhirnya memutuskan bahwa dirinya membutuhkan bantuan seorang penyelidik profesional. Dirch Frode secara tidak sengaja merekomendasikan Lisbeth Salander. Mikael dan Lisbeth akhirnya bekerja sama untuk mengungkap misteri 40 tahun yang lalu dan menemukan bahwa yang terjadi adalah jauh lebih besar dari yang mereka duga.

Saya sangat suka karakter Lisbeth Salander yang digambarkan sebagai perempuan yang memiliki temperamen nyaris nol. Lisbeth selalu menimbang konsekuensi dari setiap tindakannya dengan kepala dingin. Sama sekali tidak menye-menye atas kekerasan yang telah menderanya semenjak kecil. Saya ingin segera membaca buku ini karena penasaran dengan nasib Lisbeth Salander yang telah tertipu dengan ilusi bernama “Love” ;p

Untuk penggemar thriller maupun bukan, saya sangat merekomendasikan buku ini untuk dibaca !! You’ll never guess what will happen in the end of this book. Pengalaman yang seru ! I’ll definitely read the second sequel.

Beth: Swedish people are nuts! I realize that’s a bit of a broad generalization and it sounds a bit rude, but I don’t care. Because more often than not, I’m nuts too.

I was born and raised in Minnesota, and if you know our state history, you’re already aware that we were predominantly settled and populated by Swedish (and Norwegian) immigrants. So not only are many Minnesota residents of Scandinavian descent, myself included, a lot of our quirky mannerisms and even our accents are commonly attributed to this influence. I attended a Swedish Lutheran college (which attracted a lot of Swedish exchange students). And one of my oldest and dearest friends is an American by birth but was raised in Sweden and didn’t return to live full-time in the U.S. until she was 18. She’s always found Minnesotans to be a very interesting form of science experiment—what happens when you mix Swedish and American culture anyway?

Taking what I know firsthand of Minnesota culture into consideration, I can only assume that Sweden, aka the motherland, is also a twisted place of dark, dry humor. Some mainstream examples that support this claim would include: Fargo, Drop Dead Gorgeous, A Prairie Home Companion and yes, even Mr. Purple Rain himself, who even though he’s genetically a bit more exotic than a plain old Swede, definitely displays some of the more oddball (but typical) Minnesota traits in his own special way.

The point being, the characters in this book felt oddly familiar to me, quirks and all. I’m actually a bit surprised I loved the book as much as I did because I normally criticize authors for trying to jam too much into one story and this book had a lot going on:

--shady business dealings

--corporate fraud

--murder

--religious fanaticism

--extramarital affairs

--Nazis

--casual sex

--creepy pervs

--violence against women

--money laundering

--sexual sadism

--political proselytizing

--dysfunctional family secrets

And that’s just scraping the surface. Because once Larsson got into it and started digging deeper into the plot and revealing more details, my head started spinning and I had smoke coming out of my ears. I wasn’t expecting to be sucked in so quickly by the plot and am still reeling over the fact that this brick-like book (my copy has nearly 600 pages) went as quickly as it did.

I just reserved the sequel from the library and am also excited at the prospects of a third. I’m also sad that Mr. Larsson passed away. What a talented author—not many could tie so much crazy shit into one story and still have it make sense AND be entertaining.

Although I think whoever decided to change the title when they released this book in English is nuts too. The original Swedish title, Men Who Hate Women, is much more fitting.