Preview Novel Foucault's Pendulum

Selasa, 04 Oktober 2011

FOUCAULT’S PENDULUM

by , (Translator)

Tiga orang editor, kelelahan setelah membaca manuskrip sinting tentang kemistikan dan kegaiban, mulai terinspirasi oleh kisah konspirasi luar biasa yang diceritakan oleh seorang kolonel aneh untuk memperoleh kesenangan.

Mereka mulai mengacak informasi di komputer dan tak pernah membayangkan akibat mengerikan dari perbuatan mereka. Mereka berpikir hanya sedang bersenang-senang. Namun, ketika permainan itu dimulai, kematian demi kematian pun dimulai. Dan, mereka berada dalam situasi yang menggelisahkan...

Bentang Pustaka 2010

Saya: buku ini menyenangkan karena terasa paling mahal buat kantong kere saya...tapi sudahlah serasa bernostalgi lagi sama kampus, dosen dengan otak pintar yg hanya berpikir tertuju pada dirinya sendiri dan ilmu penetahuan tetek bengek itu, juga kangen sama temen2 yg setiap dapat tesis2 filsuf macam De Cartes, pasti ngantuk n keluar buat ngopi di warung Bagas....

Novel Eco itu memperlihatkan bahwa Eco adalah orang yang suka n cinta pada latar belakang agama n budayanya, dengan berusaha melestarikannya n membeberkan hal2 yg masih tabu dibicarakan diluar sana sampai hari ini, sementara semua simbol yg terdapat dalam peradaban dunia ini dipengaruhi oleh pola kepercayaan, kemudian agama, ditelusupi oleh ilmu pengetahuan yg dulu dikira sebagai alkimiah, nujum, sihir, atau bidaah... waktu itu agama masih dekat dengan takhayul n misteri, sekarang, agama sudah dicerahkan n dirasionalisasikan... tapi buku ini hanya sekadar sejarah, bukan ajuan untuk mencari Harta King Salomon, anak dari Syeba, istri Uriah itu....

Tim: If asked, the easiest way to describe Foucault’s Pendulum is to say that it’s a distillation of every conspiracy theory you’ve ever heard into a single novel. I’ve seen many people describe it as the “thinking man’s” Da Vinci Code. Having attempted Angel’s and Demon’s years ago and giving it up after only two chapters – based on Brown’s fumbling with novelization, plotting, pacing, characterization, and even English grammar – I have to conclude that this is an extremely demeaning analogy for Umberto.

Unlike Brown, Eco’s use of language is deep and rich and filled with allusion. His grasp of the subject is nothing short of unparalleled, and no one could claim that he doesn’t have a unique approach for blending fact, myth, and fiction together in a volatile blend of exposition.

While the plot may in fact be similar to Brown’s Code, the complexity of Eco’s work is nearly mind boggling in scope. As he attempts to weave conspiracy theory on top of conspiracy theory, you can’t help but notice the care he takes in molding presumed fact into fiction and back into fact again. It’s a dance that Eco is particularly adept with, even when he gets long winded.

And, unfortunately, he does get long winded. In fact, I put this book aside for a good six months (or more) because somewhere around page 300 he decided the best course to disclose a myriad of theories was through a one hundred-page exchange of dialogue that was nothing short of Faulkner-esque in its execution. If his editor had put his foot down and demanded a smoother, more plot-driven mechanism for this information, it might have resulted in one of the all-time great suspense novels (“thinking man” or otherwise).

Even with this cumbersome problem, Eco still manages to provide characters you feel for, locations you can see, and a constantly morphing villainy that keeps the reader guessing in a way that reminds me of Arturo PĂ©rez-Reverte. To say that it’s the conspiracy theory novel to end all conspiracy theory novels might be a stretch, but with Eco’s background it would take a Herculean effort to beat his work.

As it stands, Foucault’s Pendulum will no doubt keep making the reading lists of intellectuals, college students, and conspiracy theorists, even though Eco’s use of vibrant backgrounds and complicated characterizations should appeal to even the summer reader. If someone were interested in Eco, I’d probably recommend they read the Name of the Rose first, before deciding if this is a book they’re interested in tackling.

Weni: Luar biasa...
Maksudnya luar biasa lama waktu yang saya butuhkan untuk menamatkan buku ini :D
Mulai dibaca ketika malam tahun baru di Bandung, selesai pada hari Valentine.
*Hari valentine disini maksudnya versi umum tanggal 14 Feb, bukan versi sesepuh jaduler bernama Tomo yaitu tanggal 13 Feb dengan alasan muhamadiyah biasanya 1 hari lebih cepat*

Tidak seperti Qui yang tanpa ragu memberi 5 bintang, saya bingung ketika akan me-rating buku ini. Sebagian kisahnya terasa bertele-tele sehingga membuat bosan, tapi sebagian lagi menarik, membuat penasaran.
Sebagian bahkan membuat saya harus membaca sambil googling karena kalimat demi kalimatnya penuh dengan istilah2 yang tidak saya mengerti atau nama2 yang belum pernah saya dengar. Tapi dengan begitu artinya buku ini menambah pengetahuan saya :)

Awalnya saya nyaris putus asa karena merasa IQ saya tidak cukup untuk memahami kalimat2 yang ditulis Tuan Umberto Eco.
Jika saya belum mengantuk, saya baca buku ini dan tidak lama kemudian saya merasa ngantuk sekali :D Meskipun begitu, anehnya mood saya tidak hilang (ada buku2 yang tidak saya selesaikan karena mood saya hilang ketika baru membaca sedikit) untuk menamatkan buku ini.

