Dong Mu
by Jamal
5 Juli 2006, Korea Utara meluncurkan rudal uji coba yang jatuh di Laut Jepang. Seluruh dunia gempar karena khawatir rudal tersebut berhulu ledak nuklir. Bayangkan bencana besar yang bisa ditimbulkannya!
Insiden internasional ini menyeret Herman, seorang Indonesia yang bekerja di Departement of Safeguard International Atomic Energy Agency (IAEA), organ PBB untuk urusan energi nuklir yang bermarkas di Wina. Herman ditugasi menyelidiki keberadaan hulu ledak nuklir ini langsung ke Korea Utara.
Sialnya Korea Utara sudah beberapa lama tidak mengizinkan reaktor-reaktor nuklir mereka diperiksa keamanannya oleh IAEA. Masalah makin pelik ketika Robert Campbell, anggota CIA yang menyamar jadi orang IAEA ditangkap pihak intelejen Korea Utara, dan harus ditebus dengan uranium yang cukup untuk membuat dua hulu ledak nuklir!
Bersama temannya, Prof. Rukayadi---mikrobiolog Indonesia yang bekerja di universitas di Korea, dan bantuan tentara Korea Selatan serta Amerika, Herman terlibat dalam petualangan membebaskan Robert Campbell dan membereskan krisis nuklir yang mengguncang dunia ini.
Preview
Saya: Akhir-akhir ini, dalam beberapa novel dengan seting internasional dan kisah2 Spionase (seperti james bond dan Robert Langdon), tokoh2 fiksi indonesia juga ikut terlibat....
*perkembangan susastra yang luar biasa.
I'm finished with Dong Mu: HERMAN, orang Indonesia yang bekerja di IAEA, yang belakangan menjadi AGEN dalam sebuah pembebasan seorang agen CIA, Campbell, akhirnya cuti ke Indonesia. KAwan-kawan mengantarkan ke bandara Icheon. Fine.
Htanzil: 5 Juli 2006, Korea Utara meluncurkan tujuh rudal percobaan. Rudal itu jatuh di perairan antara laut Jepang dan Semenanjung Korea. Seluruh dunia gempar karena khawatir rudal tersebut berhulu ledak nuklir. Insiden internasional ini membuat badan International Atomic Energy Agency (IAEA), salah satu organ PBB untuk urusan energi nuklir yang bermarkas di Wina segera mengambil langkah strategis sesuai tanggung jawabnya sebagai badan yang mengawasi pemanfaatan energi nuklir.
Eero Heiskanen , kepala Departemen of Safeguards IAEA menugasi Herman, satu-satunya staff IAEA asal Indonesia yang bekerja di departemen tersebut untuk berangkat ke Korea guna menyelidiki ada tidaknya hulu ledak nuklir yang terpasang di rudal percobaan tersebut.
Di Seoul Herman bergabung dengan Kang Jin Sob, counterpart-nya di Korea Atomic Research. Ia juga bertemu dengan kawan lamanya, Prof Rukayadi – mikrobiolog Indonesia yang bekerja dan mengajar di sebuah Universitas di Seoul. Belum lagi Herman dan Kang Jin Sob melakukan tugas resminya tiba-tiba Herman memperoleh informasi kalau Robert Campbell, agen CIA yang sedang menyamar menjadi agen IAEA diculik oleh Kim Song Gi, agen intelejen Korut yang korup. Kim menuntut nyawa Robert Campbell ditukar dengan 50 kg uranium, jumlah yang cukup untuk dipasangkan di dua rudal berhulu ledak nuklir.
Tanpa diduga Kim menginginkan Herman sebagai mediatornya. Karena menyangkut warga negara Amerika maka markas tentara Amerika di Seoul menugaskan Mayor Snyder menyusun misi penyusupan ke Korut untuk pembebasan Robert Campbell. Untuk itu Mayor Snyder membentuk tiga tim (A,B,C), Herman, Prof Rukayadi, Kang Jin Sob, dan Park Yong Chul, seorang tentara korsel, masuk dalam Tim C yang bertugas untuk mengiriman uranium ke sarang penculik.
Belum lagi operasi yang dipimpin Mayor Synder menjalankan tugasnya, tiba-tiba pihak Pentagon membatalkan rencana operasi tersebut. Pentagon memiliki rencana lain, mereka menginginkan operasi militer besar-besaran dari wilayah Korea Selatan untuk membebaskan Campbell. Tentu saja ini beresiko memancing perang terbuka dan memicu pihak Korut untuk menggunakan rudal nuklirnya. Pihak Korsel sendiri tampaknya keberatan dengan operasi militer ini.
Sebuah ide gila tiba-tiba muncul di benak Prof Rukayadi. Ia mengusulkan untuk menyusup secara diam-diam ke Korut dan membebaskan Robert Campbell mendahului operasi militer Amerika. Jika mereka berhasil membebaskan Campbell, tentu saja tidak diperlukan lagi operasi militer besar-besaran. Jika tidak berhasil, nyawa mereka taruhannya dan kemungkinan terjadinya perang dan Korut menggunakan rudal nuklirnya semakin terbuka.
Ide gila ini akhirnya dilaksanakan, Herman, Prof Rukayadi, Kang Jin Sob, Park Yong Chul menyusup ke wilayah Korut dengan membawa 25 kg uranium (setengah dari yang dituntut si penculik). Petualangan yang benar-benar berbahaya. Diantara keempat orang ini hanya Park Yong Chul yang berlatar belakang militer dan mahir menggunakan senjata, sementara yang lainnya hanya bermodalkan tekad dan keberanian semata.
Kisah diatas adalah inti cerita dari Dong Mu , novel ke 5 dari novelis produktif – Jamal - , karya-karya sebelumnya yang telah diterbitkan adalah Lousiana-Lousiana (Grasindo,2003), Rakkaustarina (Grasindo,2004), Fetussaga (Grasindo, 2005), Epigram (Gramedia, 2006), dan yang akan segera terbit, novel ke 6-nya yang berjudul : Darul (Bentang Pustaka).
Jamal yang kerap mengambil setting luar negeri di tiap novel-novelnya kini mengajak pembacanya berkelana ke negeri ginseng Korea. Berbeda dengan novel-novel terdahulunya yang kerap berlatar belakang kisah cinta, dan geger budaya tokoh-tokohnya selama hidup di luar negeri, kini Jamal menghadirkan kisah petualangan spionase yang dibalut dengan krisis nuklir di semenajung Korea.
Seperti halnya tokoh Herman, dan kawan-kawannya dalam novelnya ini yang nekad melakukan misi berbahaya, Jamal yang dalam kesehariannya mengajar sebagai dosen desain interior di sebuah univeritas swasta di bandung termasuk penulis yang nekad mengarang sebuah cerita tentang krisis nuklir. Sebuah tema yang jauh dari kesehariannya dan juga juga tema jarang atau bahkan tidak pernah disentuh oleh pengarang kita yang lain.
Selain ceritanya yang seru, novel ini banyak menyajikan dialog-dialog yang menambah wawasan pembacanya dalam hal nuklir. Salah satu keistimewaan jamal dalam novel-novelnya adalah menyajikan materi-materi yang tampaknya berat menjadi ringan karena dikemas dalam bentuk dialog antar tokoh-tokohnya. Demikian pula dalam Dong Mu, semua yang ingin disampaikan jamal pada pembacanya dikemas dalam dialog yang ringan dan mudah dipahami.
Dong Mu sendiri adalah frasa dalam bahasa Korea yang bisa berarti Kamerad, atau juga bisa diartikan sebagai teman. Judul yang tepat karena memang novel ini menceritakan pertemanan Herman dengan Prof Rukayadi dan sepak terjangnya dalam membebaskan seorang agen CIA yang diculik atas perintah Dong Mu (Kamerad) Kim Song Gi.
Salah satu yang menarik dalam novel ini adalah materi tentang kebijakan nuklir, baik kebijakan di negara-negara maju pemilik senjata nuklir, juga kebijakan nuklir di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Dalam novel ini terungkap bahwa Indonesia sebenarnya memiliki tambang uranium di Kalimantan Barat, namun kita hanya bisa menggalinya untuk kemudian diekspor ke negara maju. Sayangnya "…petinggi negeri kita dan masyarakat belum melihat nuklir sebagai energi alternatif, karena kita masih punya yang lain seperti gas alam atau panas bumi yang melimpah…..Padahal bila dipakai energi listrik, tidak akan terjadi byar pet seperti yang selama ini terjadi. Energi nuklir itu sangat efisien. " (hal 32) .
Pembangunan reaktor nuklir di negara berkembang jika dimanfaatkan untuk tujuan pembangunan memang sangat bermanfaat, namun energi nuklir juga memiliki resiko yang besar jika dikelola dengan serampangan. Untuk itu melalui tokoh Herman dalam makalahnya yang disampaikannya di Konferensi Energi Nulir di Wina Austria terungkap bahwa pembangunan nuklir di negara berkembang memiliki resiko karena umumnya disiplin dan etos kerja yang relatif lemah . Kelemahan ini bagi reaktor nuklir sangat berbahaya karena diperlukan rutinitas dengan disiplin tinggi untuk pengawasan dan pemeriksaan instalasi. (hal 52).
Disinggung pula bahwa negara-negara berkembang yang tidak memiliki energi minyak sangat layak menerima bantuan dan kesempatan dalam mengurangi ketergantungan kepada minyak, dengan demikian utang mereka akan berkurang, dan itu artinya kemakmuran bangsa dan neraga miskin dapat diraih. (hal 53).
Selain tentang kebijakan nuklir dan manfaat pembangunan nuklir di negara-negara berkembang, novel ini mengungkap pula soal diplomasi nuklir, pertikaian politik tingkat dunia sehubungan dengan ambisi pengembangan nuklir, pasar uranium gelap, peta rudal-rudal yang dimiliki Korut, lanskap daerah perbatasan korea utara dan selatan, kritik terhadap kebijakan politik Amerika, dll. Dan yang tak kalah menarik adalah kisah petualangan Herman dan kawan-kawannya menyusup ke Korea Utara. Dalam hal ini jamal menyajikannya dengan seru, lengkap dengan kejutan-kejutan di akhir cerita seperti novel2 spionase umumnya.
Kehadiran tokoh Prof. Rukayadi sebagai sahabat Herman yang bekerja sebagai mikrobiolog juga turut menyemarakkan novel ini, selain sedikit disinggung soal penelitian kandungan berbagai tanaman indonesia yang digunakan sebagai jamu , Prof Rukayadi dengan keahliannya sebagai mikrobiolog juga turut berperan penting dalam operasi penyelamatan Robert Campbell.
Hanya saja awal keterlibatan Porf Rukayadi dalam operasi ini terlihat sedikit dipaksakan. Saat Herman dijemput oleh pihak militer Amerika untuk dibawa ke Yongsan, Herman mendesak agar Prof Rukayadi ikut menemaninya. Hal ini langsung disetujui oleh orang yang menjemput Herman tanpa berkonsultasi dengan atasannya. Sungguh tindakan yang ceroboh bagi sebuah operasi intelejen. Padahal untuk operasi rahasia yang melibatkan CIA, Amerika, dan militer Korea Selatan, rasanya tak mungkin dapat dengan begitu saja melibatkan orang seperti Prof Rukayadi yang jelas-jelas kehaliannya berbeda dengan operasi ini. Namun untunglah kejanggalan ini kelak tertutupi oleh peran penting Prof Rukayadi dalam menjalankan operasi ini.
Satu lagi yang mungkin terasa kurang digali dalam novel ini adalah dampak lingkungan akibat kebocoran reaktor nuklir dan senjata nuklir. Tampaknya novel ini lebih condong ke arah politik dibanding ke dampak lingkungannya. Jika saja Jamal memberikan deskripsi yang agak detail untuk kerusakan lingkungan akibat kebocoran reaktor nuklir dan dampak lingkungan jika sebuah negara melakukan uji coba rudal berhulu ledak nuklir, tentunya novel ini akan semakin lengkap, sehingga pembaca tidak hanya mengetahui soal kebijakan dan pertikaian nuklir tapi mengetahui juga akibat bagi lingkungan yang rusak dari pemanfaatan energi nuklir yang salah.
Di novel kelimanya ini juga, tampaknya Jamal meninggalkan ciri khasnya di keempat novel terdahulunya. Biasanya Jamal selalu menyelipkan unsur-unsur desain bangunan atau produk dalam tiap novelnya. Di novel Dong Mu, ciri khas Jamal ini tak muncul, padahal ada yang sedikit bisa diangkat seperti desain lokal/tradisional di korea seperti istana, atau mungkin bangunan-bangunan modern yang terdapat di korea dll.
Terlepas dari kekurangan diatas, novel ini secara umum sangat bermanfaat dalam memperluas cakrawala berpikir pembacanya dalam hal kebijakan nuklir . Selain itu melalui tokoh utama dalam novel ini, yaitu Herman sebagai lulusan Fisika Kuantum di Universitas Tokyo yang bekerja sebagai staff IAEA, dan Prof Rukayadi sebagai mikrobiolog yang bekerja dan mengajar di Korea Selatan tentunya akan membangun kesadaran pembacanya bahwa cendekiawan Indonesia ternyata bisa juga berkiprah dan diakui kepakarannya di negara-negara maju.
Tokoh Herman dan Prof Rukayadi bukanlah tokoh fikif, mereka benar-benar tokoh riil yang ‘dipinjam’ Jamal untuk menghidupkan novelnya ini. Herman adalah karakter dari Suhermanto Duliman yang kini bekerja di Nuclear Safeguards Inspector International Atomic Energy Agency (IAEA) di Wina Austria. Sedangkan Prof Rukayadi, adalah karakter dari Yaya Rukayadi, seorang microbilogist, dan penerima Seoul Honorary Citizenship, yang kini tinggal dan mengajar di Seoul Korea Selatan.
Apa yang diangkat oleh Jamal dalam novelnya kali ini, baik soal nuklir dan kiprah manusia Indonesia di negara maju patutlah dihargai. Tak heran jika novel ini mendapat apresiasi yang baik dari Kusmayanto Kardiman, selaku Menteri Riset dan Teknologi Republik Indonesia. Dalam endorsmentnya Menristek Kusmayanto menulis bahwa : "….buku ini mengasyikan untuk dibaca sampai tamat dan pembaca akan dapat banyak pelajaran dan kebanggan dari kisah kiprah anak-anak Indonesia yang berkarya nyata di luar negeri, khususnya Korea".
Endah Sulwesi: “Dong mu” dalam bahasa Korea bermakna sama seperti kamerad dalam bahasa Rusia. Kira-kira dalam bahasa kita artinya kawan (rekan). Biasanya dipakai sebagai panggilan akrab sesama anggota partai komunis. Ingat film Pengkhianatan G 30 S/PKI karya Arifin C.Noor yang sangat populer di paruh tahun 80-an? Dalam dialognya, sesama anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) saling menyapa dengan sebutan “kawan” (Kawan Sam, Kawan Aidit, dll). Kurang lebih seperti itulah arti kata “dong mu”.
Dong Mu menjadi judul novel kelima Jamal karena mengambil setting cerita di Negeri Ginseng. Tokohnya seorang pria Indonesia, Herman, staf Departemen of Safeguard International Atomic Energy (IAEA), sebuah organisasi PBB yang mengurusi energi nuklir. Bermarkas di Wina, Austria, IAEA bertugas mengawasi penggunaan tenaga nuklir di setiap negara agar tidak dipakai sebagai senjata pemusnah yang membahayakan umat manusia.
Korea Utara adalah salah satu negara yang memiliki reaktor nuklir cukup besar di Asia. Pada 5 Juli 2006, negeri di bawah pimpinan Presiden Kim Jong Il itu diam-diam meluncurkan peluru kendali (rudal) dalam rangka uji coba di Yongbyon. Rudal tersebut ternyata jatuh di laut Jepang. Peristiwa tersebut sangat mengejutkan dunia, khususnya Amerika Serikat selaku negeri adi kuasa yang selalu merasa diri sebagai polisi dunia itu. Seluruh dunia khawatir rudal tersebut berhulu ledak nuklir yang apa bila meledak dapat mengakibatkan bencana besar bagia kemanusiaan.
Kejadian itu membawa Herman tiba di Seoul, Korea Selatan, untuk mengulik kebenaran fakta langsung dari sumbernya. Namun, alih-alih memperoleh informasi yang diperlukan, Herman malah terseret dalam sebuah upaya pembebasan seorang agen CIA, Robert Campbell, yang diculik oleh pihak intelejen Korea Utara. Mereka meminta tebusan berupa uranium sebanyak 50 kilogram. Jumlah yang sangat cukup untuk menghancur-leburkan dunia.
Keterlibatan Herman karena ia diminta pihak Korea Utara sebagai perantara yang akan menyerahkan barang tebusan tersebut. Dengan alasan kemanusiaan, akhirnya Herman tak sanggup mengelak dari “tugas” yang penuh risiko itu. Bersama tentara Korea Selatan dan Amerika, ia melaksanakan operasi pembebasan Campbell. Turut serta dalam petualangan itu Prof.Rukayadi, ahli mikrobiologi Indonesia sahabat Herman yang telah lama menetap di Seoul.
Lagi-lagi, Jamal yang asli Ciamis ini membuat cerita berlatar belakang luar negeri. Kali ini ia (mencoba) berkelana ke Korea meskipun ia belum pernah menginjakkan kaki di negeri yang diramalkan akan menjadi salah satu Macan Asia ini. Permasalahan politik yang berakar pada soal ideologi antara Korea Utara dan Selatan “dimanfaatkan” Jamal untuk memperkaya novelnya ini. Tidak cukup dalam sih, karena memang Dong Mu tidak berambisi menjadi sebuah novel politik.
Tema yang kali ini diusung Jamal lumayan berat sebetulnya. Tetapi sayangnya tidak lalu menjelma novel yang cukup berbobot. Malah cenderung cetek dan enteng-enteng saja. Usahanya menghadirkan plot beraroma thriller tak cukup berhasil kendati telah disiasati dengan gaya cerita spionase ala James Bond. Penyelesaian masalah yang mestinya cukup serius itu terkesan terlalu gampang.
Yang menarik “spionnya” adalah Herman, orang Melayu; sedangkan korbannya adalah Campbell, agen CIA. Menarik sebab selama ini Amerika dengan CIA-nya nyaris selalu digambarkan sebagai pahlawan yang tak terkalahkan. Namun, dalam Dong Mu, dengan usilnya Jamal menjungkirbalikkan gambaran tersebut.
Sebenarnya jika penulis yang juga dosen ITENAS ini mau membebaskan diri dari keharusan menyampaikan pesan moral tentang bahaya penggunaan nuklir sebagai senjata pemusnah, barangkali Dong Mu akan jauh lebih asyik dinikmati sebagai semata-mata novel spionase. Tentu dengan menggali lebih dalam lagi informasi dan data bagi kisah dengan tema besar ini. Di sini, ia jadi tidak fokus lantaran sibuk mengampanyekan perdamaian dunia dan anti senjata nuklir.
Jamal juga terlihat kelewat nasionalis dengan menjadikan Herman dan Prof.Rukayadi sebagai pahlawan. Boleh saja sih berbangga-bangga dengan negeri sendiri sepanjang itu rasional dan sesuai fakta. Tetapi jika sebaliknya, apa malah tidak akan jadi lelucon saja?***
Sunlita Citra Tanggyono: Cukup memikat dengan covernya, lalu ditambah dengan jalan cerita yang tidak biasa. Salah satu novel yang berbobot dan dibekali riset mendalam. Sebuah karya yang sangat bagus!
Resti Dastam: Lumayan pusing baca di awal, selanjutnya...ga juga ternyata :D
Belajar (sedikit) geografi,(sedikit) sejarah, (sedikit) iptek, (sedikit) politik, (sedikit) militer...serba sedikit karena memang dibahasnya sedikit-sedikit.
Mungkin di awal membaca terlalu berharap akan ada kisah menegangkan mengenai peluncuran rudal oleh Korut tapi ternyata ga... :(
Ada sedikit ketegangan saat Herman mesti jadi mediator tapi ga berlanjut alias cepat berlalu...
Begitu juga saat Prof Rukayadi diinterogasi tentara amerika,sepertinya lewat gitu aja ketegangannya.
Whisnu F. Afrianto: endorsmennya maut, Dari Menristek!
Niken: bener2. awalnya bingung krn alurnya loncat2. tp lama2, bisa jg ngikuti. bener2 tersadarkan menjelang akhir cerita. tersadarkan oleh keharusan menimba ilmu ke luar negeri, dan mewujudkan cita2 besar utk bangsa. nuhun mang jamal!
Monsterikan: bukunya gitu aja. ngalor ngidul soal gimana anak negeri bisa bertaji di dunia secara global. ide yang ga jelek, tapi kalau disampaikan std-std aja ya jadinya std-std aja dan pesannya kurang sampe.
0 komentar:
Posting Komentar