Review The Story Girl

Senin, 16 Januari 2012





The Story Girl: Gadis Pendongeng (The Story Girl #1)

by L.M. Montgomery, Barokah Ruziati (Translator), Ratu Lakhsmita Indira (Illustrator)

"Aku suka jalanan, karena jalanan selalu membuatku bertanya-tanya apa yang ada di ujungnya," demikian si Gadis Pendongeng pernah berkata, lama berselang.

Musim semi itu, Beverly King juga tak tahu apa yang menanti di ujung jalan yang akan membawanya ke pertanian keluarga King di Pulau Prince Edward. Bev sudah sering mendengar ayahnya bercerita tentang rumah tempat dia dibesarkan; tentang pohon willow besar di gerbang, tentang kebun buah King yang terkenal, atau tentang para paman dan bibi.

Tapi merasakan sendiri semua keajaiban di tanah keluarga King ternyata jauh lebih menakjubkan. Apalagi hari-hari itu akan ia habiskan bersama para sepupu dan teman-teman. Bev mencatat semua kejadian luar biasa sepanjang tahun itu, juga salah satu hal terpenting... bertemu si Gadis Pendongeng dan mendengar kisah-kisah yang diceritakannya dengan suara emasnya yang misterius. Kisah-kisah yang didongengkan dengan begitu indah sehingga membuat para pendengarnya terisap ke dalam jalinan kata, dan serasa bertemu muka dengan para pahlawan, putri, dewa, bahkan sang Kematian sendiri!

Gramedia Pustaka Utama 2010

Saya: Gadis Pendongeng adalah kisah yg sangat menarik untuk anak2...ada beberapa hal yg unik, bahwa kisah2 ttg anak2 ini memakai nama2 yg sama seperti: Sara, Carlu, Felicity, dan lain sebagainya...buku ini menarik n lucu, khas anak2 amerika eropa

Tezar: Pernahkan Anda penasaran akan wajah Tuhan? Sara Stanley, yang dipanggil dengan sebutan Gadis Pendongeng, dan teman-temannya sudah. Lalu bagaimana ketika seorang teman mereka menawarkan sobekan buku bergambarkan wajah Tuhan kepada mereka?

Intuisi gadis pendongeng dan teman-temannya dalam karya Montgomery ini sangat luar biasa. Berbagai kejadian disikapi dengan pemikiran khas bocah-bocah menjelang abg, dan tak lupa, Gadis Pendongeng kerap memukau teman-temannya dengan dongeng-dongengnya, seolah-olah para pendengarnya merasakan sendiri kisah-kisah tersebut.

Sebagai novel klasik, Gadis Pendongeng memang layak hidup sebagai novel abadi, sampai sekarang. Kata-katanya memikat, tak pernah membuat kening berkerut. Kisahnya pun hidup, tanpa sadar membuat kita ikut bermain bersama Gadis Pendongeng dkk.

Ariefmai: Menyenangkan... kisahnya lebih leas dari Anne of Green Gables, rasanya memang hidup di tahun sebelum perang dunia I itu menyenangkan ya.

Weni: Hadiah dari seorang sahabat.
Ceritanya khas Montgomery. 3.5 bintang.
Salah satu dongeng yang didongengkan oleh gadis pendongeng dalam buku ini sudah saya dongengkan kepada anak saya ketika dia minta didongengkan sebuah dongeng :D

Fragaria: di buku ini tokoh utamanya tentu aja, sesuai judulnya, si gadis pendongeng yang bernama asli sara stanley. dia bisa dibilang paling unik di antara anak2 segengnya, soalnya gadis pendongeng ini jago sekali bercerita. setiap kisah yang dia ceritakan selalu terasa begitu hidup kalau disimak. maka buku ini pun berisi banyak cerita-cerita yang diceritakan gadis pendongeng. tentu saja semua ceritanya bagus dan aku sadar setiap cerita itu mengandung pelajaran tersendiri.

demikian pula dengan berbagai hal yang dilalui oleh anak2 yang diceritakan di buku ini (gadis pendongeng, beverly, sara ray, felicity, cecily, dan, felix, peter). sedikit demi sedikit mereka mempelajari hidup (termasuk kehidupan akhirat) dengan cara khas anak kecil yang polos. dengan rasa persahabatan, simpati, persaingan, sampai sedikit pertengkaran membuat masa kecil mereka begitu indah untuk dikenang.

salah satu bagian buku ini menceritakan tentang permainan mereka untuk mencatat mimpi di buku mimpi. suatu malam felicity terbangun dari mimpinya. karena kapok tidak mau kehilangan ingatan tentang mimpinya, dia buru2 mencatat mimpinya itu. saat mencatat mimpi itu felicity tidak sengaja membuat lilin yang menyala terjatuh ke gaunnya sehingga gaunnya rusak. ibunya lantas memarahinya. namun dengan kepolosan masa mudanya itu, felicity tidak peduli. ("pokoknya, aku bisa menyelamatkan mimpiku")