Sebagai gambaran mengenai isi buku Foucault's Pendulum, saya sarankan untuk membaca review Qui :D

Saya setuju dengan pernyataan Qui berikut ini:
- Kekayaan tema intelektualitasnya yang meledak-meledak serta penggunaan bahasa yang meliuk-liuk bagi banyak orang terasa "terlalu mengenyangkan" --> saya termasuk golongan 'banyak orang'.
- Perlu ketekunan yang agak ekstra untuk mencerna makanan lezat yang amat banyak dalam buku ini.
- Sebuah atraksi pamer intelektualitas yang sulit dicari bandingannya.

No Name: Jadi, jika ada yang bertanya Foucault's Pendulum tentang apa, maka saia akan mendeskripsikannya sebagai berikut: kisah detektif, dunia komputer, mekanika fisika (judul buku ini diambil dari nama alat peraga seorang ilmuwan Perancis utk membuktikan bahwa bumi benar-benar berotasi dari barat ke timur dengan cara teramat sederhana sekaligus tak terbantahkan), filsafat, metafisika, sejarah, puzzle, teka-teki matematika, perbenturan budaya, mitologi, sejarah agama, Taurat, okultisme, misteri hermetik, dan kaum-kaum "legenda bawah tanah" yang menggelitik akal dan sejarah: Kaum Jesuit, Gnostik, Freemason, Illuminati, Biara Zion, Assassin, Kabalis, Bogomil, Kathar, dan oh, tentu saja, si raja misteri dan kontroversi, Kesatria Templar

Jika salah satu dari tema itu saja cukup membuat para pengarang lain iri, Eco, malah memborongnya sekaligus.

Tiga editor sinis dan sarkastik, bekerja di sebuah perusahaan penerbitan yang sering menerbitkan buku-buku dengan tema yang tidak lazim. Namun, tentu saja dengan latar "over-educated"-nya, mereka cepat bosan. Untuk membunuh kejenuhan dan memuaskan kelaparan intelektual mereka, tiga orang ini memulai sesuatu yang mereka anggap iseng pada mulanya, meneliti sebuah manuskrip mistis yang melibatkan kaum-kaum misterius dalam sejarah dunia. Apa yang telah mereka mulai pada awalnya sebagai bahan lelucon semata, malah mereka dapati sebagai sebuah plot sejarah manusia yang rumit, melibatkan peperangan, jatuh bangunnya dinasti kerajaan, muncul tenggelamnnya kaum-kaum esoteris yang eksotis, dan pembunuhan-pembunuhan misterius. Segera saja mereka terjerembab dalam sebuah jaring rumit, perburuan referensi kuno yang tak ternilai, pemuasan dahaga intelektual yang menggelisahkan, dan penyelamatan nyawa yang meresahkan.

Yah, anda benar. membaca buku ini mau tak mau akan membandingkannya dengan cerita konspirasi lainnya, "Da Vinci Code". Meski terdapat pararelisme dalam masalah tema, tapi jika anda menganggap FP sama dengan DVC, anda salah besar!

Secara singkatnya, DVC ibarat sepotong kerupuk. ngepop, renyah dan berisik. Tak demikian dengan FP. FP lebih seperti roti lapis aneka isi. setiap gigitannya akan mengenalkan anda pada aneka citarasa baru yang menggiurkan, lezat, dan memberikan sebuah pengalaman baru dalam membaca buku. Dengan latar pendidikan sejarah abad pertengahan, tak perlu diragukan lagi, Eco akan mengajak kita pada sebuah wisata sejarah yang meliuk-liuk, terjal, dan penuh kejutan.

Bak The Name of the Rose, Eco juga akan memanjakan para pembacanya dengan gaya bercerita yang puitis dan memabukkan. Dengan gaya bahasa Baudollino, Eco akan menghibur para pembaca dengan humor-humor segar satiris yang menggelitik tanpa perlu kehilangan ketajaman bahasa. Yah, novel ini memiliki segalanya.

Bagaimanapun, FP bukanlah produk buku "untuk dibaca semua orang". Kekayaan tema intelektualitasnya yang meledak-meledak serta penggunaan bahasa yang meliuk-liuk bagi banyak orang terasa "terlalu mengenyangkan". Tema konspirasi besar yang diusungnya yang Eco sertai dengan referensi sejarah yang memambukkan, bagi para pembaca yang tak waspada akan dianggap sebagai sebuah cerita panjang lebar bertele-tele dan membuat jari tangan pegal karena perlu meng-klik referensi silang di internet. Perlu ketekunan yang agak ekstra untuk mencerna makanan lezat yang amat banyak dalam buku ini. Tidak serenyah DVC, namun jauh lebih bergizi drpd DVC.

Perbedaan yang mencolok lain antara DVC dan FP adalah FP tidak semena-mena menjual konspirasi yang meledak-ledak dan berbau kontroversi. FP menyentuh bagian lain dr sejarah yang lebih transendental. Jika DVC terasa banget kesan emosionalnya, FP terkesan agung dan intelektual, serta beraroma spiritual. Jika konspirasi yang ditawarkan Dan Brown lebih ke arah "tantangan logika dan emosional", Eco malah menjadikan FP sebagai bahan perenungan yang penuh alusi terhadap sejarah abad pertengahan, pencerahan pada filsafat, kritik ritual keagamaan, dan makna dari berbagai fenomena esoteris dan okultis. Sebuah atraksi pamer intelektualitas yang sulit dicari bandingannya.

mengasyikan. mencengangkan. mencerahkan. padat dan kaya dalam detail. menggelitik nalar dan logika, apa lagi yang anda harapkan dari sebuah novel? buku ini seperti versi Da Vinci Code yang ditulis James Joyce

Mencengangkan dalam kekompleksitasannya, mengagumkan dalam kejenialannya, serta memabukkan dalam kefasihan bertutur katanya, quite simply, Mr. Eco is a master. Bravo!

0 komentar: