Cerpen: SEMU

Kamis, 13 Oktober 2011

**Cerpen ini dibuat dalam satu jam, untuk keperluan projects dari @nulisbuku.com. Tidak seperti selama ini saya menulis cerpen atau puisi, kali ini tergesa-gesa, harus mendengarkan lagu SALAH dari POTRET dulu, itu lagu jadul banget. Cerpen kali ini keluar dari jalur genre saya yang cenderung filsafat, teologi, dan mistik. Saya posting ke blog ini karena cerpen itu dalam rangka pembuatan buku (11 buku menurut janji @nulisbuku.com).



Judul: Semu

Nama: Antonini Ramon

Klakson mobil kamu berbunyi dua kali. Itu kebiasaan kamu, entah kenapa. Dulu aku suka, sekarang aku merasa kamu kekanak-kanakkan. Memangnya rumahku ini pohon beringin tua atau makam angker sehingga kamu memencet klakson untuk menyapa dan menolak bala? Sudah aku kirim sms sepuluh kali mengabarkan bahwa aku sedang tidak enak badan, tidak panas, tidak dingin, tapi ada yang aneh dengan otakku, pasti. Dan otakku mengirimkan signal ke hatiku bahwa ada sesuatu yang tak beres dengan dirimu. Kamu pasti punya selingkuhan. Aku tahu. Aku tahu tanda-tandanya. Sikapmu yang aneh dan selalu tak nyambung jika kita berbicara di telepon. Memangnya kamu sedang apa dengannya, hah?

Tapi kamu memencet klakson Audi-mu juga. Apa yang bisa aku lakukan?

Seperti istri tentara Amerika yang menanti dalam cemas, aku berhamburan ke gerbang, membukan untukmu. Kamu selalu begitu, tidak memasukkan mobilmu ke halaman, tapi kamu malah bergegas mendekatiku, memegang kedua lenganku dan mengucapkan kata-kata manis. Apakah yang kamu harapkan, bisa kukatakan?

Setelah kamu melihat haru di mataku—haru yang kupaksakan untuk menyambut kepulanganmu—baru kamu merasa cukup, puas. Kamu kembali ke sedanmu. Kamu masukkan ke halaman, stop di sampingku. Kamu matikan mesin yang menderu pelan. Kamu buka pintu belakang, dengan senyum yang bisa kulihat di sudut bibirmu yang berkedut, kamu keluarkan bawaanmu. Oh, itu pasti upeti untuk reuni kita. Kamu ajak aku masuk, meski ini rumah orangtuaku. Orangtua yang memaksamu memanggil mereka Papi dan Mami, alih-alih memanggil Om dan Tante. Orangtua yang menganggap kamu satu-satunya calon mantu terbaik yang pernah mereka temui. Aku harus bagaimana? Aku tidak bisa mengganti panggilanmu untuk mereka. itu hak kamu dan itu hak mereka.

Terserah.

Maafkan aku,” kamu merengek, meski wajahku sudah meleleh.

Aku maafkan. Kan kamu tahu aku selalu begitu.”

Suer?” kamu bertanya, seperti aku ini si pembohong besar.

Aku mengangguk dan menyentuk lenganmu yang berbulu halus. Kamu merinding?

Kita sampai di teras, aku memetik selembar daun sirih yang menjalari teras rumahku. Kita mengambil tempat di teras saja sebab hari masih lembayung, indah, dan aku ingin melihat matahari terbenam untuk hari ini. Kamu tunjukan jejak cahaya matahari dan bulan sabit yang mengintip dari balik awan merah, perlahan-lahan menebarkan cahanya.

Aku melirik. Aku tahu, kamu membawa bunga dan cokelat, sebab itulah kesukaan semua wanita, selain berlian dan spaatangan manis bertabur kacang itu. Kamu berikan mawar merah itu padaku. Aku merasa seperti batu nisan yang dikunjungi seorang lelaki dari masa lalu. Apakah kamu harus membeli yang berwarna merah? Kamu bisa beli yang berwarna biru atau putih, yang penting jangan merah, terkesan mistis. Aku bukan Suzanna.

Kusimpan heranku ketika kamu membawakan cokelat dan mawar itu. Tapi aku yakin, Mami akan mengajakmu ke dalam dan membuatkan kamu minuman dan mungkin mengelus-elus kepalamu, seperti kamu anaknya sendiri. Aku akan menahan kamu selama mungkin di teras ini. Masih kusimpan heranku sebab kamu tak pernah romantis selama dua tahun kita berhubungan. Kamu merasa itu buang-buang ongkos dan tidak relevan. Kamu lebih memilih menabung setiap peser untuk mobil dan rumah baru kita di daerah Padjajaran regency daripada tetek bengek bunga dan cokelat atau jenis pemberian lainnya. Aku tahu. Aku paham. Sejak pertama bertemu, aku tidak menuntut, bukankah itu yang membuatmu lebih memilih aku daripada wanita-wanita yang menurutmu cantik karena berdandan plus berotak sedikit? Tapi kamu agak aneh dua bulan terakhir ini. Kamu lebih banyak menghilang. Bisnis. Bisnis. Itu alasanmu. Semua suami pejabat juga bilang begitu. Apanya yang kali ini membuatmu berbeda?

Kupikir kamu belajar menjadi romantis dengan tetek bengek bunga dan cokelat itu dari kawan-kawanmu. Aku mengenal mereka, sedikit-sedikit, tapi lumayan. Aku tahu mereka seperti kebanyakan lelaki yang suka mengatakan semua kata manis yang mereka baca dari buku dan dari obrolan seputar menaklukan gadis cantik dan bertubuh aduhai.

Kita duduk dalam diam. Aku melemparkan senyum tipis, kamu berpikir aku sedang menggoda, dan itu tandanya sebentar lagi kita berbaikan. Apakah aku terkesan manja?

Aku sakit. Karena lama menunggu kunjungan. Apakah urusan bisnis itu penting sekali dan tidak bisa ditinggal sehari saja?

Sayang, tidakkah kamu mengerti?

Tidak aku tidak mengerti. Semua wanita begitu.

Mami. Mami memang selalu datang di saat yang tidak tepat. Dia mengajak kamu masuk. Membetulkan kerah kemejamu seperti kamu itu putra sulungnya. Kupandangi kalian berdua dan kuyakin, kamu bukan pilihan yang terbaik. Berkat Mami, kita berbaikan. Mami pulalah yang mengusulkan kamu memesan pizza meteran. Mami ingin makan, dan bagimu, calon mertua adalah segala-galanya. Aku ada pada urutan ketiga, tentu saja setelah perempuan brengsek selingkuhanmu itu. Mami tak kuat makan bermeter-meter pizza yang kamu pesan. Jadi kita pindah ke ruang nonton, sambil menonton drama Korea—aku tidak suka drama Korea, aku suka film kolosal--kita ditemani mix-max dan sebotol besar root beer.

Kamu terlihat langsing,” begitu katamu. Untuk sesaat aku buta akan pemujaan dan cinta padamu. Setelah semenit lewat, aku sadar bahwa perempuan brengsekmu itu pun mungkin sering kamu puja-puji dengan kalimat yang sama. Tapi aku tetap mengucapkan terima kasih.

Aku sayang kamu. Kamu baik.”

Kamu menatapku dengan bola mata membesar. Aku tahu, itu gaya klisemu ketika berpura-pura terkejut sementara dalam hatimu kamu senang bukan main. Kepalamu membesar. Kamu pikir kamu selamat.

Sewaktu makan, ponselmu berdering, ringtone-mu Bruno Mars. Aku suka. Aku juga suka B.O.B. Ray. Ingin aku ajak kamu ngobrol tentang lagu-lagu yang sedang in di kalangan muda. Ingin aku minta kamu bernyanyi seperti Bruno bernyanyi di depan kekasihnya. Tapi kamu terlihat sibuk, tidak mau diganggu. Kamu bahkan minta izin ke teras dan bicara dengan berbisik-bisik, kadang berpura-pura berbicara bisnis. Lalu kamu masuk, mematikan ponsel. Aku yakin, kamu menonaktifkan ponselmu. Kamu takut sms masuk dan harus membukanya di depan batang hidungku.

Tahukah kamu, aku juga takut?

Kutatap layar ponselku yang menyala, sebuah pesan masuk. Kututup dengan pantatku. Kududuki saja. Kamu tersenyum, memberikan segelas root beer padaku. Kita ngobrol tentang rencana jalan-jalan bulan depan. Kita bertengkar tentang film jelek dan buku jelek. Kita berkompromi kapan waktu yang tepat untuk pergi berakhir pekan bersama. Secepat obrolan kita bergulir, waktu kunjunganmu pun habis. Aku merasa seperti tahanan wanita di Rutan Pondok Bambu. Aku tidak ingin kamu pulang. Aku ingin kamu pulang. Aku terbelah.

Kamu pamit, sudah malam, pukul sepuluh. Kamu pamitan pada Papi dan Mami yang duduk di ruang baca, seorang membaca koran, seorang menyulam. Mami menepuk-nepuk pipimu. Kamu tersenyum. Papi memesankan kamu hati-hati.

Beristirahatlah. Kamu terlalu banyak bekerja.” Papi sempat berpesan.

Kuantar kamu ke depan. Kamu nyalakan mobil. Kamu cium punggung tanganku. Aku tahu kamu baru belajar, seorang pemula yang ingin romantis untuk menutupi sesuatu. Kamu masuk ke mobil dan lampu depan menyala. Kamu berputar, aku menepi. Kamu keluar gerbang, memencet klakson dua kali. Aku masih merasa seperti pohon beringin tua. Kamu turunkan kaca jendela, melambai, tersenyum. Aku berpaling, menutup gerbang dan masuk ke dalam rumah. Ponselku bergetar hebat, membuat pahaku geli. Aku angkat, bukan kamu, tapi dia.

Hai!

Aku senang. “Sedang apa kamu?

Maukah kamu menemaniku ke puncak, Sabtu nanti?

Untuk apa?

Ingin kukenalkan kamu pada Papi dan Mami.”

Wow, cepatnya!

Aku tak kuasa menahan serangan kejut.

Sepuluh meter di depan, lelaki itu, kekasihku, menghidupkan ponselnya. Dia telepon seseorang yang terdengar kesal dan ngambek padanya. Dia melirik ke jok belakang, sebuah buket bunga mawar putih tergeletak rapi. Sepanjang jalan dia berusaha menyamakan suaranya dengan suara Adam Levine yang sedang menyanyikan She Will Beloved. Dia menuju ke selingkuhannya.

1 komentar:

  1. ireminisces mengatakan...:

    Feel free to visit my blog, 'Krugerrand Value' is a good read..