Burung-Burung Manyar
Roman tentang "anak kolong" yang hidup dalam pergolakan kemerdekaan Indonesia dan justru berpihak kepada Belanda. Peraih Ramon Magsasay Award 1996. Setadewa dan Larasati berkawan karib sejak kecil. Setadewa lahir sebagai anak kolong, anak serdadu yang tinggal di tangsi. Bapaknya, Kapten Brajabasuki, adalah seorang kapten pada KNIL, tentara Hindia Belanda. Ibunya bernama Marice, seorang perempuan keturunan. Kapten Brajabasuki hilang tak berjejak ketika kependudukan Jepang. Kemudian Marice menjadi gundik Jepang, meski ia tak menginginkannya. Ia dipaksa keadaan: kalau ia tak mau menjadi gundik, suaminya, ayah Teto, akan mati. Setelah dewasa, Teto memilih menjadi tentara Belanda. Ia menemui Mayoor Verbruggen dengan membawa serta surat ibunya. Ternyata Mayoor Verbruggen adalah mantan kekasih ibunya. Alasan Teto memilih menjadi tentara NICA adalah kesumat kepada Jepang yang telah memaksa maminya menjadi gundik. Ia juga berpikir orang-orang yang menentang Belanda adalah pengkhianat—termasuk orang-orang Republik.
Sementara itu, Larasati atau Atik adalah gadis nasionalis yang sangat membenci Belanda. Bahkan, ia bekerja sebagai relawan administrasi di lembaga milik pemerintah Indonesia. Meski begitu, Teto tetap mencintai Atik dan menghormati keluarga Antana. Setelah Belanda kalah, Teto hengkang dari Indonesia. Ia menjadi ahli komputer dan manajer produksi Pasific Oil Wells Company. Suatu saat, Setadewa kembali ke Indonesia dan tanpa direncanakan ia menghadiri ujian disertasi Atik. Pada acara tersebut, dia tidak menemui Atik. Justru Atik dan suaminya, Janakatamsi, yang mengunjungi Teto di tempat ia menginap. Atik mengajak Teto ke rumahnya untuk bertemu dengan Bu Antana, yang kemudian meminta agar Teto bersedia menjadi kakak bagi Atik. Suatu kecelakaan merenggut nyawa Atik dan Janakatamsi, suaminya, ketika mereka hendak berangkat beribadah haji. Jadilah ketiga anak mereka yatim piatu. Kemudian Setadewa menganggap ketiga anak Atik dan Jana sebagai anak-anaknya sendiri. Ia pun tak menikah lagi. Baginya, cukup Bu Antana yang menjadi ibu sekaligus nenek bagi ketiga anak itu.
Djambatan 2004
Asrie: Pertama kali baca, dipinjemin dari temen. Bagus banget. Bahasanya ringan. Naratif bgt. Kita dibawa ke era penjajahan Belanda, di mana si tokoh utama Teto menjadi pangeran kecil, blasteran Jawa-Belanda, yang nakal. Kamudian Jepang datang dan nasibnya pun terbalik. Sakit, perih, sendirian, terpisah dari orang tua. Hanya satu peneduh jiwanya, Larasati, sepupu jauhnya, sesama keturunan karaton. Gadis cerdas dan pemberani ini yang selalu membuatnya bertahan. Meskipun jauh, ia selalu mengenang gadis ini, hingga masa tuanya di ear kemerdekaan Indonesia. Di sini ada romantisme, sejarah, filosofi, dldl, dll, pokoknya komplit deh. Sampai-sampai aku buat bahan skripsi. Trus akau lulus! makasih ya buku.
Ariyati: gaya bahasanya bikin kaget.. koq gak terkesan jadul ya? padahal berlatar masa perjuangan kemerdekaan.. jaman kompeni masih berkeliaran...ada lucu..ada sedih..ada jg yg memprihatinkan..
Teto..
produk indo-belanda yang bikin gemes karena gak cepat nentukan sikap atau menentukan pilihan.. memilih karir berpihak dengan belanda yang juga nenek moyangnya .. atau berpihak pada cintanya untuk gadis yg sangat pro-kemerdekaan republik Indonesia... dilema.
Pandangan tokoh Teto di novel ini bisa jadi mewakili pemikiran para kompeni di saat itu.. yang melihat Indonesia seperti anak yg baru belajar merangkak..baru belajar merangkak koq ya brani2nya mau merdeka.. mampu gitu ngurus negaraaa ??... ya mampu lah..sebisanya :)
selain masalah pribadi Teto - masalah pribadi akibat dari political preference 'tetep nge-pro belanda' and nasib yg gak bisa diubah 'terlahir sbg indo-belanda'... duh ribet amat. Digambarkan pula situasi kehidupan masyarakat disaat itu.. priyayi yg beristri orang belanda (priyayi kan sugih, kalo kere mana dapet bojo londo), perempuan yang menjadi budak seks serdadu jepang - termasuk perempuan belanda jg, serta bagaimana kehidupan seorang serdadu, juga kisah cintanya (serdadu jg manusia).. situasi yg tidak aman dijalanan.. etc..etc endingnya...??? ho..ho.. selamat membaca dech!
Nany: Walaupun sudah beberapa kali membaca buku ini, tapi masih terasa menarik karena bahasanya segar dan tidak membosankan.Terakhir saya baca buku ini beberapa tahun yang lalu tapi ketika membaca ulang masih ada renungan dan pelajaran baru yang bisa diambil
Kisah perjalan hidup tokoh Setadewa atau yang biasa dipanggil Teto yang melalui beberapa masa peralihan jaman, penuh dengan konflik baik konflik dalam dirinya sendiri maupun dengan lingkungan sosial nya termasuk konflik percintaan dengan Larasati (atik)yang dikenalnya sejak masa kanak2. Perkenalan pertama, pertemuan ketika remaja,pertemuan ketika konflik, perpisahan dan pertemuan setelah dewasa diceritakan dengan nuansa- nuansa yang bebeda; sesal, sedih, gembira- sangat luar biasa.
Endingnya ..di luar dugaan :)
Mungkin pelajaran yang bisa diambil adalah jangan menyimpan segala sesuatu sendiri baik dendam ataupun rindu. Sebagai makhluk sosial kita perlu teman yang bisa dipercaya untuk berbagi agar kita tidak salah memilih jalan hidup dan jangan memendam cinta dengan alasan apapun.. ungkapkanlah dan kau akan lega ..!
Sweetdhee: tertarik oleh buku ini karena ada teman yang bilang ga hepi ending
hehehehehe kalau ada yang mengibaratkan Teto bagaikan Karna, mungkin ada benarnya..
tapi rasa sebel bin kesel ke Teto kayaknya ga sebesar ke Karna deh..hihihihi
*sok2an bela Karna walaupun tidak semua orang benar-benar mengerti, tapi semua orang pasti punya alasan atas semua tindakannya
Teto punya sejuta kebencian pada Jepang
yang menghilangkan fisik Papinya, Kapiten Brajabasuki yang keturunan ningrat juga menghilangkan 'kesadaranan' Maminya, Marice,indo Belanda yang setia pada ritual mistis keratin
tapi sebesar apapun kebencian Teto pada Jepang,
mana sanggup ia membenci Atik? membenci sinar matanya, argumen-argumen cerdasnya yang kadang menjengkelkan saking gemasnya walaupun Atik membela Republik, yang bagi Teto adalah pihak yang mengemis dan membungkuk pada Jepang, Teto tidak akan mampu membenci Atik meski..
ahhh.. akhir yang tidak sungguh2 seperti saya harapkan masih kurang tragis..terlalu manis..
ini mah tragisnya orang jawa.. heheehehehehe, tragis yang bagaimana tuh? baca bukunya aja deh
^_^
PS: butuh berkali-kali baca soal penjelasan burung-burung Manyar Masih ga terlalu mudeng sih.. tapi feelnya dapet halah, opo tho?
Naomi: Pertama kenal buku ini dari bapak. Waktu itu saya baru umur 10-an tahun. Sambil nemenin anak-anaknya tidur siang, bapak suka bacain buku ini. Ingat betul, gimana saya dan kakak jadi kecanduan lagunya Teto kecil waktu pawai keliling tangsi sama temen-temennya. Kami tak pernah berhenti tertawa, dan meminta bapak untuk mengulang-ulang bagian lagu yang kocak itu. "Dreng..deng..deng...Pak (---saya lupa) makan dendeng celeng...". Sebagai mantan anak kolong, saya merasa menemukan sebagian pribadi saya pada diri Teto.
Saya ingat menangis, saat teto sedih karena terpisah dari ibunya...Pasti dia bingung sekali. Tidak bisa membayangkan seorang anak terpisah dengan ibu yang ia kasihi. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, saya akan mengalami hal yang sama, ketika saya tidak lagi bisa merasakan hangat nafas ibu dan belaian sayangnya saat ia berpulang ke rumah Bapa. But she's happy now, and I should be happy for that!
Ini yang paling saya ingat dari tulisan Romo Mangun -- tentang kehangatan keluarga dan perjuangan hidup yang tidak mengenal kasta
0 komentar:
Posting Komentar