Sendalu
Penerbit Buku Kompas 2006
Saya: Judulnya tidak terdengar popular. Sampulnya biasa sekali, apalagi dengan foto penulisnya sendiri?? Di belakang. Terlihat seperti buku yang dibuat asal-asalan untuk kesenangan pribadi dan kawan-kawan dekat.
Ceritanya mengalir begitu cepat sehingga kita harus memaklumi tidak ada keindahan puisi sastra di kalimat-kalimat awal tiap bab baru. Dengan ketebalan yang tidak seberapa, buku ini sudah mencapai apa yang diinginkan penulisnya?? Jika itu menyinggung soal pemerkosaan missal pada Mei 1998.
Saya menyukai buku ini, mungkin karena ada sentiment?? Tapi mungkin juga karena saya merasa sedih, kesal, marah, dan menyesal kenapa bisa terjadi pemerkosaan missal Mei 1998 itu?? Jika itu sepenuhnya betul. Jika saya menjadi salah satu keluarga korban, saya akan mencari nama-nama orang yang biadab itu dan saya balas dendam, tentu saja dengan cara diam-diam.
Sebab bagi saya, tidak bisa hanya mengharapkan Tuhan menghukum orang-orang biadab itu. Manusia yang harus menuntut hukuman, balasan, agar orang-orang yang hendak mengikuti jejak itu, menjadi agak kecut, mungkin jera, dan berpikir lebih dalam.
John Ferry: Awalnya saya mengetahui buku ini dari buku kumpulan esai Hudan Hidayat, Nabi Tanpa Wahyu. "Chavchay masuk lewat tokoh biasa dengan segenap 'ironi pertumbuhan' yang membias dari orang-orang kalah," tulis Hudan tentang novel ini. Sebuah novel yang sangat kelam. Keras. Meradang. Begini dongengnya: Tokoh Lumang adalah seorang manusia "terapit bangkai", diapit oleh dua bayi keguguran. Ia tumbuh dalam kemiskinan. Diasuh orang tua yang cekcok mulut melulu. Dan anehnya, pertengkeran hebat selalu berakhir dengan permainan kuda ranjang yang tak kalah hebat pula. Begitulah Lumang dibesarkan orang tua yang sering kali beradu daging, tak kenal tempat dan waktu.
Sang Ayah seorang mantan jawara Banten yang bertobat menjadi tukang cukur. Sementara si Ibu sehari-hari menjual kue di pasar pagi. Orang tua miskin ini tak pernah memikirkan bagaimana pertengkaran hingga raungan perkelaminan mereka berpengaruh pada aspek psikis si anak. Pula dengan pahitnya hidup, membuat mereka berdiam di rumah sangat sederhana; dengan pembatas kamar apa adanya. Jadilah tiap rintihan kenikmatan orang tua menjadi rekaman suram masa kecil Lumang.
Tak terbayangkan betapa tersiksanya jiwa dan kelamin si anak itu. Diperparah pula dengan adegan panas tak henti dari tetangganya, pasangan pengantin muda Lastri dan Burhan - yang selalu diintipnya. Makin lengkaplah duka dan siksa itu. Bahkan, suatu kali lolongan kenikmatan dua pasang prajurit bertetangga ini, orang tua dan pasangan muda, memberondong otak Lumang dengan peluru kemesuman. Bersahut-sahutan. Membiakkan ulat busuk di hati dan pikiran Lumang. Ia menjadi korban yang terlupakan. Seks berwajah kelam pun menjadi sendalu malam di tubuhnya. Lumang tak sanggup protes. Tak tahan pula dengan semua keriuhan itu. Ia kabur dari rumah, bertarung di jalanan yang keras. Namun sudah tercipta Lumang dewasa pembawa hasrat tak terperikan dalam tubuhnya.
Hari-hari pun berlari. Lumang telah mengumpulkan dendam kesumat rawa-rawa dalam debarnya. Tak tertahankan lagi gejolak hatinya pada Lastri. Ia pulang ke rumah orang tuanya... Voila. Ada kesempatan! Lastri sendiri di rumahnya dalam keadaan bugil sehabis mandi. Inilah awal mula teror syahwat seorang Lumang. Dia tak mau lagi hanya jadi penonton pertunjukan. "Aku adalah lelaki yang selalu kalah, kini saatnya harus menang," ujarnya. Tak mau lagi dikalahkan khayalnya yang kelam. Lastri diperkosa dengan amat rakusnya. Amat bengisnya. Ia usir pemeran utama dalam jerit panggung persetubuhan yang sekian lama ia saksikan. Ia tinggalkan tubuh perempuan itu meringis-ringis, meringkuk dalam perih dan ancaman. Lumang kembali ke kamar sepinya dengan sedikit penyesalan. Sang Ibu datang. Gembira melihat anaknya pulang kembali, Ibu mengusap-usap kepala anak tunggal yang dikasihinya. Lelaki jantan yang setia pada ibunya.
Rupanya setan tak mengenal ibu kandung. Sang ibu diperkosa dengan gegap gempita! Tuntaskan dendam rawanya yang mengasuh beribu-ribu buaya. Kucing lapar mengendap di alam bawah sadarnya. Maniak. Kegilaan pun dipertahankan dengan kegilaan lain. Lastri diseret ke ranjang ibu yang masih telanjang. Keduanya dilantak dengan beringas. Gelo, siah! Sang bapak pulang, dihajar! Burham pulang, dihajar! Keduanya ditawan, disekap dihadapan istri mereka yang tak berdaya. Lumang kian kesetanan memperkosa kedua wanita itu dengan 'keadilan' yang suram, disaksikan kedua lelaki malang itu.
Dendam pertama terpuaskan. Dia telah melampaui kejantanan dua lelaki malang itu: sang Ayah dan Burhan. Lumang puas. Bebas. Bahagia. Sendalu pun kian tersepuh dalam parang dagingnya yang terhunus penuh karat.
Bekisar jantan si pesakitan Lumang masih menyimpan lahar gunung api yang bergejolak minta disemburkan. Terminal Kampung Rambutan sebagai tujuan awal. Lumang memperkosa seorang ibu muda di toilet sudut terminal. Selanjutnya ke Pasar Rebo. Ia memangsa seorang ibu muda tanpa ampun setelah membunuh suami dan anaknya. Ia telah menjelma serigala lapar. Siap meringkus siapa saja. Di stasiun kereta Manggarai, ia perkosa seorang petugas loket tiket di toilet penuh kotoron, lantaran tidurnya terganggu oleh salah seorang seorang penjaga stasiun. Stasiun pun geger. Horor pemerkosaan menjadi headline news koran-koran. Syahwatnya telah menebar teror kengerian. Kesadisan. Kebiadaban.
Rupanya kegilaan tak kenal batas terujung. Bosan dengan wanita sebaya Lastri dan ibunya, ia cari sensasi lain dengan menggauli nenek-nenek. Bosan dengan nenek-nenek, ia berburu para perawan kota Jakarta hingga orang-orang cacat fisik dan mental. Aparat negara kelimpungan. Banyak orang cacat bunting akibat perkosaan Lumang. Haram jadah!
Ia pun menyesal telah membuat banyak wanita hamil dan bunuh diri karena kebrutalannya. Ia bertobat menggauli perempuan... Bedebah! Namun tidak untuk lelaki. Serangat sebelas maret (1997) dilancarkan: menjebol pertahanan dubur kaum Adam. 'Lobang belakang' menjadi kegirangan barunya. Ia kian tertantang menguji tapal batas kejantanannya. Maniak! Tak enggan berjibaku untuk menaklukkan si korban dengan kepal dan pentungan. Kelompok satpam, polisi, militer, preman; semua dimangsanya dengan ingar-bingar. Saraaap!
1 Mei 1998, Tugu Pancoran, pendengar sejati hal-ikhal kebejatan moral hewaninya, menjadi saksi bisu syahwat penghabisan Lumang. Tubuhnya ringkih, tak mampu mencari korban lagi. Tapi kelaminnya blingsatan. Yang ada cuma si kecil Bono, yang sudah dianggap adik kandungnya sendiri; sesama gelandangan di kolong jembatan Pancoran itu. Dasar bandot sinting! Si bocah diperkosa dengn paksa. Bono Mati. Lumang meraung-raung. Berteriak-teriak. Terjangkan amuk sesal dalam gelap malam. Tapi percuma. Bono tetap mati. Hatinya teriris-iris. Dengan peluh air mata, ia buang tubuh Bono ke sungai Ciliwung. Dan, sejak saat itu ia gelisah, tak pernah sanggup memejamkan mata.
Peri kebinatangan ditanggalkan. Dua minggu kemudian meletus tragedi besar. Kelompok terorganisir memperkosa perempuan-perempuan etnis cina. Lorong-lorong kota menjelma lautan merah dan pekik anak dara. Bulu kuduknya berdiri. Naluri kemanusiaannya tersibak. Rupanya tak ada solidaritas antar sesama pemerkosa. Ia berlari ke Matraman hendak mengejar dan membunuh para pemerkosa itu. Hasilnya nihil. Ia terus berlari, berlari, dan berlari. Namun sia-sia. Tubuhnya kian lunglai.
Hari-harinya menjadi hari-hari perkabungan dan penyesalan. Ia potong kelaminnya pada 1 januari 2002. Dengan kata tobat yang getir. Dibiarkannya sekerat daging itu tergilas reroda dan jalan raya. Lumang mengaku salah kepada orangtua yang pernah didurhakainya. Juga kepada wartawan, polisi, guru agama, ia akui segala perbuatan nistanya. Itulah pengakuaanya. Pengakuan terakhirnya. Ia pun berjalan ke kuburnya sendiri. Tanpa kelamin.
Inilah karya sastra yang keras. Yang sakit. Tesis yang meradang. Tesis paling jahanam! Tesis pembawa teror kengerian dan hantu kuburan. Demikian penulis membabar hitamnya hitam wajah perkosaan di negeri berpeluh tragedi ini. O, nasib manusia. O, takdir dunia. Karya ini pun boleh menjadi diktum imajiner bagi kita, sebagai medium bercermin pada sejarah. Kepada sejarah yang luka dan lupa itu, si tokoh menitipkan surat wasiat sebagai antitesis diri:
"Wahai kau yang senang memperkosa anak manusia, bercerminlah! Perbuatanmu telah menghancurkan kehidupan manusia seluruhnya. Ingatlah, korban-korbanmu adalah manusia, sama sepertimu. Hentikanlah aksi biadabmu! Bercerminlah! Pandanglah dirimu baik-baik!" (Hal 125).***
Tio: Dapat bukuu ini waktu ikut lumba cari telur.. di Jurang Doankkk.. Boo.. keren banget buku ini,.. ng tau apa ini fiksi apa ng, cuman gw jadi parno ke pulang kerumah lewat jatinegara dan tugu pancoran... uhh jd pengen baca jg buku nya yg pertama... aduh apa ya kok jd lupa.. payudara ya.. kl ada yg punya ak pinjem ya.. :D
Indarwati: Nggak seperti yang pernah ditulis reviewnya di Kompas (kalau nggak salah). Yang kudapat tak seperti yang kuharapkan.
0 komentar:
Posting Komentar