Manjali dan Cakrabirawa
by Ayu Utami
Setelah melahirkan tiga novel bestseller, yakni Bilangan Fu, Saman, dan Larung, Ayu Utami mengeluarkan novel keempat berjudul Manjali dan Cakrabirawa . Novel ini merupakan kelanjutan novel Bilangan Fu
Serial ini mengisahkan petualangan Marja, Yuda, dan Parang Jati menghadapi berbagai misteri lokal di Nusantara. Sementara Bilangan Fu mengangkat tema alam gaib di kawasan Pacitan, kini Manjali dan Cakrabirawa menyingkap misteri yang tersembunyi di salah satu candi di sekitar perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur dan kaitannya dengan pembunuhan massal di fajar kekuasaan Orde Baru.
Preview
Saya: menurut gw, Ayu gak pernah meninggalkan darah dan agamanya: jawa dan nasrani...liat saja pola pikir dan konsep yang melekat dalam novel ini.
kadang-kadang jika terlalu terbawa, gw mengalami apa yang menjadi hidup gw sehari-hari...begitu dekat dan sekaligus menyeramkan. gw pikir Ayu benar, sudah saatx kita hilangkan konsep negatif tentang PKI, Gerwani, dan Cakrabirawa...gak semua yang dibombardirkan Orba itu benar.
Dewi R. Ayu: Sejarah..tak banyak orang bisa membawa materi ini dalam sebuah novel, apalagi sejarah Indonesia. Sebagai warganya saja, saya tidak tahu mana yang benar dan salah... Karena saya percaya salah dan benar hanyalah masalah perspektif belaka.
Di buku ini saya pahami kenapa harus ada perbedaan di dunia ini. karena dengan adanya Sang Liyan, dengan adanya sistem alternatif, sistem yang lain, ketidaksamaan, maka kita bisa tahu bahwa sistem yang pertama bukanlah sat-satunya kebenaran. Sehingga menghindarkan manusia berprilaku sombong karena menganggap keping yang mereka ketahui adalah seluruh gambaran dunia.
Indri: Seandainya aku Marja Manjali, pasti aku jatuh cinta pada Parang Jati.
Ingin ia menyaksikan mata bidadari yang terbuka untuk dijelajahi. Inilah perbedaan Parang Jati dengan lelaki lain : matanya tidak menjelajahi tubuhmu. Matanya tidak menjelmakan kau seonggok obyek. Matanya berkata kepadamu bahwa di dalam sana ada rasi-rasi bintang. Jelajahilah. Alamilah. (h.118)
Marja :
Aku akan merasa aman dan beruntung berada dekat Parang Jati, yang dipercaya kekasihku untuk menjagaku. Perjalanan yang dilakukan bersamanya membuka diriku, gadis 19 tahun yang dibesarkan di kota, yang tidak peduli pada nilai-nilai budaya.
Tiba-tiba aku terlempar ke masa silam, ketika kami menelusuri jejak candi-candi, dan menemukan sesuatu yang diperkirakan sebagai candi Calwanarang, dukun teluh pada masa Airlangga, yang dibuat moksa oleh Empu Baradah.
Kebetulan pulakah, namaku Marja Manjali, sama dengan putri Calwanarang, Ratna Manjali, yang jatuh cinta dengan Bahula, anak didik Baradah, yang mengakibatkan kematian ibunya?
Kebetulan pulakah, di situs tersebut ditemukan prasasti Bhairawa Cakra, yang sama dengan nama pasukan elite yang dituduh memberontak pada pemerintah di tahun 1965. Kata-kata yang serupa mantra untuk menaklukan negara.
Kebetulan pulakah, kalau aku bertemu dengan ibu-ibu tua yang aku kira nenek sihir, dan ternyata membuka tabir rahasia lainnya di balik Cakra Birawa?
Kebetulan pulakah, bahwa kekasihku mengkhianati sahabatnya karena terperangkap oleh kebohongannya sendiri dan mengikuti ambisinya. Dan aku hampir tidak percaya ia melakukan dan aku menjadi saksinya.
Kebetulan pulakah, bahwa aku harus ditemani Parang Jati setiap malam, untuk mendengarkan dongeng sebelum tidur untuk menahan hasrat yang menggebu. Sehingga aku bisa mengerti dongeng itu untuk memecahkan rahasia-rahasia dan misteri yang bertautan ini.
Ia ingin menguasai ilmu, tetapi tetap bisa menggunakan kepekaan lain jika diperlukan. Ia ingin menjadi dewasa, tanpa kehilangan ketulusan sebagai kanak-kanak. Betapa tidak mudah untuk menjadi seimbang. Betapa tak gampang untuk merawat kemampuan yang berbeda bersama-sama. Tapi relief ini memberi harapan bahwa kita bisa menjadi seimbang. (h. 230)
Tak selamanya diselesaikan dengan satu sudut pandang. Seperti ketika aku jadi sandera Parang Jati sesudah pengkhianatan Yudha. Diriku merasa bebas, karena menjadi subyek, bukan obyek. Melihat tidak hanya dari fakta yang nampak, namun juga dari intuisi dan keyakinan. Tanpa ada penjelasan ilmiah. Praduga yang dicobakan. Dan bisa menjadi kebetulan baru.
Jika kebetulan terjadi terlalu banyak, apakah kita tetap percaya bahwa itu tidak bermakna?
''seorang ilmuwan akan mencari pola-pola. dan seorang beriman akan mencari rencana tuhan.'' (h.18)
Pringadi Abdi: Salah satu buku terburuk dengan propaganda terbaik yang saya tahu.
Setelah Saman, yang menyimpan kebohongan, dan heteronormatifitas dan falosentrismenya itu, Ayu Utami tampaknya mau bikin dagelan di buku ini. Banyak hal yang cuma jadi tempelan, eksotisme, intelektualitas yang nanggung.
0 komentar:
Posting Komentar