Beberapa novel baru (bagi saya pribadi) telah dibeli, misalnya LABYRINTH karya Kate Mosse, REUNI TSUNAMI karya Ita Sembiring, FORGIVE MY FINS karya Tera Lynn Child, DISGUISED karya Rita la Fontaine de Clercq Zubli, LIFE’S GOLDEN TICKET karya Brendon Burchard, TELUK WENGKAY karya Korrie Layun Rampan, ORANG-ORANG TERCINTA, karya Soekanto SA, SENDALU karya Chavchay Syaifullah, EIGHT COUSINS karya Louisa May Alcott, dan A BEAUTIFUL MIND karya Sylvia Nasar. Novel-novel tersebut mengalihkan perhatian saya dari satu buku ke buku yang lain. Saya merasa seperti mengundang banyak kawan untuk party dan berwajib berbicara dari satu orang ke orang yang lain demi menjaga perasaan mereka.
“Apakah novel-novel juga punya perasaan?”
Bangun tidur pukul 10.06, saya menyambar novel LABYRINTH, membacanya sampai halaman 471. Lalu saya melihat novel yang lama tidak saya sentuh, KENING. Saya berpikir hari ini bisa saya baca itu novel karya Fitri “Tropika” Rakhmawati. Saya mandi, saya rapikan ranjang, saya sapu kotoran kemudian saya meninggalkan kamar kecil saya.
Dalam sebuah kantong bermotif batik, saya simpan dua buah payung berwarna biru dan abu-abu, di samping novel KENING. Saya biasa membaca dalam perjalanan, di angkot yang lebih banyak ngetem daripada melaju. Dengan 3 tattoo baru—sebuah simbol labirin, sebuah angka dalam Latin, dan angka lahir saya—saya duduk, menyiapkan kuda-kuda agar tidak goncang kesana kemari. KENING di kedua tangan, terbuka, menantang. Saya membaca cukup lama, berbaris-baris kalimat, hingga saya sampai di halaman 169. Lalu saya merasa cukup. Stop.
Kisah Fitri masih menarik, bercerita tentang Hari R.A. Kartini dan perlombaan Mojang-Jajaka. Fitri mewakili kelas 2J dan mengacau. Dia tipe tomboi dan merasa gerah dengan semua tetek bengek formalitas. Dia hendak mengatakan bahwa perempuan tidak melulu mesti berfisik seperti R.A. Kartini. Perempuan bisa menjadi dirinya sendiri, menjadi apa saja yang dia mau asal tidak menyalahi aturan.
Fitri berusaha menyogok seorang juri Pak Zaki dengan introduksi dalam bahasa Jepang. Fitri seperti mencoba keluar dari kelokalan. Dia hendak mengatakan bahwa perempuan bisa tinggal di lokal, berbicara di global. Mojang-Jajaka bisa dipoles dengan unsur budaya asing yang memberikan warna baru.
Selain itu, Fitri yang doyan berbahasa Inggris Afro-Amerika, tidak butuh segala macam atribut yang diidentikan dengan seorang perempuan, untuk menjadikan dirinya perempuan. Perempuan itu jenis kelamin, bukan atribut. Kalau kamu perempuan, dengan rok mini, high heels atau lipstrik metalik, atau tanpa itu semua, kamu tetap perempuan. Kelaminmu perempuan. Titik.
“Banyak perempuan tidak menyadari sakit yang mereka derita ini. Bagi saya, Fitri mengajak siapa saja perempuan yang sadar untuk keluar dari sakit itu dan menjadi diri sendiri, tanpa harus malu dibilang tidak gaul, tidak eksis, dan tidak keren. Sebab bicara tentang jenis kelamin, tidak ada yang bisa merubahnya.”
Hidup Fitrop!
0 komentar:
Posting Komentar