Bahan untuk pakaian baru--pakaian siang maupun malam--bisa dibeli di toko mana pun dengan harga terjangkau lalu dijahit dengan tangan. Tapi jika mimpi melarikan diri darimu, di pasar mana di seluruh dunia kau bisa mendapatkannya kembali?


dan masih banyak contoh kepolosan masa kecil lainnya yang diceritakan di dalam buku ini. bener2 bikin aku pengen jadi anak kecil lagi. dan aku yakin orang lain yang baca buku ini mau ga mau juga jadi teringat sama masa kecilnya. tentu saja, masa kecil memang masa yang paling indah :). dan beruntunglah orang2 yang sudah dewasa namun tidak menghilangkan jiwa muda anak2 yang polos sehingga bisa memahami anak kecil dengan baik. karena seperti yang dibilang gadis pendongeng,

Wajar saja kalau kita tidak bisa memahami orang dewasa. Tapi MEREKA kan pernah jadi anak-anak, makanya aku heran mengapa mereka tidak bisa memahami kita.


semoga aku bisa menjadi dewasa dengan tetap bisa memahami kepolosan anak2 deh. amin.

Maryse: Frankly, the only reason I wanted to read the book was because of the "Avonlea" series on TV. I was obsessed with that series and I think I cried when it ended. Childhood never looked so idyllic and magical as it did on the show -- the endearing innocence, the clumsy chaos and petty squabbles, the boundless imagination heightened by the panoramic, postcard quality landscape of PEI. It reminded me so much of my own childhood, enjoying the summer with my cousins, climbing hills and trees, exploring caves and closets; when the world became our playground and the days never ended. God, did I want to be a kid again.

So when the series ended, and the bubble of being a child again burst, this book seemed like the perfect pill to keep my depression at bay. There were a lot of differences between the book and TV series, but I think the nostalgia and magical image of childhood it portrayed were still the same. The story is a testament to being a child and the simplicity and complexity of life as seen through a child's eyes. It's wonderful and sad at the same time, and just like with the TV series, I cried at the end. I know Montgomery isn't Coehlo or Alboom or what not, but it's ironic that she's done more to help me appreciate life more than those other authors have. Y

Sarah: The Story Girl is narrated by Beverly King recalling a summer spent in Prince Edward Island with his brother Felix staying with their aunt and uncle on the old family farm. In between chores and school they spend their time playing with their cousins Dan, Felicity, and Cecily King and Sara Stanley, as well as the hired boy Peter Craig and neighbor girl Sara Ray. Montgomery paints vivid pictures of each adolescent from the beautiful, but vain Felicity, to the ever sweet and lovable Cecily, to Peter, the diamond in the ruff. But the star of this group is Sara Stanley, who prefers to be known as "The Story Girl". She stands out from the other children in numerous ways. Her mother died when she was young; her father is an artist living in Paris (The Story Girl lives with a spinster aunt and bachelor uncle nearby), but most importantly, she's the best person around for telling stories. From make-believe fairy tales to real-life family tales, The Story Girl has a story for every occasion and several of them are shared in this book.

Overall it was a delightful tale of the carefree days of youth, but it also made me feel awful jaded. The children range in age from 11 to 16 and I often felt like their actions were those of slightly younger children. I kept worrying that it was a sign of how desensitized today's children are, but then I also keep trying to convince myself that really I'm not far enough removed from my young teen years to realize just how childish I still was then. While I certainly liked this book, I didn't enjoy it quite as much as others, although that's usually a problem I have with her more generalized "plot-less" stories. I needed a spunky Anne trying to conquer the world to drive the story on (and a good love story always seems to draw me in, too)

Laura: This was a sweet story about a young girl who has a talent for telling stories. Some of the escapades were genuinely hilarious, but then again, Montgomery managed to mix in some bad theology, which was meant to be humorous, but which I found irreverent. Also, she had the children indulge in a few superstitious beliefs which coincidents made appear correct, (Peg Bowen's witchery, etc.). One part I did really like, though was when it was stated that 'Dan stayed home because he wanted to finish his new Henty book....'! I actually let out a shriek when I read that and scared my mom, but I quickly explained that I wasn't injured, that nothing bad had happened in the book........

Even with all of its problems, the book was enjoyable enough to make me want to read the sequel.

Mireille: Not LM Montgomery's best - because all in all, nothing much happens; small stories with no big unifying plot. But all the stories told by the Story Girl are very interesting and it's a impressive writing feat to work so many different story styles in the same book.

I read it on the beach at Cavendish, the day after visiting Silver Bush... it improved my reading a lot to be able to know exactly what the Blue Chest looked like and what was in it!

0 komentar: