Kopi Merah Putih
by Indonesia-Anonymus (Goodreads Author), Isman H. Suryaman (Goodreads Author) (Editor)
Kesal karena pemadaman listrik? Tahukah Anda bahwa seperempat pelanggan listrik di Jawa Barat saja bisa menghemat 1.400 MWh kalau mereka mencabut colokan listrik saat tidak memakai TV (atau alat elektronik lain)?
Rahasia sukses Kanada, Finlandia, Jepang, Singapura, dan Korea Selatan meningkatkan mutu pendidikan ternyata BUKAN UANG! Lantas apa?
Subsidi BBM: perlu atau tidak? Itu pertanyaan yang salah. Pilihannya sebenarnya ada dua: kita mau seperti Venezuela atau Norwegia?
Penasaran? Kopi Merah Putih adalah obrolan santai oleh sekumpulan warga Indonesia seperti Anda-memiki rutinitas sehari-hari yang sibuk, tapi masih sempat nongkrong, ngopi, dan ngobrol mengenai negara kita yang tercinta serta apa yang bisa kita lakukan... sekecil apa pun itu.
Gramedia Pustaka Utama 2009
Lalu: “Kualitas pendidikan tidak akan bisa melebihi kualitas gurunya” (hal. 19)
Jika pemerintah benar-benar menerapkan anggaran pendidikan 20% dari APBN, apakah pendidikan kita bisa terdongkrak? Jika guru-guru di Indonesia digaji tinggi, apakah ranking pendidikan kita beranjak lebih bagus? Apakah penambahan jam belajar siswa di sekolah dan revisi berbagai kebijakan di bidang pendidikan mampu mengatrol kualitas pendidikan kita?
Bukan. Ternyata, bukan itu jawabannya. Lalu apa? Bercermin dari pengalaman Kanada, Finlandia, Jepang, Singapura, dan Korea Selatan, jawabannya adalah status. Di negara-negara tersebut, guru adalah profesi berstatus tinggi.
Di Korea Selatan, misalnya, untuk menjadi guru sekolah dasar lebih sukar daripada menjadi guru sekolah menengah. Untuk menjadi guru sekolah dasar, Anda harus lulus dari universitas pilihan dengan nilai yang tinggi. Sementara itu, untuk menjadi guru sekolah menengah, Anda hanya perlu diploma yang bisa didapat di banyak tempat. (hal. 17)
Singapura juga tidak jauh berbeda. Negara tersebut menyeleksi kandidat guru dengan prosedur yang sangat ketat, dan hanya menerima guru bila posisi tersebut tersedia. Finlandia juga membatasi jumlah guru berdasarkan kebutuhan.
Tulisan yang berada di bawah judul “Kita, Uang, dan Pendidikan” (hal. 11) ini pun berkorelasi
dengan tulisan lainnya, “Kita, Sekolah, dan Kesempatan Kerja” (hal. 117). Bahwa pengakuan mereka yang bekerja di Human Resources (HR) akan memilih calon pegawai berdasarkan universitas lulusannya. Itu jika hanya dibutuhkan sedikit – katakanlah sepuluh – karyawan, namun peminatnya ratusan orang. Lalu, sekolah-sekolah mana saja yang memenuhi syarat untuk dipertimbangkan?
“Ada daftarnya. Untuk sekolah dari dalam dan luar negeri. Di daftar teratas tentu sekolah-sekolah yang punya nama. Untuk universitas lokal ini biasanya universitas-universitas negeri yang top dan universitas swasta yang terkenal bagus. Tetapi, beberapa yang kurang terkenal pun ada. Misalnya, kalau alumnus sekolah itu ada yang sudah bekerja di sini dan prestasinya bagus, sekolahnya akan masuk dalam daftar.” (hal. 124-125)
Tentu saja, selain berdasarkan sekolah, faktor prestasi, nilai akademik, keaktifan di organisasi, dan keaktifan di kegiatan ekstrakurikuler juga menjadi bahan pertimbangan.
Dua tulisan tersebut bersama 19 tulisan lainnya teracik dalam pahit manisnya Kopi Merah Putih. Isu-isu yang dibedah pun beragam. Masalah kelistrikan (hal. 1), kenaikan harga BBM dan kaitannya dengan semangat demonstrasi mahasiswa (hal. 31), tren penggunaan kartu kredit oleh masyarakat urban (hal. 47), masalah demokrasi dan reformasi (hal. 99, hal. 105, dan hal. 147)’ hingga hal-hal remeh temeh namun dikaji dengan serentetan fakta, angka, dan statistik seperti dalam “Kita dan Pisang” (hal. 85), “Kita, Jas, dan Dasi” (hal. 63), “Kita dan Bajaj” (hal. 57), dan “Kita dan Sinetron”.
Meski bahan-bahan tulisan ini – sepengakuan para penulisnya yang merupakan sekelompok kuli kerah putih – banyak tercetus saat ngopi, namun keseriusan penggarapannya bisa tercermin dari penautan ke sumber-sumber terpercaya, baik majalah, buku, maupun situs melalui catatan kaki. Tambahan pula, grafik dan tabel diselipkan di antara ilustrasi-ilustrasi yang mengundang senyum.
Menyentil? Iya. Mengajak berpikir? Iya. Menggugah kesadaran berbangsa? Juga iya.
Sebuah buku ‘ringan’ yang nikmat sebagai peneman menyesap kopi.
Ali: Tahukah Anda bahwa Microwave oven yang Anda miliki menghabiskan lebih banyak listrik untuk menjalankan jam digitalnya dibanding untuk menghangatkan makanan?
Opini diatas adalah salah satu kalimat yang ada dalam buku ini. Semuanya menjelaskan tentang hal-hal kecil yang ada di sekitar kita, sekaligus mengajak kita memaksa mengatakan "Iya ya? Bener juga"
Kalimat-kalimat yang renyah, ya..layaknya obrolan di warung kopi betul-betul tersaji di buku ini. Semuanya menceritakan tentang kita, keluarga kita, lingkungan kita serta tentang tanah air yang kita pijak.
Mulai dari Listrik, pendidikan, demonstrasi, subsidi, bulutangkis, hingga sinetron.
Yang unik, buku setebal 181 halaman ini di tulis oleh berbagai manusia dan kalangan dengan latar serta gaya tulisan yang beragam, mungkin ini yang dimaksud konsep Bhineka Tunggal Ika kita..mereka ada dalam satu nama :indonesia-anonymus.
Sesuai dengan kekinian, buku ini cocok buat menemani kita nyeruduk kopi, tentu saja sambil nyemil pisang goreng..hehe.
Mark: Most people love to talk about many things, including talking about change for the better (i.e. improvement). This book is no difference. It just talks and gives ideas, not really proposing real action plans. Which bores most readers, like me.
I Md: buku yang sungguh menarik dengan menampilkan sisi kita dan indonesia. kita disini lebih subyektif kearah mana pembaca membawa. anda sendiri, kita bersama ataupun kita kita individu indonesia.
dengan tambahan statistik angka-angka dan quote dari berbagai sumber, buku ini semakin membuat kita melihat bagaimana fakta yang kita lihat ataupun yang sedang kita pikirkan. Jadi membaca buku ini seolah kita bercermin, mengobrol dan bermain dengan hiruk-pikuk hidup di Indonesia yang kita cintai.
0 komentar:
Posting Komentar